"Kelihatannya Shinta takut sama kamu, Ji. Setelah kamu tegur dia langsung menghentikan aksinya dan pergi." Arisha menyipitkan mata. "Kalian … punya hubungan spesial?" "Ngaco! Mana ada? Amit-amit!" "Aneh! Kalau nggak ada apa-apa antara kalian, nggak mungkin dia bersikap patuh sama kamu." Aji tersenyum tipis. Tentu saja Shinta tak berani berkutik bila berhadapan dengan dirinya, sebab dia memegang kartu as wanita licik itu. "Sejak kuliah dulu dia memang begitu jika berhadapan denganku. Tampangku serem kali ya? Mungkin dalam pandangannya aku ini monster, yang kapan saja bisa memangsa dirinya." Aji terkekeh, merasa lucu dengan apa yang dia pikirkan tentang anggapan Shinta mengenai dirinya. Sebaliknya, Arisha justru semakin heran. Tak mungkin ada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Apa itu? Entahlah. Arisha merasa hal itu bukan urusannya. Jadi, tak perlu mengulik terlalu dalam. "Um, Ji …." "Ya?" "Kalau jam istirahat begini, kita boleh kelua
"Sekarang kamu bisa duduk!" Dareen menurunkan Arisha di atas ranjang, tepat di samping Silla."Kak Sha!" Silla berseru kaget.Arisha tersenyum canggung seraya melambaikan tangan pada Silla. "Hai, Princess! Sudah merasa lebih baik?"Silla langsung bergerak maju.Arisha mengira gadis mungil itu akan mengalungkan tangan pada lehernya, seperti saat-saat itu, kala Silla merindukannya. Ia pun mengulurkan tangan, siap untuk memeluk bocah malang tersebut.Bugh! Bugh!"Kak Sha jahat! Kak Sha jahat!" Silla memukul Arisha dengan kepalan tinju mungilnya. "Kak Sha janji nggak bakal ninggalin Silla. Kenapa Kak Sha pergi? Huuu …."Silla tergugu.Arisha, yang tak menyangka akan mendapat sambutan berupa serangan brutal dari Silla, hanya diam terpaku. Pasrah menerima setiap pukulan yang dilayangkan bocah cilik itu.Setelah merasa lelah, Silla terkulai lemas pada pundak Arisha. Arisha segera membawa putri kecil itu ke dalam pelukannya.Dia membelai surai halus milik Silla tanpa sepatah pun mengucap kata
"Gimana? Silla senang bisa ketemu lagi sama Kak Sha?" "Silla senang banget. Makasih, Daddy!" Silla memeluk Dareen yang telah duduk di bibir ranjang. Dareen ikut tersenyum. Merasa puas karena strateginya berhasil dengan gemilang. Malam sebelumnya, setelah selesai menyuapi Silla, Dareen keluar dari ruangan itu, berniat hendak ke kantin. Dia butuh secangkir kopi untuk menahan kantuk. "Tuan!" Lelaki yang berjaga di depan ruangan Silla bergegas menyongsong Dareen, begitu mendengar derit pintu terbuka. "Ada apa?" "Ada berita bagus, Tuan!" Wajah lelaki itu berbinar cerah. "Katakan!" "Tadi, Nona Arisha ke sini, Tuan." Dareen tercenung sesaat. "Kau yakin, itu Arisha?" "Yakin, Tuan! Saya bahkan membandingkan wajah wanita itu dengan foto yang Tuan kirim. Sama persis." "Apa yang dilakukannya? Apakah dia menemui Silla?" "Kalau itu … saya tidak yakin, Tuan. Saat saya kembali dari toilet, saya hanya melihat dia mengintip dari jendela, Tuan." Lelaki itu menunjuk jendela, di mana Arisha be
"Eh, eh, apa-apaan ini? Lepaskan aku!" Alfian menjerit dongkol saat merasakan badannya diseret pergi, seolah-olah dia adalah sebuah troli. Rasyad tak menggubris jerit kemarahan Alfian. Dia terus menarik lelaki itu hingga tiba di luar restoran dengan melewati pintu belakang. Bruk! Rasyad mendorong Alfian dengan kasar, hingga lelaki itu nyaris tersungkur. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kasar padaku!" bentak Alfian setelah berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya dan berdiri tegap. Rasyad tersenyum sinis. "Bukan hanya perilakumu yang tidak baik, tapi ingatanmu juga buruk!" Rasyad menggaruk bagian belakang telinganya seraya melayangkan tatapan menghina pada sosok Alfian, yang terlihat berpikir keras. "Tak perlu buang-buang tenaga untuk mengingat siapa aku. Cukup aku saja yang mengenalimu. Ini peringatan terakhir dariku, jauhi Arisha atau kau akan menyusul istrimu di penjara!" Seketika Alfian mengingat lelaki yang datang bersama Arisha saat ia membesuk Nadine waktu
