Begitu sampai di ruangan Deka, sedang ada dokter dan suster yang memeriksa. Sementara anak yang ditunggu itu masih di posisinya.
"Syukurlah, anak itu sempat menunjukkan pergerakan meski kecil. Hasil pemeriksaan vitalnya juga membaik. Berdoa saja, semoga dia cepat bangun." Begitu penjelasan dokter.Arjun mendekat. Bersimpuh di sisi ranjang putranya. Memegang tangan mungil dengan kabel yang menjepit jari telunjuknya. Pria itu kembali tergugu. Hanya saja, kali ini ada rasa senang yang menghampiri. Hanya pergerakan kecil dari sang bocah saja sudah membuatnya bahagia. Setidaknya anak itu menunjukkan keinginan untuk bangun. Ini sudah menginjak hari ke tujuh, terasa sangat lama sekali waktu berdentang.Niswah memalingkan wajahnya. Sungguh, dia tak sanggup melihat pemandangan ini. Terlihat jelas betapa sang pria sangat menyayangi anak tersebut. Niswah tak tega. Pemandangan yang meyayat hatinya.Di luar sana, dibalik jendela, tiga manusia hanya bisa menyak"Pp ... Pha pha."Arjun dan Niswah tertegun mendengar suara itu. Keduanya sontak menoleh. "De-Deka ...""Deka!" pekik keduanya. Menghampiri ranjang baring sang putra. Pecah tangis mereka melihat anak itu mengerjapkan mata pelan. "Panggil dokter!" Arjun menekan tombol di ranjang Deka."Deka sayang ... Kamu bangun, Nak ...."Bahagia sekaligus terharu. Akhirnya doa mereka terkabul. Bocah itu membuka matanya. "Pha ... Pha ..." kedipnya lemah. Suaranya yang lirih nyaris tak terdengar karena tertutup sungkup oksigen. "Iya sayang. Ini papa," menggenggam jemari mungil Deka. Air matanya mengalir haru."Tan ... te ... Ma ... Ma," tolehnya pada Niswah yang mematung dalam tangis harusnya."Iya, sayang ... Ini tante mama Deka." Bocah itu mengerjakan matanya lemah. Napasnya naik turun dengan itensitas yang masih lemah. Mengembun di sungkup oksigen.Dokter datang untuk memberi pemeriksaan lagi. Arjun dan Niswah menyingkir. Keduanya saling b
Hari ini, Arjun ke kampus. Ada hal mendesak yang tak bisa dia tinggalkan. Dia juga sudah sering izin. Arjun meninggalkan Deka bersama Niswah dan kakak iparnya, Dinda. Niswah sendiri kini mengikuti kelas lewat online. Khusus untuknya. Tentunya atas perizinan yang dimintakan Arjun untuknya.Dua wanita itu mengobrol dengan sesekali melihat kondisi Deka. Anak itu masih tertidur lelap, setelah tadi diperiksa dokter."Kulihat perempuan itu sering melihat dari jendela ruangan, Nis. Kamu tahu?" ujar Dinda. Gadis itu mengangguk."Iya, mbak. Aku pernah memergokinya. Tapi dia langsung mendorong kursi rodanya pergi. Dan, dia menangis, mbak."Dinda mengangguk. Dia juga melihat wanita itu menangis. Wanita yang pernah membuatnya kesal karena mendekati suaminya. Meski begitu, sebagai sesama perempuan, Dinda tak tega. Sedikit banyak, dia bisa menerka perasaan apa yang dipendam Aini. Bagaimanapun juga, perempuan itu ibu kandung Deka."Aku gak berani bilang sama pak
"Nis ... Niswah, bangun."Alam sadarnya terasa tersedot. Dibangunkan dadakan begini, Walaupun dengan lembut tetap menyisakan pening di kepalanya. Suara kegaduhan menyita perhatiannya. Memaksanya membuka matanya."Mbak, apa yang terjadi?" Gelisah langsung menerpanya begitu melihat dokter dan suster di ranjang Deka. Dinda juga menangis. Perasaannya mulai tak enak."Maafkan mbak, Nis.... Tadi Deka masih baik-baik saja, tap-tapi tiba-tiba kejang-kejang. Mbak langsung panggil dokter."Niswah mematung. Pikirannya mencoba menerka, tapi rasanya mendadak buntu. Deka ... bukankah, tadi dia menemui anak itu ... dalam mimpinya. Bahkan mereka tertawa-tawa saling mencipratkan air, di pantai. K-kenapa jadinya begini?Niswah masing bergeming saat Dinda memeluknya. Air matanya mengalir tanpa ekspresi. Ini lebih mengejutkannya, karena beberapa hari ini, Deka sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan.Malah lama, Bahu Niswah terguncang. Air matany
