Come backMaaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas. Mohon bekerja sama agar tidak terjadi kekerasan,” jawab salah satu polisi yang membawa Mutia dengan begitu sopan.“Putri lepaskan Aku. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan Kau. Itu urusan Kau dengan suami Kau,” teriak Mutia.Mas Alfi beralih menetap ke arahku. Langkahnya bergerak mendekatiku.Pergerakannya begitu cepat. Kedua tangan Mas Alfi sudah berada di pundakku. Ia mencengkeram kedua bahuku kuat. Putri, tolong lepaskan Mutia ini permasalahan kita berdua, jangan menyeret wanita hamil itu,” ucap Mas Alfi penuh penekanan.Ini memang masalah kita berdua, tapi permasalahan ini hadir karena adanya wanita itu. Lagian aku sudah mencoba berbaik hati terhadap kalian, tapi kebaikanku kalian salah artikan.” Aku tersenyum miring.“kebaikan apa?” sargah Mutia cepat.“Andaikan kamu mengizinkan aku untuk menikah lagi, pasti kita tidak akan pernah bercerai sampai saat ini. Namun, semua sudah terlanjur.” Mas Alfi membuang nafas kasar. Ia terlihat
Tamu takterdugaSetelah melewati beberapa drama, akhirnya kami memutuskan untuk kembali.Bukan hanya aku yang tidak ingin pulang, tapi hal itu juga berlaku bagi Agus yang katanya masih merindukan masakan Mama tercinta.Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya aku kembali di sebuah kediaman yang pernah ada bahagia dan juga air mata di sini.Bibir ini hanya mampu tersenyum miring ketika mengingat takdir yang mempermainkan diri ini.Senin merupakan hari yang tidak ingin ditemui oleh kebanyakan orang dan hal itu juga berlaku kepadaku hari ini.Kemarin aku begitu puas memanjakan diri di rumah Mama. Namun, sekarang harus kembali baku hantam dengan pekerjaan untuk mencari sesuap nasi.Seperti biasanya, aku bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Aku berkutat di dapur untuk membuatkan sarapan kepada kedua Putraku.Begitu lantunan adzan menyapu Indra pendengaranku, gagas diri ini melakukan kewajiban sebagai Muslim, tidak lupa membangunkan Aldo dan Aris sebelumnya untuk melaksanakan sa
Duda lapuk Aku merasa euforia manakala mataku dan matanya saling bertemu. Ini sangatlah tidak baik untuk jantungku, aku harus menjaga pandangan ini agar tidak semakin terperosok ke dalam pesonanya.“ Sekarang kamu percaya sama aku?” Tanya Lukas setelah aku mengalihkan pandanganku.“Aku rasa tidak ada alasan untuk Aku tidak percaya kepada kamu,” jawabku apa adanya.“By the way kamu tahu aku tinggal di sini dari mana?” tanya aku penasaran, karena seingat Aku, Aku tidak pernah memberitahu Lucas jika aku tinggal di sini.“Aku baca dari informasi kamu. Awalnya aku kira kamu itu gadis, ternyata....” Lukas menggantung ucapannya, matanya terbelalak lebar menatap ke arah ponselnya. Aku yakin jika dia sedang membaca informasi tentang diriku.“Ternyata apa?” tanyaku.“Ternyata ... Ternyata aku masih memiliki kesempatan,” jawabnya ambigu.Keningku berkerut mendengar jawaban darinya.“Kamu mau pindah ke sana kapan?” tanya Lucas mengalihkan pembicaraan.“Lah? DP rumah aja belum, sudah main pindah
Oh ternyata Sungguh aku tidak tahu bahwasanya lelaki yang selama ini begitu baik kepadaku itu adalah seorang duda. Selama ini aku mengira dia bujang lapuk, ternyata oh ternyata. “Jelas Putri belum tahu karena gua belum memberitahunya,” potong Mas Farid. “Hal penting seperti itu Lo rahasiakan dari putri yang konon katanya calon bini?” Cibir Lucas. Tatapan sinis dihadiahkan oleh mas Farid kepada Lucas. Lelaki yang berstatus duda itu melempar pandangannya ke arah ku. “Kamu pasti mau ke kantin? Ayo aku antari!” Ajak Mas Farid. “jangan, Put. Kamu mending jalan sama aku saja ketimbang sama duda karatan,” tantang Lucas. Maf Farid menatap nyalang ke arah Lucas. Ia bersedekap dada “Mending karatan daripada celup sana, celup sini,” sargah Mas Farid. Kedua insan itu kembali beradu argumen. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah keduanya. Aku memutuskan untuk pergi dan membiarkan mereka dengan dunia mereka sendiri. Ternyata hidup selucu itu. Aku sengaja mendorong
