Bandara sepertinya akan selalu menjadi teman baik pertemuan dan perpisahan. Aku kali ini setuju dengan kalimat itu. Selain itu dibandingkan di rumah pernikahan, lebih banyak ciuman yang tulus di bandara. Semua kalimat itu terasa benar sekarang.Saat di rumah aku malu untuk memeluknya mesra. Apalagi ada ajudan yang siap berjaga di rumah semakin membuatku menjaga jarak. Namun saat akan berpisah, tanpa malu dan peduli dengan sekitar malah mencium Dirga. Tentu saja di tempat tersembunyi mengingat saat ini aku bukan perempuan bebas.Tatapan mata Dirga yang begitu lekat sembari mengusap bibirnya membuatku memalingkan wajah menahan malu. Bagaimana cara mengawetkan rasa agar saat pulang aku tidak seperti kehilangan nafsu padanya. Setiap kali di rumah aku seolah tidak punya nafsu.Sedangkan setelah mau berpisah seolah semuanya harus ku ungkapkan sampai tidak peduli dengan norma masyarakat. Sangat munafik sekali kalau dipikir. Beberapa saat lalu ada sepasang kekasih meminta izin menikah yang ku
Riuh seluruh penjuru lantai departemen Laboratorium begitu menggema. Aku tahu pasti ini ide konyol Celine membuat acara penyambutan seolah aku baru saja kembali dari berjuang saja. Sudah lama aku tidak lagi menginjakkan kaki di departemen ini membuatku merasa riskan."Selamat datang, Bu Anggita. Kami sekarang sudah bisa memanggil Anda begitu, bukan,"ucap Celine memakaikan karangan bunga di iringi tepuk tangan meriah."Hei. Apa kamu pikir aku mau mati dengan memberi karangan bunga? Yang benar saja kalian ini. Lebih baik kalian kembali pada pekerjaan masing-masing,"ucapku disiplin seperti biasa.Sontak kalimat ku membuat seluruh karyawan dan karyawati yang tadinya begitu antusias mendadak pucat. Ada raut takut dan segan yang tiba-tiba timbul di wajah mereka. Terlebih Celine sampai menelan ludah kasar tidak bisa banyak berkata-kata."Ada yang salah dari kalimat saya? Saya sekarang tetap General Manager Departemen Laboratorium. Jadi, jangan coba berpikir saya akan bersikap lunak. Sebagai
Suasana senja yang terpancar jelas dari celah korden. Sama seperti botol air minum yang menyisakan seperempat isinya. Sudah 3 jam berlalu sejak usai dengan pekerjaan. Akh, tidak. 3 jam kemudian juga termasuk pekerjaan yang belum kunjung usai."Saya pikir hanya itu saja yang perlu di koreksi dari departemen laboratorium. Dengan perubahan struktural rasanya agak aneh kalau mengatakan laboratorium menjadi sebuah departemen,"ucapku mematikan tablet.Berbagai kertas kerja terlalu berserakan di atas meja. Beruntung Celine cukup cekatan merapikan kekacauan. Tidak butuh waktu lama baginya menyusun semua file sesuai pada tempatnya untuk memudahkan ku mencari. Dhito tersenyum kecil membuatku menatapnya heran."Apa ada yang salah?"tanyaku penasaran."Tidak. Pemegang saham banyak yang merekomendasikanmu untuk mengambil tempat pada posisi direktur riset. Pasti riset di perusahaan akan semakin meningkat,"ucap Dhito."Saya tidak akan mampu membawa bagian sebesar bagian riset. Lagipula selama ini say
Berbagai jenis laporan yang kian menumpuk entah mengapa membuat kepala ku terasa berdenyut. Biasanya diriku akan merasa baik-baik saja menghabiskan seharian dengan pekerjaan. Bagaimanapun bentuknya, aku termasuk manusia pecinta kerja. Lantas dengan alasan apa yang membuatku merasa jenuh.Mataku melirik sejenak menatap potret kala pernikahan ku mengenakan kebaya senada dengan beskap milik Dirga. Tak lupa putri manis ku berada di tengah kami. Aku jadi teringat dengan pesan kedua orang dalam foto itu. Semalam Rania memberitahu dirinya tidak sabar menunggu akhir pekan. Berbeda dengan Ayahnya tengah asyik di mabuk rindu.Padahal bukan dirinya saja yang mengenggam rindu itu. Aku pun berada di sisi lainnya hanya malu untuk mengutarakan secara langsung. Pria itu tengah sibuk dengan istri pertamanya yang baru saja tiba dari Iswahyudi, Madiun. Jika saja ada cuti, mungkin sempat menjadi tempat bersua antara menantu dan mertua.Sayangnya nasi telah menjadi bubur sejak awal. Tidak ada pilihan sela
