Kebencian tampak jelas di kedua mata Aril.“Gara-gara kamu, Mamaku menderita dan mati sia-sia!” Ia berkata dengan tatapan sinis. “Kini kamu harus jadi istriku.”“Aku tidak mengerti arah pembicaraan kamu, Mas Aril.” Nesa merasa sudah cukup mendengar kesimpangsiuran pembicaraan Aril. Omongannya tidak terstruktur dan tercampur aduk.“Sepertinya Mas Aril sedang mabuk. Biar aku antar ke rumah.”“Mabuk, hah? Iya, aku mabuk gara-gara kamu!”Aril tampak kian marah. “Aku mau menginap di sini. Ada masalah?”Raga kehilangan kesabaran.“Hei. Cukup kamu meracau di sini. Jika tidak mau panjang urusan, silahkan kamu pergi. Kalau tidak aku panggil keamaan.”“Mas Raga, sepertinya M
Nesa terperanjat. Ia berusaha melepaskan diri dari gendongan Raga. Namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga lelaki bertubuh tinggi besar itu. Ia bagai anak kecil di dalam dekapan tubuh Raga yang kekar.“Lepasin aku, Mas. Kita tidak boleh melakukan itu.” Ia berupaya menyadarkan Raga yang mulai kehilangan kendali.Raga tak lagi peduli. Ia menutup pintu kamar Nesa dan menguncinya. Dengan nafas memburu, ia baringkan gadis yang membuat perasaannya berhari-hari terombang ambing tidak karuan. Kata-kata Aril tentang Nesa dan ayah Aril menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat, tetapi pada saat yang bersamaan juga membuat adrenalinnya melonjak tajam.“Aku tidak mau lagi mendengar alasan apa pun dari kamu, Sayang. Aku menginginkan kamu dan tak ada yang bisa menghalangi.” Ia menciumi Nesa dengan perasaan campur aduk. Semakin Nesa meronta, hasrat Raga kian merasa dita
"Apa yang terjadi padaku?”Nesa mencengkeram kitchen set dengaan erat. Pandangannya buram. Tiba-tiba semua tampak bergerak. Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke sofa. Kepalanya terasa sangat berat.Ia merebahkan tubuh.“Apa ini hukuman karena aku melakukan hubungan terlarang?” tiba-tiba wajahnya memucat. Sakit kepala yang tak terkira membuat Nesa tak melanjutkan membuat sarapan.Ia meringkuk di sofa dengan pikiran berkecamuk. “Aku pasti dikutuk,” batinnya lirih.Tak berselang lama, Raga keluar kamar mandi dengan wajah cerah. Lalu tertegun melihat Nesa yang terbaring sambil memijit kepala.“Sayang, kamu kenapa?” Ia mendekat dan terkejut mendapati tubuh Nesa sangat panas.Dengan panik ia menempelkan tangan di kening dan leher Nesa
Aroma ruangan yang menusuk membuat nafas Nesa sesak. Tatapan Andin pun seakan tengah menghakimi tanpa suara. Namun ia tak boleh lemah. Nesa tak ingin Andin makin curiga.“Temanin aku ke kamar Om Beno, Ndin.” Sedikit rasa was-was menyelinap saat harus bertemu laki-laki yang pernah sangat beruasa atas dirinya. Meskipun dalam situasi yang sangat berbeda.Andin kembali menatap Nesa dengan ekspresi datar.“Kamu masih tahu kan kamar Mama dan Papaku? Masuk aja. Gak ada siapa-siapa. Cuma ada Papa.”“Papa kamu kan sakit. Gak enaklah aku sendirian. Kalo beliau mau sesuatu, aku kan gak paham.”Dengan malas-malasan, Andin beranjak dari duduknya.“Sudah berapa lama kamu tidak ke sini, Nes?” Pertanyaan sekilas, tapi membuat Nesa menghela nafas panjang.
