Lavina tertawa sendiri, lalu ia pun diam dan kembali menatap pemandangan di sebelah. Ia jauh lebih senang memandangi abang ojol yang melaju di samping mobil ketimbang menatap Auriga.“Setidaknya, kamu nggak perlu berbohong pada laki-laki itu. Tinggal jawab saja saya ini suami kamu. Apa susahnya?” ujar Auriga lagi, suaranya yang berat memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua."Kenapa harus?" Lavina balas bertanya dan menatap Auriga dengan alis terangkat. “Kita menikah, ‘kan, cuma sebatas perjanjian aja. Di luar aku bebas dong mau ngapain aja dan bebas jalan bareng siapa aja.”Tiba-tiba, Lavina terkejut ketika Auriga mendadak membanting stir ke tepian jalan, lalu mobil pun berhenti di tempat yang tidak begitu ramai. Lavina berpikir, bahwa Auriga pasti akan mengusirnya dari mobil lalu meninggalkannya.Lavina mendengus. Siapa takut? Ia bisa kok pulang sendirian. Lagipula siapa juga yang minta dijemput!Namun, Lavina kecele. Pria itu justru malah mendekatkan tubuhnya
Lavina terhenyak. Matanya kembali terbelalak melihat pecahan kristal itu di lantai. Lavina mengepalkan tangannya. Ia menghampiri Resa dan berseru marah, “Kakak kalau mau ngapain aja di rumah ini boleh! Tapi Kakak juga perhatiin dong etikanya, ini tuh rumah suami aku, bukan—aaah!”Sebuah tamparan keras di pipi membuat ucapan Lavina tiba-tiba terhenti. Wajah Lavina terlempar ke samping. Kepalanya pening dan pipinya terasa kebas.“Jangan sok deh! Mentang-mentang jadi istri orang kaya lo bisa teriak-teriak di depan gue seenaknya!” berang Resa, yang tak tampak merasa bersalah sedikit pun telah memecahkan miniatur pesawat itu. “Nyesel gue datang ke sini. Demi benda kayak gitu lo sampai kurang ajar sama gue! Ayo, Ma, kita pergi aja dari sini.”Mawar mendelik tajam pada Lavina, lalu ia pun beranjak dari sofa dan menyusul Resa menuju pintu keluar.“Mau ke mana?” Lavina mengejar Resa dengan wajah merah padam. “Kak Resa harus tanggung jawab dan minta maaf sama suami aku!”Resa tak menghiraukan d
“Sudah berapa lama kamu diperlakukan seperti ini?”“Huh? Maksud Om?”Auriga menempelkan handuk hangat itu ke sudut bibir Lavina yang berdarah, yang membuat Lavina seketika membeku.“Maksud saya, sejak kapan mereka memperlakukanmu dengan nggak baik seperti tadi?” ulang Auriga, memperjelas maksud dari pertanyaannya barusan.Lavina diam cukup lama. Perasaannya saat ini terasa campur aduk. Sikap Auriga yang tiba-tiba perhatian seperti ini membuat Lavina mendadak linglung.“Kalau nggak mau cerita, ya sudah. Saya nggak memaksa.” Nada suara Auriga terdengar sedikit jengkel.“Sejak Ayah meninggal,” timpal Lavina dengan cepat. “Enam tahun yang lalu.”Pupil Auriga melebar. “Dan selama itu kamu diam saja?”“Nggak. Aku selalu melawan. Makanya aku sama Kak Resa sering bertengkar dan adu fisik kayak tadi.” Lavina membuang napas, ia meringis saat Auriga menempelkan handuk hangat lagi di sudut bibirnya yang mulai terasa agak nyeri. “Mama cuma bersikap baik kalau di depan Ayah saja. Saat Ayah pergi ke
Lavina sedang membahas tugas yang diberikan dosen. Karena Juna mahasiswa berpengalaman di semester sebelumnya, ia meminta tolong pada lelaki itu untuk berdiskusi dengannya.Saat sedang asyik mencatat jawaban, seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapan mereka dan Lavina merasakan dirinya langsung ditatap oleh orang yang baru saja duduk itu.Lavina mendongak, matanya seketika membelalak. “Ngapain Om di sini?” tanya Lavina tanpa suara, hanya bibirnya saja yang komat-kamit.Juna pun terkejut melihat keberadaan Auriga di hadapan mereka. Ia berdehem pelan dan sedikit menggeser tubuhnya agak menjauhi Lavina.“Saya mau jemput kamu, Aurora rewel.”Mata Lavina mengerjap. “Kalau memang Aurora rewel, kenapa Om repot-repot datang ke sini? Kan bisa di chat aja.”Auriga membuang napas pelan. “Kamu nggak percaya sama saya?”“Percaya kalau ada bukti.” Lavina ingat ketika mereka sedang di Korea, Auriga pun menggunakan alasan yang sama ketika ia sedang asyik menghabiskan waktu di sauna bersama Young S
