“Mas, ini tidak lucu!” Serra merengut kesal.Nino yang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan bertelanjang dada membuat Serra benar-benar kaget. Untung saja ia terjatuh bukan saat kondisi sedang hamil.“Kamu juga tadi mengagetkanku, sekarang gantian,” ujarnya dengan sisa tawanya.Seulas senyum terlihat di bibir Serra, ia merasa lega melihat senyum suaminya. Padahal tadi ia ingat betul jika Nino pergi dari kamar.“Bukannya tadi kamu pergi ke luar, Mas?” tanya Serra, ia baru saja akan berdiri namun dengan gerakan cepat Nino membopong tubuh wanita itu.“Mas, aku bisa jalan sendiri.” Serra protes tapi mengeratkan tangannya di leher Nino.“Tapi aku ingin menggendongmu.” Nino menurunkan Serra di ranjang.“Kamu masih marah?” Ia memulai kembali obrolan itu hanya untuk memastikan jika Nino sudah tidak marah.Meski merasa heran karena tidak sampai lima menit yang lalu Nino masih memasang muka masam dan sekarang sudah full senyum seperti tidak terjadi apa-apa.“Tawaranmu tadi rasanya sayang k
“Tidak boleh kah sekali saja? Kita juga nanti akan menikah.”Tak!Edwin meringis saat keningnya disentil jemari lentik Melody.“Aku tidak mau!”Edwin mengusap keningnya itu, “Aku juga bercanda, Mel. Mana mungkin aku mau melakukannya, aku tidak ingin adiknya Zea datang sebelum waktunya. Besok aku akan bicara pada orang tuamu.”“Jangan bercanda, Ed.”“Kalau tidak mau bercanda, aku serius saja. Kau lebih senang bukan? Aku masih ada kesempatan karena Andrew juga belum bertemu dengan orang tuamu ‘kan?”“Bisa menyingkir dari atasku?”“Oh, maaf.” Edwin langsung berdiri.“Ed, kau benar tidak bercanda ‘kan?” Melody masih tidak percaya.“Lihat besok saja, kau bisa memastikan aku bercanda atau tidak. Tidurlah!” Edwin melangkah ke arah sofa dan merebahkan tubuhnya di sana.Melody memperhatikan gerak-gerik Edwin, ia bahkan sampai mencubit pipinya sendiri untuk memastikan jika memang apa yang baru saja terjadi bukanlah sebuah mimpi.“Bukan mimpi, sakit,” gumam Melody sambil mengusap pipi yang tadi
“Sabar.” Nino menepuk pundak Melody dan Edwin, “Papa juga menunggu Bunda tidak sebentar, dua tahun. Lumayan lah. Ed, kau juga harus mencoba menunggu dua tahun.”“Tidak, tidak. Aku akan berusaha agar secepat mungkin menikahi Melody.” Edwin tidak ingin ada yang mendahuluinya.“Berlomba saja dengan Andrew, siapa tahu dia juga berubah pikiran.” Serra mengompori, sengaja ingin membuat Edwin kepanasan.“Jangan begitulah, Bun. Kalau ada yang datang untuk melamar Melody, katakan saja kalau Melody sudah ada yang punya.”Melody mencibir, “Sebelumnya kau seperti jijik padaku sekarang malah takut kehilanganku.”“Tidak usah saling menyindir, kalian berdua itu sama! Pokoknya sebelum menikah kalian tidak boleh berduaan.” Tian langsung memberi peringatan.“Aku tidak begitu lagi, Yah.” Melody merengut kesal.“Bagaimana kalau Melody ikut ayah saja, biar tidak ada kesempatan kalian berduaan.” Tian memberikan saran yang langsung ditolak mentah-mentah oleh keduanya.“Jangan begitu juga, Yah. Aku tidak bis
Bu Sanjaya memberikan undangan pernikahan Edwin dan Amanda yang akan dilaksanakan dua minggu lagi, Melody santai saja karena ia sangat yakin pada Edwin, Edwin tidak akan mungkin main-main.“Sudah tahu Edwin tidak akan menerima, ini namanya mempermalukan diri sendiri. Bagaimana saat hari H Edwin menolak datang?” Melody geleng-geleng kepala, ia sama sekali tidak merasakan lagi ketakutan, tidak takut kehilangan.“Edwin pasti belum mengatakan apa-apa pada Mamanya?” tebak Serra.“Belum, Bun.”“Suruh dia segera selesaikan semuanya, jangan sampai nanti keluarga besar Edwin yang malu.”“Iya, nanti aku bicara pada Edwin soal ini.”Matahari sudah mulai tenggelam, meski ingin menikmati senja lebih lama namun lelah yang dirasa membuat mereka harus beranjak.Setelah selesai membersihkan dirinya, Melody menjemput Zea yang ada di kamar Edwin. Besok mereka akan pulang, mengakhiri liburan meski masih betah untuk berlama-lama.“Ada hal penting yang aku ingin bicarakan,” ungkap Melody.“Apa?”“Nanti saj
