"Jadi kamu sama Nalen akan meresmikan pernikahan kapan?" tanya Kalyra di seberang sana."Jangan lupa kabari kami kalau kalian menikah!" seru suara lain yang Safiyya tahu adalah Ken. Lalu disusul suara gaduh bersahutan.Safiyya tersenyum, ia jadi merasa rindu dengan keluarga Rebecca yang selalu ramai. "Pasti, Ken. Aku tak akan melupakan kalian.""Ngomong-ngomong bagaimana dengan Anna? Apa dia masih belum menyerah mengusikmu?" Kalyra mengambil alih ponsel nya kembali.Pertanyaannya membuat Safiyya terdiam. "Sebenarnya aku menghubungimu juga untuk membahas Anna. Dia sudah bebas dari penjara. Entah siapa yang menolong.""Apa! Bisa-bisanya ada orang yang membebaskan wanita jahat itu. Menurutmu siapa? Apa Nalen mencabut tuntutannya?""Aku sendiri tak tahu, Kaly. Tapi Anna tiba-tiba berubah. Dia bukan seperti Anna yang dulu.""Maksudmu?""Ya, sikapnya berubah total. Dia jadi lebih baik. Bahkan sikap arogan dan permusuhan yang biasa diperlihatkan padaku sudah tak ada. Dia meminta maaf pada se
"Suasana di luar memang sangat tenang bukan?"Maira membuyarkan lamunan ketika suara bariton terdengar masuk ke gendang telinga. Wanita yang kini tengah duduk di taman itu sedikit terkejut saat mendapati laki-laki yang tadi dilihat nya bersama Anna sudah berdiri di samping bangku ia duduk."Anda ...." Maira menggantung kalimat. Ia menatap Brian kaget.Bukanya menjawab, Brian malah tersenyum. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Brian sopan sambil menunjuk kursi kosong di samping Maira.Lama tak kunjung ada jawaban, hingga Brian kembali membuka suara. "Kalau tak bo-""Silahkan," jawab Maira akhirnya.Brian pun tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian duduk. "Sebelumnya kenalkan, saya Brian. Senang bertemu denganmu. Kamu yang tadi bersama Nalen dan istrinya, kan?"Maira mengangguk ragu, ia menatap tangan Brian yang terulur sebelum membalasnya. "Saya Maira, senang juga berkenalan dengan Anda," jawabnya sesopan mungkin. Biar bagaimanapun Maira merasa perlu waspada dengan orang yang baru pe
Seperti rencana pasangan itu kemarin, hari ini Safiyya dan Nalen akan berangkat ke Jogja. Tak lupa mereka juga mengajak Maira dan yang lain ke sana. Bahkan semua biaya akomodasi ditanggung oleh Nalen karena memang mereka akan menginap di rumah laki-laki itu.Safiyya terlihat cantik dengan terusan crinkle berwarna peach berpadu hijab pashmina hitam. Ia dan semua sahabatnya sedang menunggu seseorang."Ini kita nunggu siapa lagi, sih, Saf?" tanya Maira tak sabaran.Tak berapa lama Yusuf terlihat datang sambil memyeret kopernya. Kehadiran laki-laki itu membuat jantung Maira tiba-tiba berdetak."Kenapa Yusuf harus ikut, sih, Saf?" gerutu Maira kesal. Pasalnya kemarin Safiyya bilang Yusuf tak bisa pergi."Emang kenapa, Mbak? Kok kayaknya Mbak Maira ketus mulu dari kemarin sama Mas Yusuf?" ujar Gibran heran. Sebab tak sekali dua kali ia melihat mereka bertengkar.Ucapan Maira juga dihadiahi lirikan kesal Felis. "Bener kata Gibran. Kenapa sih sewot mulu sama Pak Yusuf? Toh dia ikut juga karen
Sekitar satu setengah jam, akhirnya Safiyya dan Nalen sampai di kota Jogja. Pak Paijo dan bu Sumi, sepasang suami istri yang bertugas menjaga rumah itu sudah menunggu kedatangan mereka di sana."Selamat datang di rumah ini lagi, Mas Nalen, Non Safiyya," ujar Paijo ketika Nalen dan Safiyya turun."Halo, Jo, Kalian apa kabar? Akhirnya setelah sekian lama kita bisa bertemu lagi." Nalen membalas sapaan mereka dengan perasaan bahagia, lalu memeluk Paijo yang memang seumuran dengannya. Dulu ketika Nalen kecil ia sering sekali bermain dengan Paijo."Kamu sudah menyiapkan kamar untuk mereka semua, kan?" ujar Safiyya ketika ia sudah melepas pelukan dengan Sumi."Sudah, Non. Mari silahkan masuk," ujar Sumi pada semua sahabat Safiyya.Paijo terdiam saat matanya menangkap sosok Brian ikut turun. "Mis Anna?"Anna hanya menyunggingkan senyum kaku. Ia menatap Nalen was-was, karena laki-laki itu kini tengah menatap ke arahnya penasaran."Kamu kenal Anna, Jo?"Tubuh Anna menegang saat Nalen bertanya d