Keduanya saling pandang.“Maksud kamu gimana, Nes?” Andin menatap Nesa dengan tajam.“Iya. Dulu aku kan menumpang di rumah ini. Kalian memberiku tempat tinggal dan Mama kamu ikut berjasa membesarkan aku. Om Beno membiayai sekolahku. Kini wajar jika aku membalas semua kebaikan dan jasa kalian padaku, bukan?” Nesa tersenyum tipis pada Andin yang terus menatapnya seakan ingin menyelam hingga ke dasar hati saudara yang dulu sering ia bully dengan kejam.“Kamu mau membantu biaya perawatan Papaku, Nes?” Andin seolah belum percaya.“Iya. Aku juga akan mencarikan orang untuk merawat Papa kamu dan mengurus rumah ini. Sayang rumah kamu sekarang sepertinya kurang terawat. Tidak seperti dulu.” Nesa bicara blak-blakan. Ingin ia berbasa basi, tapi Nesa tahu, Andin bukan orang yang suka bicara berbelit-belit dan tidak sabaran.
Ruangan terasa kian sesak. Nesa ingin segera pergi dan membereskan beberapa hal.“Katanya kamu semalam ketemu Mas Aril. Kamu gak minta nomor ponselnya?” Andin menyahut seperti menyelidik ke wajah Nesa.“Belum sempat, Ndin. Tau-tahu Mas Aril pergi begitu aja.” Nesa teringat semalam, Aril tidur di sofanya dan pagi-pagi sudah tak ada.“Mas Aril dari dulu memang begitu. Pergi dan datang sesuka hatinya. Di rumah ini juga sama saja.” Andin tampak sedikt kesal.“Aku minta nomor ponsel Mas Aril. Ada yang harus aku bicarakan dengan dia.” Nesa kembali mengingatkan Andin.“Ntar, Nes. Aku cariin dulu.” Andin mencari nomor Aril di daftar kontak ponselnya.Nesa menunggu.Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah Andin.
Semakin lama mendengar cerita Andin, kepala Nesa kian berat. Kini saatnya untuk bertindak.“Ndin, aku pamit dulu. Banyak yang harus aku bereskan. Tolong terima ini.” Ia menyerahkan sebuah amplop.“Apa ini, Nes?”“Tadi aku sempat mampir di ATM. Terima ya. Buat keperluan Icha dan kalian.”Andin menatap Nesa nanar dan tergesa membuka amplop. Tiba-tiba, ia memeluk Nesa dengan erat.“Ya Allah, Nes. Ini banyak bangat. Kamu yakin?”Nesa tersenyum. “Iyalah. Terima ya Ndin. Semoga bisa sedikit membantu.”“Terima kasih Nesa. Terima kasih. Kamu ternyata baik banget. Maafin aku dulu ya.”“Sudah ah. Gak usah mengingat masa lalu.”“Kamu gak pamit sama Papa?”“Salam aja Ndin. Kasian Om Beno nanti terganggu. Aku pamit ya.” Nesa bergegas menuju pagar.“Kamu kerja di mana, Nes?” Andin baru
"Yang ingin saya tanyakan tidak ada urusan dengan Anton. Ini urusan pribadi. Antara saya dengan Pak Pram.” Nesa berkata tegas sambil menatap Pram tajam.Laki-laki itu terlihat kaget.“Urusan dengan saya? Saya tidak ada urusan dengan kamu. Jika urusan kantor, silahkan tanya pada Anton. Saya tidak membahas urusan pribadi di kantor.”“Susan bilang Mas Raga kakak saya.” Nesa berkata dengan suara pelan, tapi penuh tekanan. Ia perhatikan ekspresi Pram dengan seksama. Laki-laki itu lagi-lagi terlihat kaget. Namun, dalam waktu singkat ia mampu mengendalikan diri.“Maksud kamu?”“Pak Pram kenal Susan Ibu saya, bukan? Tidak usah pura-pura. Saya sudah tahu. Tapi yang saya tidak mengerti, mengapa Susan mengatakan saya adik Mas Raga?” Tatapan Nesa kian menusuk ke arah Pram.