Edwin melepaskan pegangannya dari koper membuat Bu Sanjaya bersorak di dalam hati. Lelaki itu melangkah ke dapur dan kembali lagi dengan kedua tangan yang menggenggam sesuatu.“Silahkan pilih, mau mengiris pergelangan tangan.” Edwin menaruh pisau di atas meja, “atau mau minum jus ini.” Satu botol besar racun serangga turut dibawanya dari dapur.Bu Sanjaya melongo saking kagetnya, ia kira Edwin akan langsung luluh malah bersikap seolah mendukung.“Aku mau cari kontrakan dulu.” Setelah Edwin tak terlihat Bu Sanjaya masih terdiam di tempatnya.Tidak akan ada orang yang benar-benar berani bunuh diri hanya untuk mengancam karena jelas akan sangat merugikan karena memang dari awal Bu Sanjaya hanya pura-pura tapi ternyata Edwin malah tidak menanggapinya.Edwin pergi meninggalkan rumah, sebelumnya ia sudah memberitahu sang ayah soal kepindahannya yang tiba-tiba ini.Sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat Melody menjadi pilihan, ia sudah meminta bantuan temannya untuk mencarikan ag
“Bagus tidak?”Bukannya menjawab, Melody malah mengernyitkan dahinya, “Bunda mau beli?”“Jawab saja, bagus tidak? Bunda masih ingat kamu pernah tunjuk gaun ini, kamu bilang mau memakainya saat menikah nanti.”“Iya, sih. Tapi ‘kan belum, Bun. Mamanya Edwin juga belum memberikan restu bagaimana aku dan Edwin bisa menikah.”“Pakai. Bunda juga mau mengajakmu ke suatu tempat.”“Tidak bisa pakai baju biasa saja, Bun. Repot sekali pakai ini.”“Ayo cepat, tempatnya bagus untuk foto prewedding, setidaknya sebelum menikah ada fotonya. Bunda tunggu di bawah.”Melody menatap gaun yang dibawa sang ibu, gaun impian Melody, bahkan ini lebih indah daripada yang dilihatnya. Tentu saja lebih indah karena dirancang ulang dan tidak ada yang memiliki gaun yang sama. Untuk putri sambungnya tersayang, Nino mendatangkan desainer terbaik.Tok! Tok! Tok!Baru saja Melody selesai memakai gaun itu, pintu kamar diketuk.“Masuk.”Seorang yang tak dikenal mendorong pintu dari luar.“Mbak Melody, saya diminta Bu Ser
“Ed, apa tidak terlalu berlebihan?”Melody melirik Edwin yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah.“Berlebihan apanya?” Edwin tidak mengerti dengan arah pembicaraan wanita yang kini sudah menyandang status sebagai istrinya.Meski pernikahan mereka dadakan tapi itu sama sekali tidak menghilangkan kebahagiaan yang mereka rasakan.“Soal Mama.”“Itu sudah risiko, siapa suruh mengambil keputusan tanpa berpikir lebih dulu. Kau tahu, Mama melakukan hal yang sama denganmu,” ujar Edwin lalu melempar begitu saja handuk ke arah sofa.“Handukmu itu jangan lempar ke sana, basah!” Melody langsung melotot, biasanya wanita itu akan masa bodo tapi sekarang sudah memiliki jiwa keibuan jadi sesuatunya harus selalu rapi.“Iya, iya.” Edwin menurut saja daripada tidak mendapat jatah.Memang bukan malam pertama bagi mereka tapi ini malam pertama setelah keduanya saling mengungkap rasa dengan status yang halal tentunya, jadi melakukan apapun sudah tidak akan ada yang
Edwin terjaga, ia mengerjapkan matanya pelan. Menyapukan pandangan pada seisi kamar.“Ternyata sampai ketiduran di sini,” gumamnya, ia melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh.Niatnya tadi malam pindah tapi malah ikut ketiduran di kamar Zea.“Sayang, bangun.” Edwin mengguncangkan pundak Melody.“Aku masih mengantuk, Bun,” balasnya masih dengan mata terpejam.Edwin terkekeh geli, “Sepertinya dia lupa kalau sudah menikah.”Sengaja tidak membangunkan Melody, ia membopong tubuh sang istri pindah ke kamar mereka. Bahaya jika mereka ribut-ribut di kamar Zea, nanti anak itu akan bangun.Baru saja punggung Melody menempel di di ranjang, matanya terbuka dan refleks mendorong Edwin hingga terjungkal.“Apa yang kau lakukan di sini? Bunda pasti marah tahu kau ada di kamarku.” Melody langsung marah-marah, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya jadinya begini.“Memang kenapa kalau Bunda tahu. Biar saja, biar kita langsung menikah.” Edwin menanggalkan kaos yang dipakainya.“Ed, apa yang kau laku