“Apa?” Bella berusaha menegaskan apa yang didengarnya. “Maksudmu?”Komunikasi antara Darrel dan Bella tidaklah begitu intens dan intim. Dia berkomunikasi dengan Darrel seperti biasanya. Memberi kabar jika ingin menitipkan uang pada Timo atau sekedar menanyakan keadaan pria itu.“Ya,” jawab Darrel. Pria itu mengangguk. “Aku ingin kita menikah. Aku melamarmu menjadi istriku.”Mata Bella berkedip beberapa kali. Dia begitu terkejut dengan apa yang diutarakan oleh Darrel barusan. Pria itu datang jauh-jauh dari Semarang untuk melamarnya. Bella menutup mata dan menghela napas pelan. Dia harus berpikir baik-baik mengenai ini.“Sejak lama aku memang menaruh hati padamu, Bella.” Darrel berkata lagi. “Aku ingin menikahimu agar kamu tidak hidup kesusahan lagi. Aku janji akan membahagiakanmu, Bella. Terlepas dari masa lalumu, aku tidak akan mengungkitnya.”Bella membuka matanya lalu duduk di kursi terdekat. Dia memang memberikan kabar apa pun pada Darrel selama tinggal di Jakarta. Itu dia lakukan
“Samudera, sebentar ya. Mama rapikan satu buket bunga lagi.” Bella melirik putranya yang berada dalam boks bayi berukuran besar. “Kalau sudah selesai, kita main.” Kemudian Bella tertawa melihat putranya tersebut menguap lebar.Dihampirinya Samudera dan dengan lembut direbahkannya anak itu. “Tiduran sebentar, ya, nanti Mama temani,” ucapnya. Diberikannya empeng agar tidak rewel.Tidak berapa lama, ponsel yang dia letakkan di atas meja kerjanya berbunyi. Tanpa melihat siapa peneleponnya, dia menjawab, “halo?”Bella sedang sibuk di toko bunga. Bulan Februari. Bulannya penuh cinta. Pesanan di toko bunganya mulai membludak. Orang-orang berdatangan untuk memesan buket bunga padanya sebab dia menjual bunga premium.“Halo?” Bella mengulangi lagi sapaannya. Alisnya berkerut melihat nama pemanggilnya.‘Ada apa sih dengan Darrel?’ batinnya. Antara sebal karena sudah menganggunya bekerja dan khawatir terjadi apa-apa dengan pria itu.“Darrel?” panggil Bella lagi ketika pria itu tidak kunjung menja
“Mama bilang kamu selalu pulang larut malam, Nona?”Lena mendongak menatap Bella. Gadis itu sedang bermain dengan Samudera di toko bunga.“Yah, aku suntuk di rumah.” Lena mengangkat bahu. Kembali dia mengajak Samudera bayi bermain di boks bayinya.“Kenapa bisa suntuk?” Bella bertanya dengan tangan sibuk merangkai bunga. Alunan musik dari pianis ternama dunia mengalun lembut dari pengeras suara yang sengaja dia pasang di sudut toko bunga tersebut. “Nona memiliki segalanya.”Lena cemberut mendengar itu. Diputar matanya dengan tangan masih memegang mainan Samudera yang berbunyi lonceng. “Kamu tidak ada di rumah. Itulah yang membuatku suntuk. Tidak ada temanku,” ujarnya.“Mama khawatir padamu, Bella.” Bella berkata. Diletakkan bunga matahari yang dipegangnya di meja kerjanya lalu duduk di kursi tidak jauh dari Lena dan Samudera bermain.“Tapi, Bella,” ucap Lena dengan nada yang sedikit defensif. “Aku sudah 16 tahun. Sudah besar. Aku punya alat-alat pertahanan diri di dalam tasku.”Bella m
“Bella, apa kamu baik-baik saja?” Lena melambaikan tangannya pada Bella yang terdiam cukup lama. ‘Apakah pertanyaanku memberatkannya?’ pikir Lena bingung. Dia memerhatikan Bella yang masih terdiam. ‘Aku sepertinya salah bertanya.’ Lena berdehem. “Tidak perlu dipikirkan. Maaf, Bella.” Akhirnya dia berusaha untuk mengalah.Bella mengedipkan matanya. Dia menghela napas pelan. Diselipkan anak rambutnya ke belakang telinga demi menghilangkan rasa tidak nyaman dalam dirinya ketika mengingat Evan. “Aku baik-baik saja, Lena,” jawab Bella lembut. Dia menoleh pada bunga-bunga yang belum selesai dikerjakan. “Aku hanya berpikir tentang banyaknya pesanan bunga yang harus diproses,” pungkasnya.“Maaf.” Lena berkata lagi. Dia tidak enak hati melihat Bella yang sepertinya enggan mengatakan bagaimana ciri-ciri ayahnya Samudera.Bella mencoba tersenyum. Dia mengerti dengan apa yang ditanyakan Lena. Dia tidak akan menyalahkan Lena. Gadis itu menurutnya mesti tahu. “Tidak apa-apa,” tukas Bella. “Aku dan
