“Nana, sebelum kau pergi, bolehkah aku memintamu menghapus sebuah file?”
Nana menoleh penuh kepadaku, “File yang mana, Nona?”
“File tadi yang ada di rapat. File berisi foto yang ditunjukkan oleh pengacara...”
“File yang ada foto dan profil dirimu, Nona?” sebelum aku menyelesaikan kalimatku Nana sudah memotong.
Apa? Ucapan menusuk kedua dari si A.I. hari inil. Kalau di pertandingan sepak bola, Kali ini dia sudah membuat skor menjadi 2-0.
“File yang ada foto diriku?” tanyaku berupaya bersikap seolah-olah tidak tahu.
“Tentu dengan pembesaran zoom dua puluh kali dan pertajaman gambar saja, aku sudah dapat melihat figure wanita yang mengantarkan para saksi tadi adalah dirimu, Nona Sophie. Apakah Anda menginginkan saya untuk membuka file foto Anda beserta identitasnya?”
Brengsek! Kenapa mereka menciptakan AI secanggih ini, harus bagaimana aku ini?
“Tidak... Tidak...Kau tidak perlu menunjukkan file itu pa
Ucapan Neil dan A.I. sok tahu, Nana, kemarin, membuatku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sepanjang malam kalimat jatuh cinta, cantik, serta pertanyaan apakah aku menyesali atau tidak peristiwa one night stand yang terjadi antara aku dan Neil terus-menerus terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan lucunya aku tidak dapat menyingkirkan wajah dan sorot mata Neil, meskipun sudah berusaha menyingkirkannya dari otak dengan berusaha memejamkan mata. Sial kenapa wajah laki-laki menyebalkan itu selalu muncul di kepalaku? Kupukul kepalaku beberapa kali untuk menyingkirkan wajah manis itu dari otakku. Manis? Hah! Rupanya aku sudah gila! Memikirkan laki-laki tengil itu membuat seluruh tubuh dan pikiranku terasa amat lelah. Padahal ini akhir pekan, dan Sabtu Minggu adalah hari liburku baik di Firma Hukum Benjamin maupun Wollim, tapi pagi ini aku justru terpaksa menembus jalanan ibukota untuk bertemu dengan salah satu korban pencemaran lingkungan PT Orin be
“Pak Doni, apa terjadi sesuatu?” Entah mengapa tiba-tiba muncul firasat tidak enak di hatiku. Kali ini aku memperbaiki posisi duduk dan menatap layar head unit, kemudianmenyalakan mode merekam panggilan telepon. Tidak ada jawaban dari seberang, hanya ada suara napas yang terdengar ragu. “Katakan saja, Pak Doni. Mungkin aku bisa membantu.” aku mencoba bersikap tenang. “Akhir-akhir ini....Aku selalu merasa sedang diikuti seseorang," Suara Doni terhenti, ia terdengar menghela napas panjang sebelum kembali berkata, “Kurasa seseorang mengikutiku semenjak pertemuan kita untuk pengambilan sampel darah dua minggu lalu. Sepertinya mereka mengikutiku semenjak aku dan para korban keluar dari gedung Firma anda.” Aku menahan napas ketika Doni menyebutkan gedung firmaku. Aku tahu bahwa yang diucapkan Doni benar, karena fotoku pun muncul di rapat Wollim. Bisa jadi orang yang mengikuti Doni adalah suruhan Wollim. “Apa kau masih diikuti?” Aku harus mema
BAB 37 : KEDAI K Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul 08.25 WIB. Aku memarkirkan mobil tepat di depan sebuah kedai kopi 24 jam dengan nuansa rumahan. Kedai kopi ini didominasi warna cokelat kayu pada bagian depan bangunan, serta dipenuhi berbagai tanaman hijau yang ditata secara apik sehingga menimbulkan kesan asri. Sebuah plang kayu berukir tulisan ‘Rumah Kopi’ menggantung di atas pintu masuk kedai. Aroma kopi tercium cukup pekat dari depan bangunan rumah kopi tempatku berdiri. Kehangatan harum kopi bercampur karamel menenangkan pikiran sekaligus mampu meningkatkan semangatku yang sedikit layu. Begitu aku melangkah masuk ke dalam kedai tersebut, irama petikan gitar mengiringi nyanyian merdu seorang wanita yang melantunkan lagu I’m yours milik Jason Myraz. Pilihan playlist yang cukup bagus, sebab lagu ini mampu membangkitkan semangat para pengunjung yang masih mengantuk dengan cara yang lembut. Selain itu aku melihat sebuah meja bar berb