"Arisha! Astaga! Kamu mau ke mana? Bukannya pulang ya?" Aji memburu Arisha, yang berbelok kembali menuju dapur setelah meninggalkan lokernya. "Huh?" Arisha menoleh bingung. "Iya. Ini baru mau pulang." Aji geleng-geleng kepala seraya mendecak. "Jalan pulang ke sana, Arisha …." Aji menunjuk koridor yang mengarah ke bagian depan restoran. "Huh? Aku salah?" Arisha memperhatikan lorong yang dilaluinya, lalu menoleh ke kiri, pada koridor lain yang ditunjuk oleh Aji. "Oh, ternyata memang salah." Arisha berbelok, mengikuti jalur yang benar. "Astaga, Arisha! Kamu kenapa sih? Dari siang tadi aneh banget." Aji menyejajari langkah gontai Arisha. "Tadi hampir bikin dapur kebanjiran, sekarang salah jalan. Besok apa lagi?" Arisha tak menyahut. Pikirannya masih dipenuhi dengan sejuta tanya tentang Alfian dan Rasyad. Ia masih belum percaya dengan berita yang didengarnya. Untuk bertanya pun rasanya malu. Takut nanti Rasyad mengira bahwa dia masih mengharap Alfian dalam hidupnya. Jadi serba salah
Bugh! Kepalan tinju Arisha mendarat, tepat di ulu hati Alfian, membuat lelaki itu terbungkuk. "Dan itu untuk penderitaanku yang nyaris kehilangan kehormatan!" Alfian melotot. "Arisha, aku … aku minta maaf." Akhirnya kata sakral itu meluncur juga dari bibir Alfian. Susah payah ia menahan sakit untuk bisa berdiri tegap, berhadapan dengan Arisha. "Aku melakukan itu, karena aku … sangat mencintaimu, Arisha! Aku ingin kau tetap menjadi milikku." Arisha menatap dingin pada Alfian dengan kemarahan yang tertahan. Tanpa diduga, kakinya melayang, menghantam senjata pusaka milik Alfian sekuat tenaga. Seketika kedua tangan Alfian menangkup aset paling berharganya yang terasa nyeri luar biasa. Ia melolong dan terempas ke lantai, meringkuk kesakitan. Aparat polisi, yang sedari tadi mengawasi Alfian, tetap berdiri di tempatnya. Pun sama halnya dengan Rasyad. Walau keduanya juga refleks menyentuh pusaka masing-masing dengan roman muka seakan-akan ikut merasa ngilu, tak ada dari mereka yang me
"Gila kamu ya! Tahu kamu jadi pelaku kriminal begini, ogah aku bantuin kamu!" "Aku juga menyesal, Hanna. Aku dibutakan oleh cinta. Aku tidak rela Arisha menjadi milik lelaki lain. Makanya aku melakukan segala cara untuk mendapatkannya." "Tapi, nggak gini juga caranya, Alfian!" Hanna geregetan sendiri dengan kelakuan teman masa kecilnya itu. "Sekarang lihat hasilnya! Kamu mendekam di sini. Untung Arisha nggak kenapa-napa." Hanna kesal dengan aksi nekat Alfian, yang hampir saja menodai kehormatan Arisha. Hanna tidak benar-benar peduli pada Arisha. Ia hanya tidak rela, aset berharga yang akan ia jual kepada salah satu pelanggannya cacat sebelum ia berhasil meraup keuntungan. Jika keinginannya telah tercapai, ia bahkan tak peduli bila Arisha mati sekalipun. "Kau bisa bantu aku keluar dari sini kan, Hanna?" "Pakai apa? Kamu pikir aku punya banyak uang? Untuk bertahan hidup saja susah, apalagi membayar biaya pembebasan kamu." Hanna menjawab ketus. Niatnya mau bekerja sama dengan Alf
"Jadi kamu sudah bertemu dengan gadis itu? Kenapa tidak memberitahu oma? Kamu sengaja ingin membuat oma tersiksa karena rasa bersalah? Iya?" Nyonya Hart memburu Dareen dan membombardir sang cucu dengan serentetan pertanyaan bernada tinggi. Alhasil, napasnya tersengal-sengal setelah berada di puncak tangga. Ia berpegangan pada kepala pagar pembatas. Dareen terus saja berjalan tanpa menghiraukan serangan peluru tanya dari Nyonya Hart. "Dareen! Keterlaluan kamu! Tega-teganya kamu mengabaikan oma!" Ingin rasanya Nyonya Hart kembali memburu Dareen, tapi tenaganya sungguh lemah. Lututnya gemetar lantaran tergesa-gesa menaiki tangga demi mengejar langkah Dareen. "Ya Allah, apakah dosaku terlalu besar sampai-sampai cucu sendiri menjauh dariku?" "Nggak usah banyak drama, Oma! Geli mendengarnya!" Tahu-tahu Dareen telah tegak di depan Nyonya Hart seraya menyodorkan sebotol air mineral yang diambilnya dari kamar. "Minumlah! Oma pasti haus." Kekesalan Nyonya Hart melunak begitu mendapat pe