“Tidak ada kabar ke mana Isabella pergi. Saya sudah bertanya pada tetangga sekitarnya juga, Tuan.”Penuturan informan itu membuat Evan menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. “Jadi benar begitu, Dave?” bisik Evan. Berharap suaranya tidak terdengar di telinga Jacob yang duduk di sebelahnya.“Benar, Tuan,” jawab Dave. “Bella sudah tidak ada di Semarang. Tidak ada yang tahu.”“Sudah tanya orang tuanya?” Evan masih bertanya dengan setengah mendesak. Ada sedikit harapan dalam nada suaranya.“Sudah.” Dave menjawab mantap. “Bapaknya bahkan tidak peduli jika anaknya itu mati.”Evan memejamkan mata mendengar kata mati disebutkan oleh Dave dengan mudahnya. Walau begitu, dia tidak akan amrah pada sang informan yang sudah susah payah mencari informasi untuknya.“Baiklah,” tukas Evan pelan. Dia tidak tahu harus mencari gadis Isabella itu di mana.“Apakah Tuan ingin saya mencari ke tempat lain? Jawa Barat?”Evan berdehem. Tawaran itu tampak menggiurkan untuk diterima. Tawaran yang begitu
“Halo, Ma?”“Bella!” Chloe menyapa dengan riang. “Apa kabarmu, Nak? Mana Samudera?”Bella tertawa pelan. “Kabarku baik, Ma.” Dia tersenyum pada Lena yang menatapnya penasaran. “Samudera sedang berada di rumah temannya, Ma. Tetangga sebelah rumah.” Dia berusaha berkata dengan mudah.“Kenapa tidak kamu bawa ke rumah saja, Bella?”Bella menghela napas pelan. ‘Pastilah Mama akan mengatakan itu padaku. Seperti Lena.’ Batinnya.“Jangan sungkan untuk menitipkan Samudera di rumah, Bella, jika kamu sibuk sekali.” Chloe berbicara panjang lebar. “Mama atau Papa dengan senang hati bermain bersama Samudera, sudah sangat lama sekali rasanya tidak bertemu anak lucu itu.”Bella tertawa. “Tidak lama juga, Ma,” ucapnya. “Seminggu lalu baru saja mampir.” Diakhirinya dengan terkekeh.“Itu sudah lama, Nak.” Chloe berdecak. “Kamu benar tidak bisa datang?”“Maaf, Ma.” Bella benar-benar meminta maaf sungguh-sungguh. Jika pesanan bunga hanya satu atau dua buket hari ini, dia pastilah akan datang. Dia ingin ta
“Seperti ada yang kamu pikirkan, Van.”Herman menghampiri Evan yang sedang duduk di ruang makan seraya menikmati kopi paginya. Mata Evan tidak lepas dari bunga matahari yang dibawa oleh Lena kemarin. Bunga matahari pemberian anak angkat Herman yang bernama Bella. Dia ingin menanyakan siapa nama lengkap Bella tetapi dia merasa malu. Apakah sama namanya dengan Bella miliknya. Isabella Halka.Kemudian mata tua pria itu mengikuti arah tatapan Evan. Bibirnya tersenyum melihat apa yang diperhatikan oleh Evan. “Bunga matahari kesukaan Bibimu yang ternyata Bella pun menyukainya.” Tutur Herman tanpa diminta.Evan melirik Pamannya sekilas lalu tatapannya kembali pada bunga matahari itu. Bibinya yang menyukai bunga matahari menurutnya sudah aneh dan ditambah lagi satu orang lain yang menyukai bunga yang sama. Membuatnya penasaran. Bibinya orang yang unik dan baik hati. Apakah Bella yang dimaksud begitu pula? diketukkan tangannya di meja.‘Aku ingin bertanya tetapi aku gengsi.’ Evan berpikir dal
“Halo, Sayangnya Mama. Loh, ada apa dengan wajah cemberut itu? Hm?”Bella bertanya pada putranya yang kini genap berusia 6 tahun. Samudera kini sudah besar dan sudah sekolah taman kanak-kanak. Dia pun memilih sekolah yang mengedepankan kecakapan hidup dan mempunyai kurikulum montessori. Menurutnya, anak-anak kecil tidak diwajibkan duduk belajar. Anak-anak masih bermain dan senang bereksplorasi.Bella berjongkok. Mensejajarkan tingginya dengan tinggi Samudera. Ditatapnya putranya dengan penuh perhatian. “Ada apa, Nak?”“Ada kegiatan hari Ayah, Ma.” Samudera kecil berbicara dengan mata penuh tanya. “Ayahku ke mana, Ma?”Bella diam. Dia sebenarnya sudah diberikan kabar melalui pesan daring oleh bagian humas sekolah putranya bahwa akan ada hari ayah dan meminta masing-masing anak membawa ayahnya untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan bersama anak. Hanya bersama ayah. “Ma?”Bella tidak bisa mengatakan bahwa ayahnya Samudera sudah meninggal sebab kenyataannya Evan pastilah masih hidu