Setelah beberapa lama menanti, terdengar suara ketukan pada daun pintu. Kami pun berharap orang yang dinanti segera tiba. Semua mata jatuh memandang pintu masuk.
“Masuk!” sambut Pak Beresman tajam.
Sesaat kemudian, pintu terbuka dan nongollah kepala Jafar, yang ditugaskan Pak Beresman untuk menjemput Benhart Cs. Jafar tanpa basa-basi langsung menyuruh Benhart, Bogeld dan diikuti Liem Bok segera memasuki ruang kantor. Benhart masuk dan sempat melirikku dengan sinis dan kebetulan aku juga memandangnya dan kami pun sempat beradu mata sesaat. Kulihat sinar kebencian memancar dari sorot mata Benhart itu. Namun, aku tetap menatapnya tanpa berkedip dan tanpa ekspresi perasaan dendam sama sekali padanya tepat di sudut dalam mata kirinya. Wow! Setelah aku dewasa baru tahu kalau sudut dalam mata kiri merupakan titik kelemahan setiap orang. Jika sudut dalam mata kiri seseorang dipandang dengan tanpa berkedip, maka bagaimana pun keras hatinya, tentu akan melumer. Atau
Siapa yang tidak galau? Jika banyak orangtua omong, bahkan di media koran, majalah, bahkan TV mengungkap nada sumbang, “Produk bangku sekolah di Indonesia tidak siap pakai…” ungkapan itu tentu membuat hatiku gundah dan kecil hati, atau boleh dibilang hampir mematahkan spiritku untuk sekolah. Padahal, aku sangat berharap banyak setelah aku punya kesempatan untuk sekolah. Apalagi, sering kudengar di kedai-kedai, di warung-warung, di sawah, di pondopo, di pos ronda, di tempat keramaian ada saja yang memperbincangkan, membenarkan fakta yang terjadi di dunia pendidikan di tanah air. Fakta memang yang terjadi hampir begitu karena banyak siswa yang mengalami kefrustrasian begitu keluar sekolah, jadi pengangguran. Mereka mengalami kegamangan ketika memasuki dunia kerja, ternyata kecakapan-kecakapan yang dimilikinya belum memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.Sudah tentu, fakta-fakta ini tidak jarang menimbulkan s
Pak M. Manurung tersenyum lihat gaya Suheng dan Indra Kesuma yang menghibur itu.“Inilah korban dari sistem klasikal yang tidak ideal. Di antara kalian tidak sedikit yang jadi korban. Idealnya dalam setiap kelas hanya antara 15 - 20 anak saja yang belajar, sehingga setiap anak mendapat pelayanan penuh dalam belajar. Tapi kelas kalian ini yang lebih dari 50 anak, bagaimana mungkin semua anak dapat dilayani oleh seorang guru. Guru itu dihadapkan pada keterbatasan kompetensi dan waktu dalam mengajar. Bahkan, yang membuat guru tidak maksimal dalam mengajar karena penghasilan yang minim hingga kurang fokus dalam mengajar. Pikiran guru terganggu oleh urusan-urusan di luar seperti masalah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, kegiatan lain di luar dan sebagainya.”“Lantas, solusinya bagaimana Pak? Sudah tentu, kami tidak ingin jadi korban dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki guru,” timpal Yan Utama.Pak M. Manurung merasa gembira dengar
“Ah, kau ini ada-ada saja, Enda!” sanggah Yan Utama. “Enggak ada itu.”“Aku penasaran aja, Yan,” tukasku. “Habis tiada soal yang sulit bagimu setiap ulangan tuh. Semuanya kau lalap dengan mudah. Ya-enggak teman-teman?”“Akur sekaliii…!” sambut teman-temanku bersamaan.“Betul tuh Yan!” sambut Indra Kesuma kemudian tidak mau ketinggalan.“Atau Yan beguru nih? Kasih taulah siapa gurumu itu?! Aku kan ingin pintar juga kayak kau,” timbrung Suheng membanyol.Yan Utama langsung monyongkan mulutnya dengar banyolan Suheng, cemberut.“Ah Yan, takut kali disaingi nih gak mau kasih tau siapa guru danghyangnya pada kita,” ledek Suheng kembali. (Danghyang = sang pemilik kekuatan ghaib).“Ini gurunya Suheng!” jawab Yan Utama dengan mengacungkan bogemnya, balas banyolan Suheng.Elfi Zahara, Ratna Sari, Zain
Wow! Pulang sekolah. Jika dilihat dari udara anak-anak yang berhamburan keluar ruang kelas sekolah tampaklah panorama konfigurasi putih-putih nan indah bergegas beriring-iring menuju satu muara, yaitu gerbang sekolah. Wajah-wajah ceria dan lega laksana habis melepas himpitan beban derita sepanjang hari dominan menghiasi konfigurasi dan berbaur dengan wajah-wajah letih bagi kaum calon cendikia. Ada yang langsung bergegas menuju gerbang sekolah dengan setengah berlari, melangkahkan kaki, sambil mengobrol dan ada yang menyerbu tempat parkir kereta angin dahulu, termasuk diriku.“Enda ini bungkusan apa?” tanya Yan Utama begitu dilihatnya ada bungkusan plastik menggantung di stang kereta anginku, saat kami berjalan sejajar menuju gerbang sekolah.“Oh, itu baju Sundari yang baru selesai dijahit Emakku,” sahutku ringan.Mata Yan Utama terbelalak, berbinar-binar begitu nama Sundari kusebutkan. Sebuah nama yang telah menggetarkan senar jiwanya, me
