Share

Ancaman Sarah

Shireen mengendarai mobilnya sembari menangis meratapi nasibnya yang begitu buruk.

"Mengapa Tuhan selalu mengujiku dengan ujian yang sangat membuatku menderita!!' teriak Shireen menangis tersedu-sedu.

Shireen menghapus air matanya dengan kasar, ia membawa mobilnya menuju kampus tempat ia bekerja.

Setelah sampai disana, Shireen menghapus sisa air matanya, ia tidak mau dilihat habis menangis oleh anak didiknya. Setelah wajahnya sudah tampak segar, Shireen bergegas turun dari mobilnya.

Shireen berjalan dengan tegas menuju kelas yang akan diajarnya. Beberapa saat kemudian, ia sampai di kelasnya. Semua anak didiknya sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Shireen duduk di kursi mengajarnya dan meletakkan tasnya di atas meja.

"Selamat pagi semua!" teriak Shireen menyapa anak didiknya dengan ceria seperti biasanya.

Ia berusaha menampilkan senyumnya dan sifatnya yang ceria, yang membuat ia sangat di sukai oleh anak didiknya.

"Selamat pagi, Bu Cantik!!" sapa anak didiknya dengan semangat.

Shireen tersenyum senang menatap mereka semua. Setidaknya masih ada yang bisa membuatnya tersenyum, pikirnya.

Hari itu, ia mengajarkan materi akutansi kepada anak didiknya.

Shireen merupakan lulusan terbaik dari salah satu Universitas ternama di Indonesia. Ia berhasil menyabet lulusan termuda di Universitasnya dan mendapatkan gelar S-2 di usia 22 tahun.

Banyak orang merasa kagum kepada Shireen, bukan hanya karena prestasinya, ia juga mempunyai wajah yang sangat cantik dan polos. Sikapnya yang sangat baik dan keibuan, membuat siapapun yang mengenalnya pasti merasa kagum kepadanya.

Tetapi entah mengapa, nasibnya di keluarganya sangat sial, dari kecil ia diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi dan sekarang.... Ia mau di jual oleh sang Ayah, hanya karena takut menjadi miskin. Ironis bukan? Seorang Ayah dengan teganya akan menjadikan anaknya jaminan kepada relasinya.

Anak mana yang tidak merasa sakit hatinya, orang yang di anggap cinta pertama seorang putri, nyatanya menyakiti dan menghempaskan rasa percayanya kepada sang Ayah.

Shireen hanya bisa merenungkan nasibnya itu. Hingga sore hari, akhirnya Shireen memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ia mengendarai mobilnya dengan sangat kencang, hingga hanya butuh beberapa menit saja akhirnya ia sampai di rumahnya yang megah.

Shireen turun dari mobilnya, ia melenggang masuk ke dalam rumahnya. Tetapi, belum juga sampai di dalam, Shireen melihat vas bunga yang tersusun di depan rumah semuanya acak-acakan seperti habis di hempaskan oleh seseorang. Shireen berlari dengan cepat masuk ke dalam rumahnya.

Ia berjalan menyusuri rumahnya yang terlihat sangat berantakan, beberapa barang berjatuhan dan ada juga yang terpecah belah. 

"Ada apa ini?" Pikir Shireen heran.

Ketika ia hendak melanjutkan jalannya, tiba-tiba sang adik berlari menghampirinya sembari menangis histeris.

"Kakak!!!!" teriak Randy berhambur memeluk Shireen yang masih belum sadar dengan kejadian yang terjadi di dalam rumahnya.

Shireen duduk berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan adiknya.

"Sayang, kenapa menangis? Apa yang sudah terjadi di rumah kita?" tanya Shireen lembut, menenangkan sang adik dari tangisannya.

"Kakak, tadi ada orang jahat yang datang ke rumah kita, di mengacak-acak rumah kita, membanting barang dan juga memukul Mama," jawab Randy yang masih menampakkan wajah ketakutan.

"Apa??" teriak Shireen tidak percaya. "Terus, dimana Mama?" tanya Shireen lagi.

"Mama, ada di ruang tv, sedang menangis bersama Ayah disana," jawab Randi, yang sekarang sudah mulai tenang karena sudah melihat sang Kakak pulang.

Shireen mengelus wajah adiknya dengan lembut, ia menghapus sisa air mata yang jatuh di pipi adiknya.

"Sayang, Kakak boleh minta tolong? Kamu adik Kakak yang pintar bukan?" tanya Shireen lembut.

Randi menganggukkan kepalanya.

"Iya , Kakak! Randi anak pintar," jawab Randi.

"Oke, kalau begitu kamu tunggu di dalam kamar dan jangan keluar kalau Kakak panggil ya, Dik. Nanti kalau Kakak sudah selesai urusannya, Kakak akan menyusul Randi di kamar. Oke?" seru Shireen.

"Baiklah, Kakak. Randi mengerti," jawab Randi mantap.

