Beberapa waktu yang lalu Otor menjamu salah satu Ustadz yang biasa mengisi acara ruqyah di salah satu stasiun TV swasta. Kurang lebih dua pekan Otor ikut seminar dan ikut kegiatan terapi pasien-pasien beliau dari beberapa daerah. Banyak hikmah yang Otor dapatkan saat bertemu dengan pasien-pasien yang mengalami gangguan sihir. Salah satunya adalah sebab mereka mudah dipengaruhi sihir adalah enggan membentengi diri dari sihir-sihir itu sendiri. Bahkan setelah terkena sihir, mereka justru berobat ke 'orang pintar' yang malah bikin sihir itu ditunggangi jin dzalim yang baru. Salah satu cara agar kita terhindar dari sihir-sihir tersebut adalah dengan merutinkan membaca Al Qur'an terutama Surah Al Baqarah serta merutinkan zikir pagi petang. Nah, buat readers yang punya pengalaman tentang gangguan sihir, bagi-bagi pengalaman di sini, yaaaaa ^^
Singkat cerita, akhirnya jimat itu tertanam juga. Aku segera meminta orang suruhanku untuk mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah Om Ashraf. Kuberi dia sejumlah uang yang sangat besar sebelum kujebak dia seolah telah melakukan tindakan kriminal yang fatal sehingga dia dijebloskan ke penjara seumur hidup. Ya, kuakui tindakanku sangat kejam. Aku hanya tak ingin jika orang suruhanku membongkar rahasiaku, itu saja! Rupanya apa yang dikatakan dukun cabul itu bukan sekedar isapan jempol. Om Ashraf benar-benar seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Bahkan dia sudah sangat jarang pergi bekerja hanya untuk menghabiskan waktu bersamaku ke luar negeri. Meski demikian, kami tetap saja tak bisa melalui malam pertama. "Om, Fara kesakitan," ucapku saat dia mula melakukan penet**si. Aku tidak berdusta sama sekali tentang hal itu. Seolah tubuhku menolak untuk bersatu dengan Om Ashraf. Setiap kali kami mencoba, selalu berakhir dengan diriku yang kesakitan luar biasa. Bahkan
Antara senang dan ragu, aku memilih untuk menjaga jarak dari Om Ashraf. Berhari-hari aku mengabaikannya. Dia bahkan berulang kali menungguku di teras kontrakan mewah yang belakangan ini menjadi tempat tinggalku. "Fara, sebentar saja temui saya. Mengapa kamu menghindari saya, Sayang." Om Ashraf berulang kali mengirim pesan serupa ke ponsel milikku. Sekian lama kuabaikan, akhirnya kuputuskan untuk menemuinya. Kubukakan pintu dan kubiarkan dia masuk. Secercah senyum tampan Om Ashraf menyambutku. Namun, entah perasaanku saja atau mungkin memang Om Ashraf tak terlihat setampan dulu. Jujur saja selama aku mengabaikannya, aku terus memikirkan Akram. Laki-laki belum matang berusia hampir dua puluh tahun yang memiliki kemiripan seperti Om Ashraf. "Kamu sakit? Kok gak mau ketemu saya?" tanya Om Ashraf. Dia menciumku tanpa menunggu persetujuan dariku. Tak ada lagi debar yang kurasa seperti dulu, saat bibir kami saling memagut dan mencecapi nikmatnya percintaan. Ya, aku sempat mengakui bahwa
Plak! Pipiku memanas saat mengunjungi kandang anak-anak peliharaan Mami. Malas rasanya kembali ke tempat palac*ran murahan ini. Aku hanya ingin mengambil beberapa barangku yang masih tertinggal dan kembali ke kontrakan yang kutinggali akhir-akhir ini. Sementara aku menolak untuk tinggal di penthouse milikku yang masih atas nama Tante Fenny. Huh! Menyebalkan sekali! Bagaimana mungkin Om Ashraf pernah berniat ingin menikahi pelac** tua itu, dan baru saja dia menamparku dengan bringas. "Dasar setan kecil! Lo rebut pacar gue! Mati lo!!! Dia menampar dan menjambak rambutku seperti kesetanan. Beruntung ada Mami yang melerai, karena anak-anak peliharaan Mami yang lain tak ada yang berani mendekat u tuk memisahkan kami. Tante Fenny adalah orang nomor dua disegani di tempat ini, itulah alasannya. "Lo yang setan! Binatang lo! Pelac** tua murahan! Aku tak kalah mengeluarkan sumpah serapah. Sepertinya Tante Fenny benar-benar marah padaku setelah mendengar aku dan Om Ashraf telah berganti st
"Fara?" ucap Akram saat melihat kehadiranku. Ingin rasanya aku ber-euforia saat melihat keantusiasan wajah tampan laki-laki incaranku ini saat menyambutku di rumahnya yang sangat mewah. Dulu--saat aku baru mengenal Akram, aku pernah mengatakan padanya bahwa aku sangat ingin tinggal di rumahnya yang mewah, dan sekarang seolah keberuntungan berpihak kepadaku, akhirnya aku masuk sebagai anggota keluarga di rumah ini. Selama ini aku tak menyangka bahwa rumah yang ditempati oleh Akram dan keluarganya lebih pantas disebut istana dunia modern. Wah! Termyata suamiku kaya sekali. Aku memang pernah mengutus seorang tukang kebun untuk memasang jimat di rumah ini, tapi aku tak sekali pun pernah bertanya padanya semewah apa kediaman target guna-gunaku. Aku menelisik ke sekitar rumah yang mampu kujangkau dengan pandangan, di manakah tukang kebun itu meletakkan jimat pemberianku? "Fara adalah adikmu dari kesalahan Papa di masa lalu, Akram. Maafkan Papa." Suamiku mulai berakting di samping tubuh
