“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung.
Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda!
Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda.
“Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor.
“Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya.
Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya.
“Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini. Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya. Night, love you babe Begitu bentuk pes
Siang itu, Reyhan tengah menikmati makan siang di restaurant terkenal yang menyajikan berbagai macam makanan mahal nan lezat besama kekasih hatinya, Selma. Alunan musik klasik menjadi teman bercengkerama mereka. Di privat room ini, hanya ada mereka berdua. Reyhan memandang Selma dalam. Kenangannya memutar kembali pertemuannya dengan Selma. Kisah itu bermula tiga tahun yang lalu. Saat itu, Selma tengah mengikuti sebuah charity event dimana penyelenggara mengadakan fashion show dan pakaian yang terjual uangnya akan disumbangkan ke beberapa panti asuhan, panti jompo, dan juga Yayasan-yayasan yang membutuhkan. Fashion Show diikuti oleh banyak Designer serta owner-owner dari Rumah Mode terkenal di Indonesia. Selma adalah salah satunya. Di tempat itu, mereka pertama bertemu. Kesan pertama akan sosok Selma adalah wanita baik berhati mulia yang mau membantu siapapun yang membutuhkan.
“Jangan lupa untuk berkas rapat evaluasi bulanan disiapkan. Inget, ya, semua evaluasi dari tiap department nggak ada yang boleh kurang. Kalau sampai ada yang kurang, kreekk!” Reyhan berpura-pura menggorok lehernya menggunakan jarinya, “Kamu saya pecat!” ancamnya sambil memicingkan matanya. “Si-siap, Pak! Semua berkas sudah disiapkan di atas meja! Berkas direksi juga sudah siap!” jawab Sabrina cepat. Reyhan membuang mukanya. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien saat langit mulai petang. Jarum pendek di jam tangan Reyhan menunjukkan nyaris pukul enam dengan jarum panjangnya diangka sembilan. Mobil mereka sampai di lobi kantor saat para karyawan sudah pulang. Kantor sangat sepi. Hanya security yang tersisa, menjaga keamanan kantor. Sabrina turun dari mobil Reyhan. Reyhan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sabrina hanya bisa
“Gimana sama rencana kamu ngerjain si Sabi itu?” tanya Selma saat ia dan Reyhan tengah menonton film streaming bersama di apartement milik Reyhan. “I had them,” Reyhan menunjuk ke setumpuk berkas di atas kursi. “Besok, dia pasti panik,” Reyhan tertawa puas membayangkan Sabrina tidur nyenyak malam ini dan panik keesokan harinya karena berkasnya tidak ada. Rapat sengaja ia agendakan pukul delapan pagi agar Sabrina tidak punya waktu untuk membuat ulang. “Good job, Baby,” Selma mencium pipi Reyhan mesra. “Orang-orang yang bekerja sama kamu haruslah orang-orang yang hormat sama kamu. Kalau dia nggak bisa hormat sama kamu, buat gimana caranya dia keluar atau dipecat,” ucapnya. “Ya, jadi mereka nggak akan bisa lagi meremehkan aku,” balas Reyhan. “Kamu punya power, Sayang. Kamu harus tunjukkan itu ke semua yang meragukan kamu
“Sab, sudah mau jam sembilan pagi. Kamu ketiduran!” tepukan Awang di bahunya membuat Sabrina terbangun kaget. Ia ketiduran. Bahkan kopi pun tidak mampu mengalahkan rasa kantuknya. “Oh!” Sabrina melihat ke arah jam tangannya. Kurang lima belas menit lagi sebelum rapat dimulai. Ia berdiri dari kursinya menuju kamar mandi. Ia membasuh mukanya agar segar kembali. Ia merapikan kembali rambutnya yang digelung. Tidak lupa ia menyemprotkan parfum ke sekujur tubuhnya untuk menutupi bau badannya yang belum sempat mandi. Terakhir, Sabrina memoles kembali wajahnya dengan bedak dan lipstick. “Huh!” Sabrina menepuk-nepuk pipinya. “Here we go!” Gumamnya. Sabrina bergegas kembali ke ruangannya. Ia menyimpan berkas yang telah ia susun ulang di dalam lemari kerjanya. Ia tidak ingin jika berkasnya kembali hilang. Hantu mana yang menyembunyikan berkasku, sih?!
Sabrina menghela nafas panjang. Akhirnya Rapat Evaluasi Bulanan selesai walaupun tadi berkali-kali Reyhan memarahinya karena mengantuk. Apa mau dikata? Sabrina tidak tidur semalaman. Sedangkan ia tidak memiliki kesempatan untuk memejamkan matanya lebih lama. Lancar tidaknya rapat yang dipimpin oleh Reyhan ada ditangan Sabrina. Sebab, ia sekretarisnya dengan segudang berkas yang harus ia siapkan. Belum lagi saat ada catatan dan temuan penting selama rapat berlangsung. Sabrina harus memasang telinga baik-baik dan mencatatnya untuk dijadikan bahan evaluasi. “Akhirnyaa, selesai juga,” Sabrina meregangkan tangannya ke atas. Suara ‘krek’ dari tulang-tulangnya membuat tubuh Sabrina sedikit lebih nyaman. “Belum,” Reyhan memotong kalimat Sabrina. Sabrina lupa kalau diruangan ini tinggal mereka berdua. “Masih ada Rapat Komisaris,” ujarnya dengan nada sinis. Sabrina mengangguk paham.