Senja juga butuh istirahat. Kembali ke peraduannya setelah dua belas jam memberi kehangatan pada bumi. Cahaya keemasannya memancar dengan diselingi awan hitam. Dan saat sang mentari sempurna tenggelam, maka saat itu pula terang digantikan oleh kegelapan. Dan, apakah kita perlu kehilangan dulu untuk menyadari betapa pentingnya kehadiran 'sesuatu' itu? Ah, rasanya terlalu klise membahas hal menyebalkan itu. Penyesalan, rasa sakit, selalu datang belakangan bukan? Tentu, itu sebagai rambu pada manusia untuk berhati-hati dengan tingkah lakunya. Untuk meminimalisir yang namanya 'penyesalan' itu pastinya.Peristiwa Deka, seakan memberi tamparan pada orang dewasa akan hal tersebut. Mengajarkan bahwa selamanya keegoisan hanya akan menyakiti banyak pihak. Mengorbankan sosok yang tak seharusnya merasakannya. Terutama sekali untuk Aini. Dia benar-benar menyesali keegoisannya. Peristiwa Deka menjadi titik balik untuknya. Perempuan itu telah berjanji untuk berubah. Juga untuk Arjun, bahwa meski se
"Dia udah nikah," lanjut Niswah."Memang.""Memang bapak tidak cemburu?" tukasnya lagi."Untuk apa? Dia bukan kamu yang patut saya cemburui. Kecuali kalau itu kamu dengan Jefri, meski hanya saling mengobrol, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya cemburu."Niswah meringis. Meski Arjun sudah mengatakan bahwa dirinya tidak ada perasaan apa-apa dengan Liza, jiwa perempuan Niswah tetap bersikeras untuk berburuk sangka. Tapi, demi kemarin dia melihat postingan wanita itu, tentunya lewat instagram Arjun yang dia pakai, wanita itu mengupload foto pernikahannya yang sudah terlewati."Sudah saya katakan, saya dan Liza hanya berteman biasa. Jadi untuk apa dicemburui?" Arjun berkata lagi karena Niswah tidak menyahut ucapannya tadi.Niswah salah tingkah. Salahkan saja dirinya yang gampang cemburuan. Padahal Arjun sudah menjelaskannya. Ah, perempuan kerap kali begitu. Suka membuat asumsi sendiri."Emm, bapak tidak kondangan?""Tidak. Dia
"Berhenti ganggu gue. Gak usah berlagak seolah lo punya hak atas gue. Gue udah anggap kita putus!"Bahkan usahanya meminta langsung pada orang tua gadis itu pun gagal, dan berakhir penolakan kasar dari si gadis. Zul harus menelan pil pahit itu lagi. Tanpa gula, ataupun madu. Murni pahit.Kini dibalik kaca mobilnya, Zul memandangi sang gadis yang dijemput oleh Kevin Apakah kisahnya memang benar telah berakhir sampai disini? Pemuda itu mengela napas kasar. Melajukan mobilnya dan menyalip kasar motor berikut penumpang tadi. Menyeringai tipis meski dia tidak mendengar makian sang penumpang. Dia sudah membayangkan ocehan yang bakal merepet dari bibir tipis sangat gadis. Maafkan saja, hatinya sedang kesal...Sampai di kantor, Zul mendaratkan bobot tubuhnya ke kursi kerjanya. Rautnya lesu meski masih pagi."Bujang satu ini setiap hari bawaannya pengen makan orang. Ada masalah?" Zul mendongak sekilas. Mengulas senyum tipis menanggapi perkat
"Heh? Yang benar saja? Gak mungkin. Lo baru sebulan disini, Zul. Cepet amat nggaet cewek." Irvan berucap sangsi. Reza juga menggeleng. "Jadi waktu itu kalian udah pacaran? Terus kalian marahan, sampek buat lo suka uring-uringan?" Yang lain juga melongo, tak percaya. Segitu cepatnya Zul menggaet kasir galak itu? Padahal Zul disini baru berjalan sebulan."Jangan ngayal to, Zul. Patah hati boleh, tapi berhayal jangan."Zul mendecak. "Dia pacarku. Sudah berjalan kurang lebih hampir satu tahun. Tapi, gara-gara kesalah pahaman internal, dia memutuskan pergi. Aku tidak tahu keberadaannya, tapi ternyata kami bertemu lagi disini. Dan, yah ... dia masih marah. Makanya aku berusaha memperbaiki hubungan kami."Mereka saling pandang. Antara percaya atau tidak dengan penuturan Zul. Lalu kompak menatap sangsi pada Zul. Merasa kesal, Zul memperlihatkan wallpapernya yang menampilkan fotonya dengan Della. Membuat mereka terperangah."Zul gak bohong ternyata."
Esok paginya, saat Zul hendak berangkat kerja, dia dikejutkan dengan kedatangan wanita gendut yang dulu pertama kali menyapanya saat tiba di desa ini, yups ... itu ibu Ika, tentunya dengan Ika yang terus menunduk."Sudah mau berangkat ya mas polisi?" "Iya nih, Bu. Siap-siap," sahut Zul setengah heran. Ada apa mereka pagi-pagi ke rumahnya."Oh, kebetulan sekali. Ini loh, Ika, anak ibu gak ada barengan, mau berangkat kerja. Padahal udah hampir kesiangan loh ini. Malah temannya gak tahu kemana, kok belum datang-datang juga.""Oo, mau bareng ya, Bu, ya?" Zul mulai paham arah pembicaraan."Yaaa katanya kemarin mas polisi juga kan yang barengin pas pulang sore-sore itu. Jadi, kalau hari ini dan seterusnya numpang, boleh gak mas polisi?""Gak papa, Bu. Sekalian juga berangkatnya. Toh, arahnya juga sama," timpal Zul tersenyum. Melirik pandang ke gadis yang sedari tadi tak berani mengangkat wajahnya. Benar-benar gadis desa yang pemalu."Makasih lo ini, mas p