Aku jadi teringat seorang keturunan Tionghoa, namanya Aseng, alias Tony Hartono penduduk Pulo Brayan Kota, yang memulai usaha mebel dekat rumahku. Pada awalnya dia tidak punya keterampilan apapun dan modal pun tak punya, tapi dia bisa lihat peluang usaha mebel sangat menjanjikan pada masa itu. Lalu Aseng ini cari modal dengan cara pinjam sana, pinjam sini. Setelah dengan susah payah, akhirnya dia dapat juga pinjaman dari sanak saudaranya untuk sewa emperan rumah tetanggaku dan modal untuk buat satu lemari pakaian, plus upah tukang buat satu lemari. Selesai satu lemari, lalu dipasarkan ke toko mebel yang ada di Pulo Brayan Kota. Setelah laku, lalu buat lagi satu lemari, kemudian bisa buat dua lemari dan terus berkembang. Kemudian pekerjanya pun bertambah jadi tiga orang, lima orang. Setelah usaha berkembang pesat, Aseng ini buat izin usaha. Setelah izin usaha didapat, dia buat proposal untuk mengajukan kredit pada sebuah Bank di Medan, walau tanpa memiliki agunan. Namun, dia buat pro
“Aduh, yang ingin ketemu tuh! Senangnya bukan kepalang.”“Ah, kau ini!” sergah Yan Utama. Wow! Terlihat perubahan air muka Yan Utama yang bersemu kemerah-merahan karena jengah.Akhirnya, kami sampai juga di depan rumah Sundari. Aku langsung hendak mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat itu. Sementara,Yan Utama dengan perasaan dakdikduk berdiri menanti di belakangku. Eh, ternyata belum sempat aku mengetuk, pintunya sudah dibuka dari dalam.Yan Utama langsung terperangah, begitu tahu orang yang membuka pintu adalah si jantung hati yang dirindu. Dadanya pun langsung bergemuruh kencang tak karuan lihat si jantung hati kini telah ada di hadapannya. Wajah Sundari begitu manis dengan rambut diikat ekor kuda dan dipadu dengan baju kaos merah polos dan celana jeans hitam. Membuat Yan Utama merapat tepat di belakang tubuhku. Yeah! Yan Utama jadi salting nih…eh, maksudnya salah tingkah gitu…“Hai Enda, tum
“Ehm!” dehem Sundari memancing reaksi Yan Utama.Pancingan Sundari termakan. Yan Utama tersadar, merasa tidak enak hati jadi tamu, tidak punya cukup keberanian memecah kebuntuan. Makanya, dia kembali duduk dan memberanikan diri menoleh menatap muka Sundari. Mereka saling pandang. Sementara, Sundari langsung melontarkan senyumnya karena dia sudah menanti momen ini.“Boleh aku nanya Sun?” tanya Yan Utama sedikit malu-malu. Ternyata Yan Utama sudah bisa membuka jalur yang benar untuk mengatasi dead locked.“Mengapa tidak Yan?! Kau boleh nanya apa saja. Kalau bisa kujawab maka akan aku jawab,” jawab Sundari ringan.“Rangkaian jambangan ini siapa yang buat Sun?”“Aku!” jawab Sundari singkat.“Kalau handicraft yang menawan itu?”“Juga aku!” jawab Sundari ringan.“Wow! Luarbiasa!” puji Yan Utama. Ternyata dia sudah bisa bicar
Tak lama berselang, Dirah tak mengalami kesulitan untuk menemukan keberadaan Ronggur. Dirah tahu tempat tongkrongan Ronggur pada jam-jam beginian. Dia langsung menuju sebuah bengkel motor tak begitu jauh dari simpang asrama Zipur Helvetia. Benar saja. Ternyata, di bengkel motor itu terlihat Ronggur lagi duduk santai menunggu perbaikkan kereta motornya. Dirah pun buru-buru mencagak kereta anginnya di pinggir jalan. Lalu dia langsung menghampiri Ronggur yang lagi duduk, sambil merokok dan sekali-kali memperhatikan kereta motornya yang sedang diperbaiki.“Bang Ronggur! Ada kabar penting buat Abang nih,” bisik Dirah.Ronggur begitu sensitif dengar ada warta untuknya dari Dirah. Warta yang selalu dinanti-nantinya. Dia langsung menoleh memandang Dirah. Memang dia yang telah menempatkan Dirah untuk memata-matai gerak-gerik Sundari selama ini. Saat ini, Ronggur menempatkan Sundari sebagai target utamanya dalam perburuan libido syahwatnya. Makanya, ruang gerak Sunda