Beginikah rasanya perasaan seorang istri yang dikhianati oleh suaminya? Meski aku yakin bahwa perasaanku kepada suamiku tak sedalam itu, tapi tetap saja perih ini tak terelakkan. Dia telah mengkhianatiku dan tidur bersama perempuan lain. Sepasang manusia laknat itu terkejut atas kehadiranku. Om Ashraf refleks menutupi tubuhnya dengan selimut, sementara Tante Fenny bangkit dan berlari ke kamar mandi. "Fara, ini tidak seperti yang kamu bayangkan," ucap Om Ashraf. Tentu saja! Karena ini memang bukan sekedar bayanganku semata, melainkan kenyataan. Sesak di dada menghantarkan aliran panas yang jatuh di pipiku. What? Apakah aku menangis karena seorang pria? Tidak! Ini adalah tangis kebencian. Aku bersumpah akan membalas semuanya. Pantang bagi seorang Fara mendapatkan penghinaan seperti ini. Kuusap kasar air mata yang jatuh di pipi. Di saat bersamaan Tante Fenny keluar dari kamar mandi dengan mengenakan lingerie yang bagiku bukan hal tabu untuk melihat pemendangan seperti itu. Aku tahu pe
Seperti yang seharusnya terjadi, tak ada seorang pun yang mampu mencegah kedekatanku bersama Akram, termasuk Om Ashraf sendiri. Bahkan, suamiku itu sekarang harus menelan pil pahit bahwa alat tempurnya tak lagi berfungsi untuk dia gunakan pada wanita lain selain diriku. Efek guna-guna ini sangat luar biasa. Siapa sangka seorang pria tampan dengan pesona yang luar biasa kini hanyalah pria loyo yang kehilangan keperkasaan, kecuali bersamaku. 'Kau tidak bisa mengkhianatiku lagi, Om!' ucapku dalam hati.Aku tersenyum sinis melihat kemesraan yang dia berikan pada Mama Widya, sementara aku menikmati kebersamaanku bersama Akram. Sesekali Om Ashraf melirikku dari kejauhan. Aku tahu dia cemburu. Biarlah, toh aku tidak pernah terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukai putra semata wayangnya. Meski demikian, aku masih bisa menjaga sikap. Aku tak ingin jika tindakanku terlihat terlalu kentara ingin mendekati Akram. Dia adalah laki-laki yang kucintai, dia juga seorang calon pewaris tunggal dar
POV Hafsa "Mas--" Lirih kuucapkan memanggil suamiku yang terbaring lemah di atas ranjang kami. Dia tidak mendengarku sama sekali. Besar inginku untuk segera menghampirinya. Namun, bukan hanya dia yang berada di atas peraduan kami, melainkan juga wanita lain yang menjadi sumber kerusakan rumah tangga kami. Siapa lagi jika buka Fara--adik kesayangan dari suamiku. Entah aku harus bereaksi seperti apa, hati ini begitu perih melihat pemandangan yang tak mengenakkan mata. Apalagi aku baru saja mendengar berita miring tentang mereka dari mantan rekan kerjaku tadi. Sekarang mereka justru memamerkan kemesraan di hadapanku. Fara begitu telaten menyuapi Mas Akram. Suamiku itu pun menikmati perlakuannya sambil menggenggam tangan Fara. Mereka lebih terlihat seperti pasangan yang romantis. Ah, mengapa tangan mereka saling menggenggam seperti itu, seolah mereka berdua bersama-sama meremas jantungku yang kian lama kian perih. "Udah," ucap suamiku sambil tersenyum tipis dengan suara yang lemah, seme
Mas Akram menunjukkan sikap seperti bukanlah dirinya. Dia meraung, menjerit dan menggelepar seperti makhluk air yang terdampar di daratan, sementara Fara di sisinya terlihat sangat panik. "Mas, kamu kenapa, Mas? Ini aku Fara. Mas Akram ..." ucapnya mencoba untuk menyadarkan suamiku yang masih menggelepar. Aku pun meraih kedua kaki Mas Akram yang terasa dingin, tapi basah oleh keringat. Sentuhanku membuat Mas Akram menendang-nendangkan kakinya ke udara seolah mencoba untuk melepaskan diri dariku. Padahal aku hanya menyentuh--tidak lebih dari itu. "Pergi! Kamu 'gak sadar kalau dia 'gak suka kamu sentuh," bentak Fara padaku. Kesal! Tentu saja. Aku adalah istri sah Mas Akram. Aku lah wanita yang pernah menyentuh suamiku luar dalam. Tapi sikap Fara menunjukkan bahwa seolah-olah dirinya lah yang berhak menyentuh suamiku. Pelukan itu, sungguh membuatku semakin terbakar. Namun, aku bisa berbuat apa? Suamiku sendiri bahkan seolah menolakku, tapi justru membebaskan Fara menyentuhnya dem