Tubuh lelah setelah seharian bekerja membuatku bersandar pada kursi tempat ku duduk dengan nyaman. Membiarkan pesawat membawa ku bertemu dengan kekasih tersayang. Meskipun bolak-balik seperti ini akan menyusahkan, tidak ada pilihan lain."Selamat malam, Bu Dirga".Kalimat cengengesan itu membuatku membuka mata melirik Azhara bergabung dengan ku. "Tumben istri durjana pulang,"ucapku heran."Hei, Ibu. Saya kan anggota Ibu yang paling setia ikut pertemuan. Pasti saya akan datang seperti yang Ibu agenda kan,"ucap Azhara."Bisakah kamu memanggil ku Git saja, Dek Aditya?"tanyaku sebal mendengar dirinya terus menerus memanggil ku Bu.Memang aku sudah tidak lagi muda. Tapi panggilan Bu itu masih mengganggu bagi ku. Kecuali Rania. Dia pengecualian bagi ku. Selain itu, aku tetaplah Dyah Gita yang keras kepala dengan banyak pesona."Dibandingkan Mas Aditya, Pak Dirga lebih kasihan. Dia cuma berbuka puasa di ujung minggu,"ucap Azhara membuatku tersenyum kecil.Jangankan di ujung minggu, pria itu
Bunyi musik keroncong mengisi seluruh penjuru ruangan. Sementara menemani pria itu menyambut pagi, aku membawa teko berisi teh hangat. Tentu saja dengan gula lebih sedikit. Satu hal yang sama di antara kita selain keras kepala itu ketidaksukaan terhadap gula."Jembatan merah itu bukannya Gesang ya penyanyinya,"ucapku mendengar larik lagu yang di putar."Memang. Tapi saya lebih suka versi Dewi Yull,"ucap Dirga menyesap teh fokus dengan bacaan.Anggap saja saat ini aku menjilat ludah sendiri. Saat aku begitu merasa Dirga sangat lawas dan ketinggalan jaman malah membuatku menjadi istrinya. Sekarang, semua hal lawas yang dia lakukan adalah candu. Dia bukannya ketinggalan jaman tapi antik. Di dunia model yang begitu marak menampilkan tampilan modis tidak merubah gaya rambutnya. Apalagi saat di rumah hanya mengenakan kaus dan sarung disertai peci hitam membuatnya terlihat berkharisma. Meskipun begitu, saat di luar dia seperti pemuda umumnya."Tuan, apa membaca koran lebih menarik daripada
Gerimis yang turun di kota Jakarta tidak membuat sepasang insan berbeda usia itu lantas berdiam di balik selimut. Sebuah koper besar yang berdiri di depan pintu sudah menjawab pertanyaan yang tersemat dalam benak. "Mas, nggak mau cireng?"tanyaku setengah berteriak.Entah kemana perginya pria itu. Tamu bulanan yang datang tidak tepat membuatnya hanya tersenyum sabar. Mengganti kekecewaan yang ada padanya, tangan ku menjadi gatal memasak mengenyangkan perutnya. "Boleh. Dek, ayo nonton film,"ajak Dirga membuatku menaikkan sebelah mata."Yakin ngajak aku? Aku selalu ketiduran setiap nonton, loh,"ucapku meniriskan cireng ditemani bumbu pedas kuah pempek dari Bu Gading tadi sore.Terlalu sayang kalau dibuang. Terlebih Dirga terlihat menyukai makanan itu. Aku pernah diberi tahu Ibu tentang cara membuat suami betah di rumah. Salah satunya mengenyangkan perutnya. Sebenarnya tanpa menggunakan cara itu, jika istri pertamanya tidak memanggil dia akan berada di rumah sepanjang hari."Nggak papa.
