"Dengar Dita, meskipun itu benihku. Aku tidak akan menikahimu," desis Elman. "Kamu!" Hampir saja Dita menampar Elman untuk kedua kalinya, tapi tangan kekar itu berhasil menepisnya. "Mas Elman bisa bersikap jentel nggak? Badan aja gede, mulut kayak perempuan," sarkas Dito. Tentu saja dia tidak terima kakaknya direndahkan oleh Elman. "Lalu kamu mau apa?" tantang Elman. "Kita di sini untuk mencari penyelesaian masalah kalian, bukan adu mulut kayak di pasar." Dito masih berusaha menahan emosinya. Mereka di sini untuk mencari jalan keluar, bukan memperkeruh keadaan dengan pertengkaran. "Masalah apalagi? Sudah jelas aku tidak akan mengakui janin Dita sebagai anakku, sekalipun nanti hasil tes DNA membuktikan aku ayah biologisnya," tegas Elman tanpa ragu. "Kalau Mas Elman tidak mau bertanggung jawab terhadap, maka kami akan menempuh jalur hukum!" ancam Dito. Menurut Dito lelaki lucknut macam Elman harus diberi pelajaran. Tawa Elman pecah seketika mendengar ancaman Dito. "Oh ya? Silahk
"Lah, katanya mau cerai? Kok mau dihamili?" seloroh Mas Agus, saat kukabarkan tentang kehamilanku. "Ish, opo sih? Ini buatnya sebelum dia ketahuan selingkuh Mas!" ketusku, kakakku itu agak sulit diajak bicara serius. "Iyo, iyo, ngono ae nesu. Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kamu cerai, to? Orang lagi hamil.""Ya makanya itu, aku nelfon Mas Agus. Belum ngomong sama ibu to? Tentang rencanaku kemarin?" Jujur aku jadi ragu untuk bercerai dengan Mas Elman. Ada benihnya di rahimku, dia yang akan menjadi korban bila orang tuanya bercerai. "Yo belum, wong Bapak masih sakit. Kan kemarin kamu ngomong nunggu bapak sehat, to?" sahut Mas Agus dengan logat medoknya. "Syukur kalau begitu. Jangan bilang ibu kalau aku juga dirawat ya? Nanti Ibu tambah kepiran." "Iyo," sahut Mas Agus cepat."Mas, kayaknya cerainya dipending dulu," ucapku pelan, takut tiba-tiba Mas Elman masuk dan mendengar obrolanku."Yo harus, kalau perlu nggak usah cerai. Kasihan anakmu, nanti Elman biar aku tatar, biar ng
Pov ElmanKepalaku rasanya mau pecah, mendapat kenyataan bahwa Dita hamil. Gila perempuan itu, bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya hamil? Bukankah selama ini kita main rapi? Pasti dia sengaja menjebakku agar punya alasan untuk memaksaku menikahinya. Sialan memang. "Kamu nggak lagi subur kan, Ta?" Dia menggeleng sambil menyunggingkan senyum menggoda. Itu yang selalu ku tanyakan sebelum kami bercinta. "Memang kalau aku lagi subur kenapa? Kamu takut aku hamil ya?" bisiknya manja. "Aku hanya kasihan anaknya, kalau harus lahir dari hubungan terlarang," ucapku jujur. Aku tak mau melibatkan anak dalam upaya balas dendamku. Dita justru terkekeh mendengar jawabanku. "Kamu kayak ABG labil aja, takut banget kalau pacarnya hamil.""Kamu jangan bercanda, Ta. Aku punya istri.""Tenang aja, aman kok." Itu terakhir kali aku menyentuhnya, dan sekarang dia mengaku hamil? Wajar kan kalau aku tidak percaya, bahwa janin Dita itu anakku. Sebejat-bejatnya aku, aku tak kan tega menelantarkan darah d
Pov Elman"Mau apa dia kesini?" Tanya Nira dingin. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Edan Dita, kenapa dia nekat datang ke sini? Bisa ngamuk Nira nanti, kalau hanya ngamuk, kalau langsung kabur gimana? "Mau bicara sama Bu Nira," jelas Suster Sari, yang masih berdiri di depan pintu. "Bicara sama aku?" "Bilang sama dia! Bu Nira tidak bisa diganggu," potongku cepat. "Iya Pak." Suster Sari berlalu dari hadapanku sambil menggandeng Zila. Aku menoleh ke arah Nira yang sudah bersiap turun dari tempat tidur. Segera aku menghampiri dan mencegahnya. "Eh jangan turun! Kamu lupa apa kata dokter kemarin? Kamu harus bed rest." Mendengar perintahku, Nira segera mengurungkan niatnya. Untung saja ada alasan aku mencegah dia keluar, bisa kacau balau kalau itu terjadi. "Aku menemui Mbak Dita, Mas." "Buat apa sih? Nggak penting.""Kok nggak penting? Mbak Dita bela-belain ke sini pasti ada yang penting. Atau jangan-jangan kalian masih --- " Belum sempat Dita menyelesaikan ucapannya, aku suda
