"Ini apalagi, Bu?""Ibu ingin membahas soal warisan Elreza dan kamu akan menjadi saksinya!" jawab Eyang yang membuat Paman Bima membulatkan matanya.Dia tentu saja tidak terima karena selama ini hanya namanya yang tertera dalam surat warisan itu. Tak boleh ada yang mengusik posisinya. Jabatannya sudah terancam dan Bima tak ingin kalau jatah warisannya pun akan terganggu karena kehadiran ElReza."Bu, apa ibu sudah memastikan kalau dia putra Rania? Jangan-jangan dia hanya penipu yang mengaku sebagai cucu Ibu, bisa jadi 'kan?" ucap Paman Bima."Semua tergantung Elreza, kamu jangan banyak protes. Dia lebih berhak dari kamu, Bima!" "Bu, gak bisa gitu doang. Kenapa semuanya harus jatuh ke tangan Elreza, sementara aku juga anaknya Papa. Aku dirawat Papa Wiryo sejak masih kecil dan aku sudah menganggapnya sebagai papa kandungku sendiri," ungkap Paman Bima lagi.Eyang Wiryo tidak menjawab, dia hanya menunjuk pengacara untuk membacakan surat wasiat dari suaminya yang mana isinya soal warisan.
Bima hanya mampu menatap El dengan sinis, keponakan yang dia anggap sudah mati itu kini kembali lagi. Tak tanggung-tanggung, bahkan kini El menjadi ancaman besar baginya. Mungkin sekarang Eyang Wiryo masih bisa dia tangani, tetapi esok atau lusa Bima tak tahu apa yang mungkin akan terjadi.Terlebih lagi soal El, Bima belum bisa menebak bagaimana karakter keponakannya ini. Walau dia anak dari adik tirinya, tetap saja Bima tidak bisa menganggapnya remeh. "Oke, aku bisa saja membantunya, tapi Ibu jangan protes soal pekerjaan apa yang Bima kasih sama El. Itu untuk progres dia ke depannya. Bima mau dia bisa mengambil semua proyek dan mengatasinya dengan baik. Kalau dia berhasil, dia pantas menjadi penggantiku, tapi jika tugas ini dia tidak bisa membereskannya, maka jabatan ini tidak pantas untuknya," ucap Bima.Bima masih tidak setuju saat Eyang Wiryo meminta Elreza menjadi direktur. Baginya posisi itu tak pantas, secara Reza tak memiliki pemahaman tentang dunia kerja, apalagi dunia bisni
Senyuman di wajah tampan Reza Pratama, pria tinggi berhidung mancung yang saat ini berusia 30 tahun tak pernah luntur, sekalipun gundukan ‘luka’ tumbuh di tenggorokannya, yang kini perlahan membuatnya sesak.Dia masih berusaha bersikap manis, sekalipun hatinya sudah babak belur karena sikap istri dan keluarganya. Seperti halnya saat ini, dia hanya berdiri dengan senyum yang mulai hampa, kala istrinya berdandan dengan cantik.Bukan tak senang, hanya saja penampilan cantik itu ditunjukkan sang istri untuk orang lain, bukan dirinya. "Sa, aku temenin kamu, ya!"Raysa melirik Reza dengan ekor matanya, kemudian dia memutar bola matanya dengan jengah. Sudah bosan mendengar ucapan Reza yang menurutnya tidak masuk diakal."Kamu mau mempermalukan aku atau gimana sih. Jangan menghayal, kamu itu gak sekelas sama kita!" "Tapi, bukankah orang lain ditemani suaminya. Jadi—"Belum sempat Reza menyelesaikan kalimatnya, Rasya langsung keluar dari kamar sembari membawa tas branded berwarna hitam metal
Reza meminta dua pria misterius itu menjauh dari keramaian dan dari kejauhan Raysa melihatnya. Reza kini berada di parkiran, masih menatap penasaran dengan dua orang yang kini berada di hadapannya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun tidak tahu siapa mereka."Tunggu, sepertinya kalian salah orang. Saya benar-benar tidak mengenal kalian berdua. Apa kalian mengenaliku?" tanyanya lagi."Tentu saja, Tuan Muda. Nama asli Anda Elreza Arkha Wijaya!" jawabnya sembari sedikit menunduk memberi hormat pada Elreza.“Tuan, kami sudah mencari Anda selama ini dan beruntung bisa bertemu Anda di sini." Kalimat itu membuat Elreza mengerutkan keningnya, dia mundur beberapa langkah untuk mengamati kembali siapa dua orang yang kini berbicara dengannya.Elreza masih berdiri dengan dompet milik istrinya di tangan, dia dibuat bergeming di tempat dengan banyaknya ingatan di masa lalunya. Tentang kecelakaan dua puluh tahun yang lalu, tentang dia yang kehilangan separuh ingatannya, tentang perempuan yang meny
Reza membuang napasnya dengan kasar, saat melihat keadaan halaman belakang yang sangat berantakan. Rumput yang sudah tinggi dan dedaunan yang berserakan di tanah membuat keadaan di sana sangat kotor, berantakan, dan sudah dipastikan dialah yang harus membersihkan semuanya.Namun, mengeluh pun dia tak bisa karena memang pria tampan itu dituntut untuk segala bisa. Reza tengah memotong rerumputan, mengumpulkannya, dan memasukannya ke dalam lubang sampah yang nantinya akan dibakar. Keadaannya saat ini sangat kotor dan bau asap.Sesekali pria berambut gondrong sebahu itu mengusap keringat di wajahnya dengan tangannya yang kotor, yang mana membuat wajah tampannya itu ikut kotor juga. "Heh, kalau anak saya telepon itu diangkat. Kamu ngapain aja sih, dari tadi Raysa telepon kamu!" teriak Marsha.Reza sontak mendongak, dia kemudian bangun sembari merogoh ponselnya yang ada di saku celananya. Dia memang mematikan dering ponsel, membuat panggilan dari Raysa tidak didengarnya."Ada 'kan? Dasar s
Senyum merekah saat kedua mata menangkap pemandangan indah di pantulan cermin. Wajah cantik dengan warna kulit khas wanita Indonesia. Terlebih bibir itu tak pernah absen tersenyum, pada siapa pun juga dia selalu bersikap ramah. Membuatnya semakin terlihat indahTubuh tinggi semampai itu sudah dibalut pakaian kerja, khas seorang SPG kecantikan. Rambut panjangnya dicepol dan dipakaikan harnet pita berwarna hitam merah muda. Cantik. Itulah kata yang menggambarkan seorang Riviya Pandhita.High heels dia kenakan begitu keluar dari kamar kosnya, sembari mengunci pintu dia menundukkan kepalanya memberi salam pada setiap orang yang melihatnya. “Selamat pagi, selamat beraktifitas!”“Via mau berangkat ke mall?”“Iya, Mbak Naura mau jaga toko juga di mall?” tanyanya balik dengan senyum yang masih merekah indah.Percakapan singkat antara sesama penghuni kos-kosan. Via memang terkenal ramah dan sangat murah senyum, dia juga merupakan lulusan sarjana yang nasibnya sedikit kurang baik. Di mana buka
Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu."Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar.Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza."Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi.Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau m
Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!""Ke-kenapa?""Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi.Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini.Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing."Aku sudah bangun re