"Ya sudah, kalau begitu ayo masuk ke kamar sekarang," seru Shireen menyuruh adiknya.

Randi menganggukkan kepalanya yang patuh, ia langsung berlari memasuki kamarnya.

Setelah adiknya telah masuk ke dalam kamarnya, Shireen bergegas menemui Ayah dan Ibu tirinya yang berada di ruang tv.

"Ayah, ada apa ini?" tanya Shireen setelah sampai di ruang tv.

Gandhi menoleh menatap wajah sang anak, yang masih menampakkan kebingungan.

"Shireen, kemari Nak," perintah Gandhi kepadanya.

Shireen mengikuti perintah sang Ayah. Ia duduk di sofa samping Ayahnya.

"Ayah kenapa bisa begini? Siapa yang melakukannya?" tanya Shireen lagi.

Gandhi terdiam sejenak.

"Ini semua karena rentenir sialan itu!!" teriak Sarah sembari menangis tersedu-sedu.

"A.. apa? Rentenir?" tanya Shireen tidak mengerti.

"Iya!! Rentenir suruhan boss tempat Ayah kamu meminjam uang!!" serunya lagi dengan berapi-api.

"Ayah meminjam uang? Untuk apa?" tanya Shireen heran.

Gandhi berdeham, ia hendak menjelaskan semuanya kepada sang anak.

"Shireen, Ayah meminjam uang kepada rentenir untuk menutupi pengeluaran di perusahaan, semua pekerja Ayah menagih kompensasi atas pemecatan karyawan," ujar sang Ayah menjelaskan.

"Kenapa harus meminjam ke rentenir Ayah?" tanya Shireen kesal.

"Lalu harus meminjma sama siapa lagi, Hah!! Sedangkan kamu saja tidak perduli sama Ayahmu!! Andai saja kamu menerima tawaran Ayahmu untuk menikahi relasinya, pasti semua ini tidak akan terjadi!!" bentak Sarah yang emosi.

Shireen terdiam untuk sesaat.

"Sarah, sudahlah! Tidak perlu marah-marah seperti itu," ujar Gandhi, menegur istrinya.

"Terserah kamu Mas! Aku tidak mau tahu, kamu harus menyelesaikan masalah ini, atau aku akan membawa Randi pergi dari sini dan pulang ke rumah orang tuaku!! Jangan harap kalian bisa melihat Randi lagi!!" teriak Sarah mengancam. Ia berdiri dan pergi meninggalkan Gandhi dan Shireen.

Shireen terhenyak mendengar perkataan Sarah, bagaimana bisa ia kehilangan adik satu-satunya yang paling ia sayangi.

Gandhi hanya bisa terdiam dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Setelah batinnya berperang di dalam hatinya, Shireen akhirnya memberikan keputusannya kepada sang Ayah.

"Baiklah, aku menyetujuinya, Ayah!" jawab Shireen mantap. Tidak ada keraguan di dalam dirinya, ia siap melakukan apa pun demi Ayah dan juga adiknya.

Gandhi mengangkat wajahnya menatap sang anak dengan bertanya-tanya.

"Apakah yang kau katakan itu benar, Nak?" tanya sang Ayah memastikan.

Shireen menghembuskan nafasnya lelah 

"Iya Ayah, Shireen akan menuruti kehendak Ayah, jika memang itu membuat Ayah dan Randy menjadi bahagia," ujar Shireen penuh kepahitan.

Kedua mata Gandhi berkaca-kaca, ia tidak menyangka bahwa putrinya itu rela mengorbankan dirinya dan perasaannya demi dirinya dan anak laki-lakinya itu.

"Shireen, apakah kau benar-benar sudah yakin, Nak? Ayah tidak ingin memaksakan kehendakmu, dan membuatmu menyesal nantinya," ujar sang Ayah berulang kali memastikan.

"Iya ayah, Shireen sudah meyakinkan diri ini bahwa benar-benar akan melakukannya," jawab Shireen mantap.

Ia sudah tidak memperdulikan perasaannya lagi, yang ia pikirkan hanya kebahagiaan adik kecil kesayangannya saja.

Gandhi berdiri dan berhambur memeluk putri satu-satunya itu, ia menangis bersama sang putri melampiaskan sesak mereka.

"Sudah Ayah, jangan menangis! Setelah ini, berjanjilah bahwa Ayah akan membuat Randi menjadi anak yang baik dan mendidiknya menjadi laki-laki yang bisa diandalkan," ujar Shireen meminta kepada sang Ayah untuk mengabulkan permintaannya.

Gandhi menghapus air matanya yang jatuh. Ia tersenyum menatap anaknya yang sudah bersikap sangat dewasa.

"Iya, Sayang. Ayah berjanji akan melakukannya. Maafkan Ayah karena tidak bisa menjadi Ayah yang baik buatmu," ujar Gandhi meminta maaf kepada Shireen.