Dentuman palu seirama dengan bunyi ketikan keyboard. Meskipun aku memutuskan mengambil cuti, tidak mungkin melepas tanggung jawab begitu saja terhadap beberapa berkas yang belum sempat terselesaikan. Aku mengambil cuti demi mengurus suami tercinta.Sayangnya pria itu tidak bisa berhenti untuk tetap duduk diam. Disini lah aku berakhir dengan kacamata anti radiasi masih bertengger di mata berkacak pinggang melihat pria yang berambut cepak itu asyik bertukang.Beberapa menit lalu dirinya bertengger di atas tangga memperbaiki atap. Sekarang dirinya malah berpindah ke samping rumah menengok berbagai jenis tanaman miliknya tengah bermekaran. "Tuan, bisakah Anda duduk diam saja? Luka Anda masih basah,"ucapku menghela nafas lelah."Saya cuma mengganti paku yang sudah usang saja, Nona,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih palu di tangannya.Lagipula apa dirinya tidak berpikir luka di tubuhnya bukannya bisa segera sembuh dengan banyak pergerakan. Aku tahu, kegiatan bertanam adalah salah
Teriknya matahari seolah tidak ingin membagi awan untuk membuatku merasa teduh. Tepat 100 meter dari tempat ku berdiri, tampak seorang pria tengah sibuk mengurus istri pertamanya. Wajahnya yang begitu cerah membuatku tersenyum kecil. Entah bagaimana hidupnya selama profesinya memanggil. Setelah melalui malam yang panjang semalam, dengan melihat beberapa bekas luka membuat benakku tercubit. Terhitung sudah 5 bulan aku menjadi bagian dari hidupnya. Rupanya masih banyak hal yang belum ku pahami darinya. Rasanya aku menjadi merasa bersalah tidak mampu memenuhi posisi istri di keluarga yang dirinya bangun.Namun begitu, pria itu masih berlaku adil padahal rasanya tidak adil dari sisi manapun. Belum lagi, bagaimana Ibu menceritakan Rania yang selalu membanggakan diriku. Padahal tidak sedikitpun aku mendidiknya. Mungkin hal ini bagian dari efek samping percintaan semalam.Aku bisa merasakan suasana sekitar yang begitu hampa. Beberapa hari tinggal bersamanya membuatku cukup mengerti. Tujuan
Suara musik yang mengalun memenuhi CR-V hitam kesayangan ku tidak hentinya membuat gejolak di kepala terasa damai. Sejenak berhenti di kediaman Ashana membuatku kian terhimpit ke dalam jurang ketakutan. Meskipun fakta itu pernah disampaikan Dirga, aku masih berharap semua hal terbaik untuknya.Pertemuan singkat dengan Ashana seolah telah disiapkan Allah untuk ku. Melihat petarung lautan itu akhirnya berhenti dan menjadi Ibu rumah tangga menggugah sedikit rasa ketidaksesuaian di kepala. Terlebih setelah melihat kedua putranya begitu patuh membuatku ingin angkat tangan.Melahirkan seorang anak bukan hanya tentang finansial melainkan mengenai bagaimana mendidik seumur hidup. Rencana untuk segera memiliki keturunan kian terasa gamang. Selama ini aku hidup begitu keras seperti dunia membentuk ku. Pelajaran dari ku tidak akan sebaik mereka yang sudah mempersiapkan diri menjadi seorang Ibu.Bahkan aku memasrahkan pendidikan putri ku ke pesantren kedua orang tua. Keduanya jauh lebih bisa mend
"Bun. Maafkan Rania sudah merepotkan Bunda lagi".Entah berapa kali kalimat itu harus terdengar di telinga. Apa dirinya tidak mengerti bagaimana dia itu berharga dan bukanlah orang asing antara satu sama lain. Bibirku sudah lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang kali hanya memutar bola mata malas.Dirga mungkin sering menekan dirinya sampai begitu tidak enak hati untuk semua hal termasuk padaku. Padahal beberapa barang memiliki batas kelayakan. Melihat Rania memakai pakaian baru yang jauh lebih layak itu membuatnya terlihat lebih anggun. "Bun. Rania boleh pinjam Hp? Mau telfon Ayah".Akh.Entah mengapa, aku masih kurang senang mendengar kalimat berbicara dengan Ayah. Aku saja belum memberinya kabar apapun lagi sejak terakhir kali menghubunginya. Lagian bukannya menyadari malah menganggap kesalahan yang biasa. Enggan meninggalkan jejak pikiran untuk Rania, segera ku angsurkan ponsel membiarkannya waktu menghubungi Ayah tercinta.Sejenak mataku melirik beberapa orang yang t