Aku terkekeh mendengar pertanyaan Aldo. Sebenarnya bukan pertanyaannya yang ngomong buat aku tertawa, tapi ekspresi wajahnya yang begitu serius itu terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Di usianya yang masih remaja ia bersikap seolah sudah cukup dewasa dengan kata lain sok dewasa.“Jawab Ma.” Aldo menghentakkan kakinya. Ia merajuk karena ulahku yang memilih tertawa daripada menjawab pertanyaan darinya.Mataku sampai berair karena tertawa. Setelah kembali bisa mengontrol diri, aku memposisikan dudukku menghadap ke arah Putra sulungku.“Untuk saat ini kakak dan adik lah yang menjadi prioritas hidup Mama. Mama ingin membahagiakan kalian, mencukupi kebutuhan kalian tanpa kekurangan sesuatu apapun.” Aku tersenyum lalu mengacak acak rambut Aldo.“Jangan hanya memikirkan kebahagiaan kami, Mama juga harus memikirkan kebahagiaan Mama agar Mama bisa menjadi matahari untuk kami.”“Kebahagiaan kalian itulah kebahagiaan Mama yang tak terhingga,” ujarku, Sambil mengusap penuh kasih kepala Aldo.“
Tekadku untuk pindah rumah semakin bulat setelah kedatangan Kak Lusi yang tampak angin, tanpa hujan, mencecarku tanpa henti.Hari ini Kak Lusi. Besok, lusa entah siapa lagi yang akan datang. Jika uang dari Mas Alfi tidak mengalir lagi untuk mereka, pasti akulah yang akan menjadi sasarannya. Sesuai janjiku dengan Lucas, aku menemuinya di jam makan siang di sebuah restoran.Selera Lucas ternyata tinggi juga. Terlihat dari restoran yang aku masuki saat ini.Lucas melambaikan tangannya ke arahku, memintaku untuk menghampirinya. Aku mengukir senyuman tipis di bibir, lalu berjalan menghampiri Lucas.Melihat aku yang semakin dekat dengan meja tempat ia duduk, Lucas bangkit berdiri, lalu menggeserkan kursi untukku. Pria yang manis.“Terima kasih,” hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir indahku. Aku merasa sedikit canggung pada pemuda yang usianya lebih muda dariku itu.“Sama-sama,” jawabnya dengan senyuman tampan menghiasi wajahnya.“Sudah sepantasnya seorang laki-laki memperlakukan
Dukungan Melihat reaksi kedua Putraku, Mirna tersenyum bahagia.“Jadi selama ini kalian tidak tahu jika Mama kalian ini sudah memenjarakan Papa kalian?” Tanya Mirna.“Cukup Mirna,” bentakku. Hilang sudah kesabranku yang tidak tebal ini.“Lebih baik sekarang kamu pergi dan jangan mengganggu anak-anakku,” aku memperingati.“Kenapa?” Tantang Mirna. Ia menyeringai lebar.“Apa kamu takut anak-anak kamu tahu jika Mamanya tidak sebaik yang mereka sangka? Kamu takut kan mereka tahu kalau kamu sudah memenjarakan kakakku?” Sinis Mirna.“Baguslah kalau Papa di penjara. Setidaknya sudah berkurang satu orang yang menyakiti Mama,” ucap Aldo santai.Aku tercengang mendengar penuturan Aldo. Ternyata sesakit itu hatinya untuk Mas Alfi. Selama ini aku mengira mereka akan histeri jika tahu aku yang sudah memenjarakan Papa mereka.“kata bu guru orang yang berbuat kejahatan itu memang akan dipenjara,” imbuh Aris. Ternyata kedua Putraku begitu mendukungku.“Hailah keponakan-keponakan tante!” seru Mirna.
Alfi POVAku tidak menyangka seorang putri yang lemah lembut dan penyayang mampu melakukan semua ini kepadaku.Kini aku sadar ternyata diamnya selama ini adalah untuk mengumpulkan semua bukti kecurangan yang aku lakukan kepadanya. Ia mengumpulkan bukti sampai sedetail itu, sehingga aku tidak bisa menyanggah semua tuduhannya.Semua pembelaan ku bisa disangkal olehnya. Ternyata benar apa kata orang, air tenang bukan berarti tidak mengalir.Air yang tenang jauh lebih berbahaya daripada air yang mengalir deras.Menyesal, tidak ada guna lagi untuk Aku menyesali semua yang telah terjadi. Meskipun aku menangis darah, aku yakin keputusan Putri tidak akan goyah.Ribuan tangan tak kasat mata meremas jantung ini. Hati ini perih, sakit bak ditusuk sembilu. Pembalasan Putri kepadaku begitu menyakitkan. Mungkin hingga diri ini mati, aku tidak akan bisa melupakan semua pembalasan yang putri lakukan kepadaku. Goresan luka yang diperasi air jeruk tidak sebanding dengan sakit yang kurasakan terhadap p