"Kenapa Ibu menangis? Ayah nakal ya Bu?" kata Nayla yang tiba-tiba muncul di hadapan kami."Enggak kok Nay. Tadi mata Ibu kelilipan, jadi habis ditiup sama Ayah," jawabku."Oh, kirain Ayah nakal," sahut Nayla."Sheila nggak main kesini, Nay?" tanyaku."Enggak Bu. Kasihan Sheila lho Bu?" kata Nayla."Kasihan kenapa?" tanya Bang Jo."Sheila nggak pernah lagi dikasih uang jajan sama mamanya," kata Nayla."Iya Bu, Sheila kemarin cerita kayak gitu. Terus makannya, sama tahu, tempe kadang-kadang telur. Makanya kemarin waktu makan semur ayam, punya Nay dihabisin sama Sheila," sahut Intan yang entah kapan sudah ada di ruangan ini. Entah kenapa kok aku jadi sangat sedih mendengarnya. "Intan, sering-seringlah ajak Sheila main kesini. Nanti kalau dia main kesini, ajak makan ya?" kataku."Iya, Bu. Nay, yuk kita main," ajak Intan. "Ayo," jawab Nayla."Sebenarnya aku kasihan dengan Sheila. Tapi aku jengkel dengan kelakuan orang tuanya. Seandainya mereka baik, tentu kita juga nggak perhitungan de
"Bang, katanya mau ke rumah Deni? Sekarang saja, mumpung masih pagi. Kalau benar Mella masih sakit, minta Deni mengantarnya ke puskesmas," kataku mengingatkan Bang Jo."O iya, hampir lupa. Ya sudah, Abang kesana dulu." Bang Jo segera beranjak dan melangkah pergi.Aku segera ke warung untuk mempersiapkan semuanya, terutama empek-empek yang sudah aku buat habis subuh tadi. "Siapa orang itu?" tanyaku pada Minah sambil melirik ke arah orang yang kumaksud."Oh bapak itu? Mau pesan nasi dua puluh bungkus, tapi lauk dan sayur dipisah, Bu. Biar makanannya tidak basi, soalnya mereka mau ke Trans Subur SP 3," jawab Minah."Wah, jauh juga ya?" sahutku lagi.Trans Subur merupakan daerah transmigrasi, dengan pendapatan penduduk dari hasil kelapa sawit. SP sendiri singkatan dari satuan pemukiman. Antara satu SP dengan SP lainnya jaraknya lumayan jauh. Akses jalan menuju daerah Trans Subur tidak semuanya mulus, masih banyak jalan yang belum diaspal. Jadi kalau hujan, susah dilewati oleh kendaraan.
"Ngapain Mbak kesini? Mau menertawakanku ya? Aku sakit karena doa Mbak Nova dan Mbak Aisyah. Mendoakan aku mendapatkan karma. Sekarang sudah puas kan, melihat aku menderita? Kalian memang benar-benar jahat, berhati iblis," teriak Mella dengan emosi, sambil berjalan tertatih-tatih.Aku dan Bang Jo kaget mendengar Mella berteriak seperti itu. Wajah Mella sangat pucat dan badannya tampak tidak segar. Kelihatan sekali kalau ia sedang sakit."Ma, nggak di kamar saja, istirahat. Makannya sudah habis?" tanya Deni sambil mendekati Mella. Deni menuntun Mella sampai ke kursi. Mella pun duduk di kursi. Kulihat jari kelingking kakinya yang masih terluka."Sudah, mienya kepedasan, jadi Mama tambahi nasi biar tidak terlalu pedas," ucap Mella.Mendengar ucapan Mella, membuatku mengelus dada. Berarti Mella makan mie ditambah nasi. Luar biasa sekali, seperti apa kenyangnya ya? Apa dia nggak paham apa yang dijelaskan oleh dokter tentang penyakitnya? Aku yakin, pasti dokter sudah menjelaskan semuanya.