Bandara sepertinya akan selalu menjadi teman baik pertemuan dan perpisahan. Aku kali ini setuju dengan kalimat itu. Selain itu dibandingkan di rumah pernikahan, lebih banyak ciuman yang tulus di bandara. Semua kalimat itu terasa benar sekarang.Saat di rumah aku malu untuk memeluknya mesra. Apalagi ada ajudan yang siap berjaga di rumah semakin membuatku menjaga jarak. Namun saat akan berpisah, tanpa malu dan peduli dengan sekitar malah mencium Dirga. Tentu saja di tempat tersembunyi mengingat saat ini aku bukan perempuan bebas.Tatapan mata Dirga yang begitu lekat sembari mengusap bibirnya membuatku memalingkan wajah menahan malu. Bagaimana cara mengawetkan rasa agar saat pulang aku tidak seperti kehilangan nafsu padanya. Setiap kali di rumah aku seolah tidak punya nafsu.Sedangkan setelah mau berpisah seolah semuanya harus ku ungkapkan sampai tidak peduli dengan norma masyarakat. Sangat munafik sekali kalau dipikir. Beberapa saat lalu ada sepasang kekasih meminta izin menikah yang ku
Riuh seluruh penjuru lantai departemen Laboratorium begitu menggema. Aku tahu pasti ini ide konyol Celine membuat acara penyambutan seolah aku baru saja kembali dari berjuang saja. Sudah lama aku tidak lagi menginjakkan kaki di departemen ini membuatku merasa riskan."Selamat datang, Bu Anggita. Kami sekarang sudah bisa memanggil Anda begitu, bukan,"ucap Celine memakaikan karangan bunga di iringi tepuk tangan meriah."Hei. Apa kamu pikir aku mau mati dengan memberi karangan bunga? Yang benar saja kalian ini. Lebih baik kalian kembali pada pekerjaan masing-masing,"ucapku disiplin seperti biasa.Sontak kalimat ku membuat seluruh karyawan dan karyawati yang tadinya begitu antusias mendadak pucat. Ada raut takut dan segan yang tiba-tiba timbul di wajah mereka. Terlebih Celine sampai menelan ludah kasar tidak bisa banyak berkata-kata."Ada yang salah dari kalimat saya? Saya sekarang tetap General Manager Departemen Laboratorium. Jadi, jangan coba berpikir saya akan bersikap lunak. Sebagai
Suasana senja yang terpancar jelas dari celah korden. Sama seperti botol air minum yang menyisakan seperempat isinya. Sudah 3 jam berlalu sejak usai dengan pekerjaan. Akh, tidak. 3 jam kemudian juga termasuk pekerjaan yang belum kunjung usai."Saya pikir hanya itu saja yang perlu di koreksi dari departemen laboratorium. Dengan perubahan struktural rasanya agak aneh kalau mengatakan laboratorium menjadi sebuah departemen,"ucapku mematikan tablet.Berbagai kertas kerja terlalu berserakan di atas meja. Beruntung Celine cukup cekatan merapikan kekacauan. Tidak butuh waktu lama baginya menyusun semua file sesuai pada tempatnya untuk memudahkan ku mencari. Dhito tersenyum kecil membuatku menatapnya heran."Apa ada yang salah?"tanyaku penasaran."Tidak. Pemegang saham banyak yang merekomendasikanmu untuk mengambil tempat pada posisi direktur riset. Pasti riset di perusahaan akan semakin meningkat,"ucap Dhito."Saya tidak akan mampu membawa bagian sebesar bagian riset. Lagipula selama ini say
Berbagai jenis laporan yang kian menumpuk entah mengapa membuat kepala ku terasa berdenyut. Biasanya diriku akan merasa baik-baik saja menghabiskan seharian dengan pekerjaan. Bagaimanapun bentuknya, aku termasuk manusia pecinta kerja. Lantas dengan alasan apa yang membuatku merasa jenuh.Mataku melirik sejenak menatap potret kala pernikahan ku mengenakan kebaya senada dengan beskap milik Dirga. Tak lupa putri manis ku berada di tengah kami. Aku jadi teringat dengan pesan kedua orang dalam foto itu. Semalam Rania memberitahu dirinya tidak sabar menunggu akhir pekan. Berbeda dengan Ayahnya tengah asyik di mabuk rindu.Padahal bukan dirinya saja yang mengenggam rindu itu. Aku pun berada di sisi lainnya hanya malu untuk mengutarakan secara langsung. Pria itu tengah sibuk dengan istri pertamanya yang baru saja tiba dari Iswahyudi, Madiun. Jika saja ada cuti, mungkin sempat menjadi tempat bersua antara menantu dan mertua.Sayangnya nasi telah menjadi bubur sejak awal. Tidak ada pilihan sela
Dentuman palu seirama dengan bunyi ketikan keyboard. Meskipun aku memutuskan mengambil cuti, tidak mungkin melepas tanggung jawab begitu saja terhadap beberapa berkas yang belum sempat terselesaikan. Aku mengambil cuti demi mengurus suami tercinta.Sayangnya pria itu tidak bisa berhenti untuk tetap duduk diam. Disini lah aku berakhir dengan kacamata anti radiasi masih bertengger di mata berkacak pinggang melihat pria yang berambut cepak itu asyik bertukang.Beberapa menit lalu dirinya bertengger di atas tangga memperbaiki atap. Sekarang dirinya malah berpindah ke samping rumah menengok berbagai jenis tanaman miliknya tengah bermekaran. "Tuan, bisakah Anda duduk diam saja? Luka Anda masih basah,"ucapku menghela nafas lelah."Saya cuma mengganti paku yang sudah usang saja, Nona,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih palu di tangannya.Lagipula apa dirinya tidak berpikir luka di tubuhnya bukannya bisa segera sembuh dengan banyak pergerakan. Aku tahu, kegiatan bertanam adalah salah