Yusuf berjalan dengan gontai memasuki rumah Nalen. Begitu ia baru mencapai pintu depan, sebuah obrolan terdengar samar-samar. Ia mencari sumber suara yang ternyata berasal dari percakapan Anna dan seorang laki-laki berkulit sawo matang. Dari gesturnya Anna seperti tengah memarahi laki-laki itu. Yusuf menduga orang yang bersama Anna adalah pekerja di rumah ini.Tak ingin ikut campur, Yusuf pun akhirnya memilih masuk ke dalam rumah. Jam sudah menunjukan pukul empat sore saat ia sampai ke sana. Begitu mengucap salam, semua orang ternyata tengah berkumpul di ruang tengah."Kamu baru sampai atau mampir dulu ke rumah Maira?" tegur Safiyya."Paling juga mampir ke rumah Maira. Lihat aja tuh rantang di tangannya," timpal Nalen kemudian, sambil menunjuk rantang putih yang ditenteng Yusuf.Pasangan suami istri itu tak sadar bahwa kata-kata mereka membuat mood Felis berubah seketika. Wanita itu langsung pergi dari sana karena kesal.Safiyya yang baru menyadari itu pun merasa tak enak hati. "Fel,
"Jadi maksud kamu mengajak Anna ke Jogja adalah demi mencari tahu keterlibatannya dalam kecelakaan yang menewaskan Alice dan ayah kamu?" Maira bertanya pada Safiyya. Keduanya kini tengah bicara di taman belakang rumah keluarga Firdaus. Sedang Nalen tengah bicara bisnis dengan Hizam.Safiyya mengangguk yakin. "Ya, aku yakin sekali bahwa penyebab kecelakaan itu adalah Anna. Ia sengaja ingin membunuh Alice tanpa memprediksi bahwa Nalen akan ikut di mobilnya.""Tapi apa kamu yakin Anna ikut ke Indonesia?""Itu lah yang sedang aku cari tahu. Aku harus menemukan orang yang ditemui Anna sebelum Alice meninggal.""Kamu harus lebih berhati-hati. Aku akan berusaha membantumu juga. Semoga kedok Anna cepat terbongkar. Tapi kenapa kamu nggak memberikan saja semua bukti yang Mark serahkan?""Semuanya masih kurang, Mai. Dokumen itu hanya berisi tentang latar belakang Anna dan alasan ayah angkatnya selalu membatasi pergaulan Anna. Bahkan bersikap sangat ketat dan tak segan menghukum Anna. Semua hal y
Safiyya keluar dari kamarnya karena ingin mengambil minum. Jam sudah menunjukan pukul dua belas ketika samar-samar ia mendengar suara benda berdenting di area dapur. Dengan ragu dan jantung yang mulai berpacu, ia mengendap ke arah sana untuk memastikan.Safiyya menautkan alis ketika mendapati lampu dapur menyala. "Siapa!" serunya kemudian. Lalu munculah Anna yang baru saja berjongkok untuk mengambil sesuatu di kulkas."Anna," gumam Safiyya heran."Hai, aku ke dapur untuk mengambil beberapa cemilan. Kamu mau?" tawar wanita itu sambil menunjukan cemilan yang kemarin ia bawa.Safiyya menggeleng lalu berjalan untuk mengambil gelas besar. "Aku hanya ingin mengambil air," ujarnya sambil menuang air dari dispenser."Oh, ya. Aku penasaran ingin menanyakan sesuatu sama kamu, An," sambung Safiyya. Ia lalu berjalan menghampiri Anna dan duduk tepat di depan wanita itu."Menanyakan apa?" Anna menjawab sambil memakan cemilannya."Kamu dan Paijo kelihatannya akrab sekali. Kamu pasti dulu sering data
Safiyya menatap bangunan pondok pesantren di depannya dengan senyum terkembang. Setelah sekian lama ia akhirnya bisa kembali lagi ke tempat ini. Walau sudah banyak yang berubah tapi suasananya masih sama seperti dulu. Ramai dengan beberapa anak didik yang tengah belajar."Assalamualaikum," sapa Nalen kemudian.Tak berapa lama, seorang wanita seumuran Gibran yang ia tahu adalah anak ustaz Halim, keluar. "Mbak Safiyya," gumam wanita berhijab itu."Hana." Safiyya tak kalah kaget, sebab dulu terakhir kali bertemu Hana ketika wanita itu masih duduk di bangku SMA."Masya Allah, kamu cantik sekali," puji Maira pada wanita berhidung mancung dengan kulit putih itu.Hana tersenyum malu lalu memeluk Safiyya. "Mbak juga cantik." Keduanya lalu sama-sama tersenyum saat mengurai pelukan."Ah, kedatangan Mbak ke sini ingin mengunjungi Ustaz Halim. Apa beliau ada?"Hana diam sejenak mendengar pertanyaan Safiyya, ia menatap sedih wanita di depannya. "Ayo masuk dulu, Mbak. Kita bicara di dalam," ujar Ha