"Biar Abang yang buka." Bang Jo melangkah menuju ke pintu, aku was-was memandang ke pintu. Penasaran siapa yang bertamu."Bang…." terdengar suara memanggil Bang Jo, ketika pintu sudah dibuka.Ternyata Deni yang datang. Ada apa ya?Deni langsung duduk di kursi dengan wajah yang kusut. Apa dia tadi bertengkar lagi dengan Mella setelah kami pulang?"Bang, Mbak, maafkan aku. Selama ini selalu menganggap kalian sebagai musuh. Pikiranku benar-benar tertutup oleh hasutan Mella. Aku malu dengan kalian. Kami selalu jahat dengan kalian, tapi kalian tetap baik dengan kami," kata Deni sambil terisak-isak. Aku ikut sedih melihat Deni menangis. Betapa berat beban Deni selama ini."Aku baru merasakan ternyata Mella wataknya seperti itu. Semenjak kecelakaan, dia selalu marah dan sering memakiku dengan menyebut suami yang nggak becus mencari uang. Ia juga merasa menyesal menikah denganku. Katanya semenjak menikah denganku, hidupnya jadi susah dan sengsara. Aku bekerja di pasar, dengan upah yang tida
Hari ini hari yang melelahkan, tapi juga menyenangkan, karena banyak yang datang membeli nasi. Aku sampai lupa mau menelpon Septi menanyakan kabar Ibu. Aku sedang mencari-cari hpku."Minah, tolong miscall hp Ibu, ya? Ibu lupa menaruhnya," ucapku pada Minah."Baik, Bu." Minah segera mengambil hpnya.Drtt...drtt…"Sudah ketemu, ada di laci." Aku segera mengambil hp itu.Drtt ...drtt"Sudah ketemu, Minah. Nggak usah misscall lagi," kataku pada Minah. "Enggak kok Bu. Saya nggak miscall Ibu. Hp saya ada di kantong," sahut Minah.Drtt...drtt hpku berbunyi lagi, segera aku aku lihat nama yang memanggilku.Deg! Ternyata Septi memanggilku. Aku mengangkat hp dengan hati yang deg-degan. Semoga bukan kabar buruk."Assalamualaikum, Sep." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam, Mbak.""Apa kabar, Sep?” tanyaku pada Septi. Jujur saja kalau aku masih deg-degan menanti kabar dari Septi.Septi langsung menangis. "Ada apa, Sep?" tanyaku pada Septi. Hatiku semakin berdebar-debar menanti jawaban dari Se
Nayla tertidur di pangkuanku, mungkin kecapekan bermain tadi. Aku juga sangat mengantuk."Dek, bangun. Sudah sampai rumah sakit," kata Bang Jo mengagetkanku."Apa? Dimana kita?" jawabku."Sudah sampai di rumah sakit," sahut Bang Jo.Aku segera menelpon Septi untuk menanyakan ruang tempat ibu dirawat. "Di ruang Kenanga, Bang," kataku pada Bang Jo, setelah menelpon Septi. Kami segera menuju ke ruangan tempat Ibu dirawat. Hanya aku dan Bang Jo yang masuk ke ruangan. Nayla masih tidur di mobil, ada Eko yang menunggunya.Ada Septi dan Pak Edi, suami Ibu yang sedang menunggu Ibu. Pak Edi orangnya baik, sama seperti Ibu Sis. Beliau duda anak satu ketika menikah dengan Ibu. Anaknya perempuan bernama Tina dan sudah berkeluarga."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam," jawab Pak Edi.Kami segera mendekati Pak Edi."Kok sudah sampai sini, Mbak. Cepat sekali?" kata Septi."Iya, Sep. Waktu kamu telepon tadi, Ayah Nayla langsung mencari mobil untuk kesini. Gimana kondisi Ibu?" t
"Bang, kalau Abang mau pulang hari ini, nggak apa-apa. Aku kayaknya agak lama disini. Nunggu sampai Ibu pulang ke rumah," kataku pada Bang Jo ketika kami sedang makan siang di rumah makan."Bener nggak apa-apa kalau Abang pulang duluan?" tanya Bang Jo lagi. Seolah ingin memastikan apa yang aku bicarakan. Sepertinya ia tidak tega meninggalkanku disini dalam kondisi seperti ini."Nggak apa-apa. Kasihan anak-anak kalau kita terlalu lama disini. Aku pulang kan bisa naik travel. Ada yang harus aku selesaikan, Bang." Aku menjelaskan."Ada masalah apa?" tanya Bang Jo penasaran."Sepertinya ada masalah antara Ibu dengan Septi. Abang lihat nggak, tadi waktu Septi datang, Ibu kelihatannya nggak suka atau mungkin marah dengan Septi. Makanya aku mau tahu, ada apa dengan mereka.""Iya, Abang juga merasakan seperti itu. Untung Bapak bisa mencairkan suasana ya?" sahut Bang Jo."Makanya itu, Bang. Aku mau disini dulu beberapa hari. Kalau masalah sudah selesai, baru aku pulang.""Nanti kalau ditanya k
Hari ini aku dan Septi ke rumah sakit lagi. Nayla dan Rama tidak ikut, mereka di rumah bersama dengan Tina. Semoga ada kabar baik untuk hari ini.Kami mampir ke pasar untuk mencari makanan. Dulu kami sering ke pasar sini bersama Bapak dan Ibu. Apalagi kalau menjelang hari raya. Membeli pakaian untuk lebaran. "Kita ke toko kue ya? Langganan kita dulu, toko roti Queen. Apa masih di tempat lama?" tanyaku pada Septi."Iya, Mbak. Sekarang semakin ramai toko itu. Kue-kuenya memang enak sih," sahut Septi.Sesampai di toko aku langsung mengambil nampan dan penjepit makanan. Segera kuambil kue sus dan arem-arem. Aku paling suka makanan ini. Setiap ke toko Queen, aku selalu mengambilnya. Semua ini mengingatkanku akan masa lalu.Keluar dari toko kami berjalan menyusuri pasar. "Mbak, beli es disitu yuk," ajak Septi."Oke," sahutku sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuk Septi."Mang, es nya dua. Minum disini saja," pesan Septi."Oke, Mbak." Kami menikmati es cendol sambil bercerita dan ber