Entah apa yang salah dengan otaknya, tiba-tiba Santi membayangkan Hendra tengah bergumul dengannya, sembari mendesah dan menjerit penuh kepuasan, seperti yang ia dengar semalam.Wajahnya tiba-tiba memerah. Hendra mengamatinya dengan seksama.“Kamu kenapa?” tanyanya sembari mengamati Santi dari atas ke bawah.“Tidak kenapa-kenapa, Pak,” jawab Santi cepat. Suaranya bergetar.Hendra memandangnya dengan senyum dikulum.“Kamu mendengar apa semalam?” Ia mengedipkan sebelah mata pada Santi yang berdiri dengan posisi serba salah tingkah.“Tidak ada Pak,” jawabnya malu-malu. Dadanya bergemuruh kencang.“Hmm, yakin kamu gak mendengar apa-apa?” Hendra semakin senang karena kini wajah Santi bak udang rebus matang.
Sudah seminggu Santi tinggal di rumah Hendra. Setiap pagi, dengan antusias ia menuju ruang kantor di lantai dasar. Pukul tujuh, ia sudah berada di ruangan. Dengan senang hati, ia ikut membersihkan meja kerja dan ruangan kantor. Kini ruangan itu tampak lebih nyaman dan menyenangkan.Ia sangat menikmati hari-harinya menjadi pegawai. Hendra dan Astra pun menyukai hasil kerjanya. “Hebat kamu,” puji Hendra di hari ketiga ia bekerja. “Kamu belajar cepat, dan hasilnya lumayan memuaskan.”Ia tersipu mendapat pujian Hendra.Setiap pagi, Hendra berada di kantor hingga pukul delapan. Dengan pakaian santai dan celana pendek, ia sibuk memeriksa catatan dan beberapa dokumen. Pada saat itu, mereka hanya berdua di ruang kantor.Terkadang Hendra tidak memedulikan kehadiran Santi. Namun ada kalan
“Pak Hendra…. Jangan Pak….” keluhnya dengan rintihan tertahan. “Saya tidak akan memaksa kamu, Sayang.” Hendra berbisik sembari mempermainkan cuping kuping Santi dengan bibirnya. Hembusan nafasnya membuat bulu-bulu halus di tubuh Santi meremang. Pada saat yang sama, jemari tangan Hendra mulai mengembara dan berlabuh di inti tubuhnya dengan gerakan keluar masuk yang membuat Santi tak mampu lagi berpikir. "Pak Hendra..... Jangan," keluhnya. “Aku tidak akan memaksa kamu, Sayang,” ucap Hendra berulang-ulang. “Jika kamu tidak mau, aku akan hentikan.” Namun, tangan dan mulutnya terus bergerak menjelajahi bukit dan lembah di tubuh belia Susanti. Sentuhan dan gerakan-gerakan Hendra membuat gadis itu kian kehilangan nalar. Ia terbang ke langit tinggi, melayang di awang-awang. Namun itu tak cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin mencapai nirwana. Ia mendambakan H
Kebencian tampak jelas di kedua mata Aril.“Gara-gara kamu, Mamaku menderita dan mati sia-sia!” Ia berkata dengan tatapan sinis. “Kini kamu harus jadi istriku.”“Aku tidak mengerti arah pembicaraan kamu, Mas Aril.” Nesa merasa sudah cukup mendengar kesimpangsiuran pembicaraan Aril. Omongannya tidak terstruktur dan tercampur aduk.“Sepertinya Mas Aril sedang mabuk. Biar aku antar ke rumah.”“Mabuk, hah? Iya, aku mabuk gara-gara kamu!”Aril tampak kian marah. “Aku mau menginap di sini. Ada masalah?”Raga kehilangan kesabaran.“Hei. Cukup kamu meracau di sini. Jika tidak mau panjang urusan, silahkan kamu pergi. Kalau tidak aku panggil keamaan.”“Mas Raga, sepertinya M