Pov AuthorDita menatap nanar Elman yang duduk di seberangnya, entah punya dendam apa Elman padanya, hingga tega menghancurkan dia tanpa ampun. Setelah penolakan terhadap janin yang ada di perutnya, kini dia harus menerima kenyataan bahwa perusahaannya kalah tender. Bagaimana bisa? Semua persyaratan sudah dipenuhi, kredibilitas perusahaannya pun sudah teruji, perusahaan milik ayahnya itu bukan perusahaan kaleng-kaleng. Dan satu lagi, Elman adalah konsultannya, bagaimana mungkin bisa kalah tender? Banyak jiwa yang bergantung pada perusahaannya, staf dan karyawan, biaya pengobatan ayahnya yang tidak murah, jangan lupakan biaya pendidikan spesialis Dito yang harus dia tanggung. Uang dari mana kalau perusahaannya harus kolaps? Dunia seakan runtuh menimpanya, ujian berat menerpanya bertubi-tubi. Dia hampir depresi saat mendapatkan kenyataan dirinya hamil, dan Elman menolak mengakui. Kini harus dihadapan kenyataan perusahaan yang dia kelola terancam bangkrut. Tiba-tiba semua gelap, Dita
Pov AuthorSetelah mendengar cerita Dito, bahu Hardiono terguncang hebat, air matanya mengalir deras. Seumur hidupnya baru kali ini dia menangis, meratap menyesali kesalahannya di masa lalu. Apa penyesalan itu berguna? Tentu saja tidak, semua sudah terlanjur terjadi. Bayangan peristiwa kelam itu kembali, seperti film yang diputar. Semua terlihat jelas, wajah ketakutan dan frustasi terus terbayang semua tampak nyata, meski puluhan tahun sudah berlalu. "Aku mohon, lepaskan aku .... " Rintihan Mirna bukannya membuat Hardiono iba, justru membuat laki-laki semakin bergairah menjamah tubuh lemah yang berada dalam kungkungannya."Jangan! Aku mohon jangan sentuh aku! Mira, tolong aku Mira! Kita saudara Mira!" Harapan Mirna saudara sepupunya itu mau menolong.Mirna berjongkok, membuat Hardiono menyingkir sejenak, memberi tempat pada Mira. Gadis itu menatap tubuh lemah Mirna dengan tatapan mengejek. "Saudara? Aku bahkan menyesal punya saudara seperti kamu!" sinis Mira, entah dimana hati nura
Pov AuthorBugh! "Mama!" pekik Dito dan Hardiono bersamaan. Sigap Dito menghampiri tubuh Mira yang tergeletak di lantai, dan mengangkatnya ke ranjang. Dito memeriksa denyut nadi Mira, memastikan mamanya masih bernafas. "Sepertinya Mamamu mendengar obrolan kita, To," lirih Hardiono dengan nafas terengah-engah. Berjalan beberapa langkah saja dia sudah kepayahan, apalagi harus turun gunung lagi, menyelesaikan masalah yang menimpa anak dan perusahaannya. "Semoga Mama hanya kaget Pa, tapi kita tetap harus membawanya ke rumah sakit," ujar Dito khawatir. "Biaya dari mana? Ini Singapore, surat keterangan miskin tak berlaku di sini." Hardiono berkata dengan senyum getir. Begitu mendengar perusahaan kolaps, Hardiono segera menghentikan proses pengobatan yang sedang berjalan untuk istri dan dirinya. Bahkan dia keluar rumah sakit dengan status pulang paksa, alasan biaya tentu saja. Dia tidak mau menjadi beban anaknya."Tapi Mama butuh penanganan, Pa."Hardiono mendesah. "Apa kamu belum tahu
Sejak tahun aku hamil, Mas Elman jadi over protective. Kadar sayangnya naik berkali-kali lipat, aku rasa itu bukan perasaanku saja, Mas Elman memang makin sayang dan perhatian padaku. Tiap jam makan siang, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Memastikan aku sudah makan dan istirahat yang cukup. Kalau pun tak bisa, dia akan menelfon. Cerewet sekali suamiku itu. Apa aku jatuh cinta lagi padanya? Mungkin. Aku tipe wanita yang suka diperlakukan romantis, jadi aku mudah baper kalau Mas Elman bersikap manis begini. Salah nggak sih, kalau hatiku meleleh dengan perlakuan Mas Elman? "Papa pulang!" Suara ceria itu menyapa kami tiap dia datang. Zila yang sedang duduk di sampingku, langsung berlari menyongsong sang ayah. "Hore .... Papa pulang!" pekiknya girang, dan langsung melompat ke dalam pelukan Mas Elman. Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu, romantis. "Lihat apa yang papa bawa!" Mas Elman mengangkat plastik putih yang dia bawa."Bawa apalagi sih, Mas? Tad