“Tapi dalam perjanjian kita nggak ada poin yang melarang kita untuk saling menyentuh,” timpal Auriga, “itu hanya ucapan saya saja, nggak disepakati secara resmi.”“APA?!” Mata Lavina tiba-tiba membelalak. “Itu nggak adil dong, Om!” serunya, kesal.Auriga menanggapinya dengan senyuman samar. “Makanya, dulu saya sudah kasih kesempatan untuk menambahkan poin apa saja yang sekiranya kamu mau cantumkan di surat perjanjian. Tapi kamu cuma iya-iya aja.”Lavina ingin protes lagi, tapi ucapan Auriga benar adanya. Itu kesalahan Lavina sendiri karena tidak mencamtumkan poin tersebut dalam perjanjian.Saking kesal, Lavina meneguk minumannya dengan cepat. Hingga tanpa Lavina sadari, ada sisa minuman yang menempel di bibir atasnya.“Jadi, jangan marah lagi. Saya sama sekali nggak menganggap kamu sebagai Flora,” lanjut Auriga sembari menoleh pada Lavina, lalu, detik itu juga ia menelan saliva, matanya sedikit melebar menatap bibir Lavina yang terlihat… menggoda.Mobil berhenti di lampu merah, tanpa
Lavina merasakan tubuhnya seperti terpenjara saat ia terbangun pagi ini. Begitu matanya terbuka, Lavina terkesiap karena pemandangan yang pertama ia lihat adalah wajah Auriga, yang jaraknya begitu dekat dengannya. Bahkan, Lavina bisa merasakan napas hangat Auriga yang menerpa wajah.Kenapa dia bisa ada di sini? Ke mana Aurora? Terus kenapa orang ini bisa memelukku seperti ini?! batin Lavina dengan perasaan waspada sekaligus kebingungan.Lavina kesulitan melepaskan diri dari pelukan Auriga, karena pria itu menguncinya sangat erat.Alhasil, Lavina memilih untuk diam saja sembari memandangi paras Auriga yang ternyata… memesona.Lavina tidak mau mengakui itu, akan tetapi… ia juga tidak bisa membohongi diri bahwa Auriga memang tampan. Kali ini Auriga mencukur habis cambangnya, yang membuat wajahnya tampak jauh lebih muda dan ada warna hijau kebiruan samar-samar pada bekas tumbuhnya rambut itu.Saat Lavina tengah memandangi wajah Auriga, tiba-tiba, kelopak mata pria itu perlahan terbuka.La
Suasana di dalam mobil mendadak terasa canggung. Beruntung ada anak kecil yang tidak tahu menahu yang duduk di tengah-tengah mereka, yang membuat ramai seisi mobil dengan celotehannya.Sesekali, Auriga melirik Lavina. Namun, saat pandangan mereka bertemu, Lavina langsung membuang muka dengan ekspresi muram.Saat mobil berhenti di lampu merah, Lavina terkesiap dan buru-buru menutupi mata Aurora menggunakan tangannya. Anak ini tidak boleh melihat adegan seorang pria dan dua wanita di trotoar yang sedang bertengkar.Si wanita berpakaian rapi dan sopan menampar wanita yang berpakaian seksi. Sementara si pria, tampak kebingungan sambil berusaha menenangkan wanita yang berpakaian rapi itu.“Sepertinya laki-laki itu ketahuan selingkuh sama istrinya,” celetuk Auriga.“Iya, aku rasa begitu.” Lavina mendengus, lalu bergumam pelan, “Jaman sekarang, makin banyak aja laki-laki yang nggak merasa puas dengan satu wanita. Apa mereka pikir perbuatannya itu nggak bakal berimbas pada anak-anak mereka? G
Kenyataannya tidak bisa.Auriga tidak bisa untuk berhenti penasaran. Semakin keras ia berusaha melupakan, semakin besar pula keinginannya untuk kembali mereguk rasa manis dari bibir gadis itu. Beberapa hari ini ia selalu uring-uringan tak jelas.Auriga mencoba melupakan apa yang ia lakukan pada Lavina di lorong rumahnya pada hari keberangkatannya ke bandara, sepuluh hari yang lalu, dengan melampiaskannya kepada wanita lain. Namun, tak pernah ada yang berhasil membuat Auriga lupa akan sosok Lavina.Dia bergairah ketika membayangkan gadis itu, tapi setiap kali ia membuka mata dan menyadari wanita yang tengah ia sentuh bukanlah Lavina, gairah Auriga mendadak lenyap. Bagai api yang membara diguyur air dari langit.Sial!Ada apa dengan dirinya?Auriga mendengus. Ia berhenti mondar-mandir di kamar apartemennya, pandangannya bergeser ke arah jam digital di nakas. Baru pukul enam sore, itu artinya di Indonesia masih pukul dua.Auriga menyeret langkah menuju ruang tengah untuk mengambil ponsel