Nesa terperanjat. Ia berusaha melepaskan diri dari gendongan Raga. Namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga lelaki bertubuh tinggi besar itu. Ia bagai anak kecil di dalam dekapan tubuh Raga yang kekar.“Lepasin aku, Mas. Kita tidak boleh melakukan itu.” Ia berupaya menyadarkan Raga yang mulai kehilangan kendali.Raga tak lagi peduli. Ia menutup pintu kamar Nesa dan menguncinya. Dengan nafas memburu, ia baringkan gadis yang membuat perasaannya berhari-hari terombang ambing tidak karuan. Kata-kata Aril tentang Nesa dan ayah Aril menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat, tetapi pada saat yang bersamaan juga membuat adrenalinnya melonjak tajam.“Aku tidak mau lagi mendengar alasan apa pun dari kamu, Sayang. Aku menginginkan kamu dan tak ada yang bisa menghalangi.” Ia menciumi Nesa dengan perasaan campur aduk. Semakin Nesa meronta, hasrat Raga kian merasa dita
"Apa yang terjadi padaku?”Nesa mencengkeram kitchen set dengaan erat. Pandangannya buram. Tiba-tiba semua tampak bergerak. Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke sofa. Kepalanya terasa sangat berat.Ia merebahkan tubuh.“Apa ini hukuman karena aku melakukan hubungan terlarang?” tiba-tiba wajahnya memucat. Sakit kepala yang tak terkira membuat Nesa tak melanjutkan membuat sarapan.Ia meringkuk di sofa dengan pikiran berkecamuk. “Aku pasti dikutuk,” batinnya lirih.Tak berselang lama, Raga keluar kamar mandi dengan wajah cerah. Lalu tertegun melihat Nesa yang terbaring sambil memijit kepala.“Sayang, kamu kenapa?” Ia mendekat dan terkejut mendapati tubuh Nesa sangat panas.Dengan panik ia menempelkan tangan di kening dan leher Nesa
Aroma ruangan yang menusuk membuat nafas Nesa sesak. Tatapan Andin pun seakan tengah menghakimi tanpa suara. Namun ia tak boleh lemah. Nesa tak ingin Andin makin curiga.“Temanin aku ke kamar Om Beno, Ndin.” Sedikit rasa was-was menyelinap saat harus bertemu laki-laki yang pernah sangat beruasa atas dirinya. Meskipun dalam situasi yang sangat berbeda.Andin kembali menatap Nesa dengan ekspresi datar.“Kamu masih tahu kan kamar Mama dan Papaku? Masuk aja. Gak ada siapa-siapa. Cuma ada Papa.”“Papa kamu kan sakit. Gak enaklah aku sendirian. Kalo beliau mau sesuatu, aku kan gak paham.”Dengan malas-malasan, Andin beranjak dari duduknya.“Sudah berapa lama kamu tidak ke sini, Nes?” Pertanyaan sekilas, tapi membuat Nesa menghela nafas panjang.
Keduanya saling pandang.“Maksud kamu gimana, Nes?” Andin menatap Nesa dengan tajam.“Iya. Dulu aku kan menumpang di rumah ini. Kalian memberiku tempat tinggal dan Mama kamu ikut berjasa membesarkan aku. Om Beno membiayai sekolahku. Kini wajar jika aku membalas semua kebaikan dan jasa kalian padaku, bukan?” Nesa tersenyum tipis pada Andin yang terus menatapnya seakan ingin menyelam hingga ke dasar hati saudara yang dulu sering ia bully dengan kejam.“Kamu mau membantu biaya perawatan Papaku, Nes?” Andin seolah belum percaya.“Iya. Aku juga akan mencarikan orang untuk merawat Papa kamu dan mengurus rumah ini. Sayang rumah kamu sekarang sepertinya kurang terawat. Tidak seperti dulu.” Nesa bicara blak-blakan. Ingin ia berbasa basi, tapi Nesa tahu, Andin bukan orang yang suka bicara berbelit-belit dan tidak sabaran.