“Bu Sophie! Tidak...Tidak...Aku baru saja tiba. Silahkan duduk.“ Doni langsung berdiri dan mengulurkan tangannya begitu melihat kehadiranku. Doni berbohong padaku, Doni mungkin sudah cukup lama menungguku, bisa jadi ia sudah tiba jauh sebelum meneleponku tadi. Aku tahu itu jika melihat dari batang rokok yang sudah hampir habis di tangannya, serta lima sisa puntung rokok lain yang sudah habis terbakar di dalam asbak. Tangan Doni yang memegang rokok terlihat gemetar, sedangkan wajahnya cukup pucat dan kuyu, janggut dan kumisnya pun tampak tumbuh tidak terawat. Saat itulah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang lebih besar dari yang aku kira. Doni menarik kursi di sampingnya untuk kududuki. Begitu kami duduk, namun belum sempat berbincang, salah satu bartender berwajah oriental layaknya artis Korea mendekati kami. “Mau pesan kopi apa, Kak?” tanya bartender berwajah ramah dengan mata tersenyum seperti bulan sabit. “Satu cafe au lait,
Aku memandang Doni dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk antara penasaran, curiga, dan takut. Namun tekadku cukup bulat, rasa penasaran lebih mendominasi daripada perasaan lain. Tatapanku beralih pada layar ponsel. Kupandangi ponsel itu dengan saksama, pada bagian kanan atas video tampak deretan angka yang menunjukkan durasi video adalah lima menit. Menilai dari sudut pandang gambar, bisa kuyakini bahwa video ini direkam dari jarak dekat. Aku mengernyitkan dahi dan melirik Doni. Pria itu mengangguk sebagai tanda bahwa aku sebaiknya mulai menyaksikan video tersebut. Kutekan tombol play, tayangan dalam video mulai bergerak. Pada mulanya aku menyaksikan seorang pria berbadan besar dengan bekas luka melintang di antara mata kanan menuju pelipis, menodongkan pistol di kepala laki-laki kurus berkacamata dengan jaket putih yang tampak seperti jaket lab seorang peneliti. Darah berlumuran di bagian depan jas laboratorium sang peneliti. Wajahnya dipenuhi bekas luka dan
“Permisi, Kak, ini pesanannya. Satu cangkir cafe au lait, satu kopi hitam, dan satu sandwich keju,” seorang pelayan laki-laki berwajah oriental dengan seragam serba cokelat dan apron hitam di pinggul tersenyum ramah. Gerakannya yang efisien dalam menata cangkir dan piring di meja kami sedikit mengalihkan perhatian dari video pembunuhan yang baru saja kusaksikan. Khawatir jika video keji itu tanpa sengaja terlihat oleh si pelayan, masih dalam kelimbungan, kututupi layar ponsel dan segera kukembalikankan ponsel itu kepada pemiliknya, Doni. “Terima kasih,” ucap Doni dengan wajah datar, dan sorot mata waspada yang tidak sedikitpun ia tanggalkan sejak kedatanganku kepada pelayan itu. Sekilas kupandang sang pelayan, pada papan nama di dada kanannya tercantum nama Shandi. “Sama-sama,” pelayan bernama Shandi itu memamerkan senyumnya. “Sudah semua ya pesanannya. Kalau tidak ada lagi, saya permisi.” “Terima kasih, Mas Shandi,” Donie kemb
Brengsek, adegan pembunuhan itu terlalu kuat terpatri di dalam otakku, bahkan aroma kopi sudah tidak mampu mengalihkan pikiranku meskipun hanya sejenak. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pikiran? Aku menyesal sudah menekan tombol play pada ponsel Doni. Pembunuhan itu sangat biadab. “Hati-hati. Kopinya masih panas,” teriak Doni ketika aku menengguk kopi dengan cepat. “Panas..Panas…Eh monyong panas..Panas..!” Kopi panas tersembur dari mulutku. Doni berusaha menyentuh tanganku. Ia berniat menyadarkanku. Masalahnya garis koordinasi antara pikiran dan otot-otot tubuh tidak akan sejalan ketika latahku kambuh. Bukannya menjadi tenang, otot dan otakku justru semakin tidak terkendali. Dalam refleks cepat tidak terkendali, tanpa sengaja kuayun tangan yang masih memegang cangkir. Gerakanku sangat cepat. Untung saja tangan Doni segera menjauh dengan wajah memerah dan panik. Namun cangkir yang melayang segera pecah berkeping-keping
Doni menyeruput kopi miliknya, ransel hitam yang ia jaga, kini ia letakkan di atas pangkuannya, sedangkan aku hanya dapat menatap sandwich keju yang telah ditaruh oleh Doni tepat di hadapanku.Selera makanku sudah hilang.Jujur saja, segala gerak-geriknya untuk menjaga ransel itu dengan sangat hati-hati membuatku ingin bertanya perihal isi dari ransel itu. Sepertinya Doni menyadari arah tatapanku, sebab Doni tampak menggeser ransel di pangkuannya dengan tidak nyaman.“Maafkan aku ya, Pak. Semoga cipratan kopi panas itu tidak ada yang mengenaimu” ucapku tulus. “Tadi aku benar-benar tidak sengaja. Aku..”Doni menggeleng, lalu dengan cepat ia berkata, “Tidak, Bu! Bu Sophie tidak salah. Lagi pula orang waras mana yang bisa tetap bersikap tenang setelah melihat penyiksaan dan pembunuhan tadi?”Sebuah pernyataan yang tepat sasaran. Menenangkan dengan ucapan yang miris.Aku hanya dapat menatap lantai dal