"Shireen sudah memaafkan segala kesalah Ayah, dan sekarang Shireen sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan jangan pernah mengungkitnya lagi Ayah," seru Shireen tegas 

"Baiklah, Nak." jawab Gandhi bersungguh-sungguh. Sekali lagi ia memeluk putrinya dengan sangat erat.

Shireen menghapus air matanya yang jatuh di pipinya, mulai saat ini ia berjanji tidak akan mengeluarkan air matanya lagi demi Ayah dan adiknya.

Setelah mengurus semua surat perjanjian dan juga mahar yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga Shireen, akhirnya pernikahan segera dilangsungkan.

Acara pernikahan di gelar di salah satu hotel mewah di Kota itu, mereka mengundang para relasi penting dan juga pejabat negara. Tidak sedikitnorang yang mengucapkan selamat kepada mereka.

Shireen yang berdiri berdampingan di sebelah Alkan, merasa sangat tidak nyaman karena aura Alkan yang begitu menakutkan menurutnya.

Wajah tampan dan tegas milik Alkan terlihat menyimpan banyak misteri. Sedikitpun tidak ada senyuman di wajahnya, bahkan ia tidak menyapa wanita di sebelahnya yang sudah sah menjadi istrinya.

Setelah acara mereka telah selesai dan semua para tamu undangan sudah pulang, Alkan dan Shireen berpamitan kepada orang tua mereka masing-masing untuk berangkat ke apartemen mewah yang sudah disediakan oleh Alkan khusus untuk istrinya itu.

"Ayah, tolong jaga Randi ya, Shireen menyayangi Ayah dan Randi," ujar Shireen yang langsung memeluk Ayahnya sembari berurai air mata.

Gandhi membalas pelukan putrinya dengan tidak kalah erat.

"Ayah berjanji akan menjaganya dengan baik, kamu tidak perlu khawatir, Nak. Ayah harap kamu akan mendapatkan kebahagiaan bersama suami mu dan keluarga baru kamu," ujar sang Ayah, ia pun menitikkan air matanya terharu.

Shireen melepaskan pelukannya, ia menghapus air matanya ynag membanjiri wajahnya.

"Kakak," panggil Randi yang berada di balik tubuh Ayahnya.

Shireen merentangkan tangannya hendak memeluk adiknya itu.

"Randi kemarilah, peluk Kakak!" seru Shireen tersenyum lembut.

Randi berhambur memeluk Kakaknya sembari menangis.

"Kakak!! Apakah Kakak akan ikut sama laki-laki itu?" tanya Randi sembari menunjuk kearah suami Shireen.

Shireen melepaskan pelukannya dan beralih menatap wajah Alkan yang sangat kaku tanpa senyuman di wajahnya. Ia kembali menatap wajah adiknya dan menganggukkan kepalanya.

"Iya, Sayang. Dia suami Kakak, dan Kakak harus mengikutinya kemana pun ia pergi," jawab Shireen lembut.

"Berarti, Kakak akan meninggalkan Randi?" tanya Randi sedih, ia bersiap akan menangis lagi.

Dengan cepat Shireen memeluknya lagi, tanpa sadar air matanya terjatuh membasahi kedua pipinya yang mulus.

"Kakak tidak akan meninggalkan Randi, Kakak berjanji akan sesering mungkin mengunjungi Randi, ya," seru Shireen menahan tangisannya agar tidak percah dan membuat adiknya ikut bersedih.

Dengan sekuat tenaga ia menghapus air matanya dan menampakkan senyumannya.

"Randi, Kakak pergi dulu ya, berjanjilah kepada Kakak bahwa kamu akan menjaga Ayah dan Mama, jadilah anak yang baik dan turuti perkataan Ayah dan Mama," ujar Shireen memberikan nasihat kepada adiknya.

"Baiklah, Kak, Randi berjanji," jawab Randi kecil dengan mantap.

"Bagus!! Adik Kakak memang sangat pintar!" seru Shireen senang, ia mengelus kepala adiknya dengan sayang.

Setelah itu ia berdiri dan kembali berpamitan kepada orang tuanya.

"Ayah, Mama. Shireen pergi dulu, jaga diri kalian masing-masing," ujar Shireen berpamitan.

Sang ayah membalas pamitannya sedangkan Sarah, hanya memutar kedua bola matanya dengan malas menjawabnya.

"Baiklah Sayang, berbahagialah," ujar sang Ayah. "Alkan! Saya titip Shireen, tolong buat ia bahagia bersamamu," ucap Gandhi menyerahkan tanggung jawabnya kepada Alkan, suami sah dari putrinya.

"Baiklah," jawab Alkan singkat.

Akhirnya Shireen dan Alkan sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh supir pribadi Alkan.

Di dalam mobil, Shireen kembali menangis meratapi nasibnya, ia hanya berdoa semoga masa depannya cerah dan bahagia bersama suaminya.

Alkan hanya meliriknya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status