Share

Menyayat Hati

Setelah selesai mengurus administrasi, Sarah langsung kembali ke ruangan Shireen berada. Ia menelepon suaminya dan memberitahukan bahwa anaknya sedang terbaring di rumah sakit.

Ayah dari Shireen, bergegas kembali ke Kota mereka dengan menggunakan penerbangan kelas 1. Hanya butuh beberapa jam saja, hingga ia sampai di rumah sakit tersebut.

"Sarah!! Bagaimana keadaan Shireen?" tanya Gandhi, setelah sampai di rumah sakit dan menghampiri istrinya.

Sarah berdiri dari duduknya, ia langsung berhambur memeluk suaminya dna pura-pura menangis.

"Mas!! Shireen sakit, Mas. Tadi aku menemukannya pingsan di dalam kamar mandi," serunya terbata-bata menjelaskan kejadiannya dengan berbohong.

"Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya anak itu lakukan, sehingga membuatnya menjadi seperti itu!!" seru Gandhi marah.

"Aku juga tidak tahu, Mas. Mungkin saja dia kelelahan sehabis bermain seharian bersama teman-temannya," ujar Sarah berbohong, ia sengaja memanas manasi suaminya itu untuk membenci anaknya sendiri.

"Dasar anak nakal!! Menyusahkan saja!!" seru Gandhi kesal, rahangnya mengerat karena menahan kesal.

"Sudahlah Mas, tidak perlu marah-marah. Sebaiknya Mas duduk dulu istirahat disini, Mas pasti sangat lelah, setelah menempuh perjalanan yang jauh," ujar Sarah memasang raut wajah manjanya, sembari merayu suaminya itu.

Gandhi menganggukkan kepalanya tanda setuju. Mereka berdua duduk di kursi tunggu yang tersedia di dekat ruangan tersebut.

Setelah beberapa saat kemudian, para perawat dan dokter yang menangani Shireen, keluar dari ruangan UGD.

Gandhi dan Sarah langsung mendekati dokter tersebut, dan langsung memberikan rentetan pertanyaan.

"Dokter, bagaimana keadaan putri saya? Sebenarnya sakit apa dia?" tanya Gandhi penasaran.

"Iya, Dokter, beritahu kami bagaimana keadaan putri kami," seru Sarah menimpali.

"Anak Bapak dan Ibu mengalami hipotermia. Efek dari terlalu lama dalam keadaan yang kedinginan, dan nampaknya tubuh anak anda basah kuyup dan menyebabkan ia menggigil kedinginan, karena terlalu lama sehingga membuat tubuhnya melemah," jawab sang Dokter panjang lebar menjelaskan.

"Jadi bagaimana keadaannya sekarang, Dok?" tanya Gandhi tidak sabaran.

"Anak anda akan melakukan terapi uap dan juga tidak boleh lepas dari selang oksigen, jika sampai hal itu terjadi maka anak anda bisa saja mengalami nafas terhenti mendadak dan membuat kerja jantungnya juga ikut terhenti," jawab sang Dokter.

"Baiklah, Dokter. Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk anak saya," pinta Gandhi kepada Dokter tersebut.

"Baiklah, Pak. Kami akan memberikan perawatan yang terbaik untuk pasien," ujar sang Dokter meyakinkan.

"Terima kasih banyak, Dokter," ucap Gandhi.

"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, Bu!" seru sang Dokter yang berpamitan kepada Gandhi dan juga Sarah.

Setelah menganggukkan kepalanya mempersilahkan Dokter tersebut untuk meninggalkan mereka, Gandhi dan Sarah bergegas masuk ke dalam ruang rawat anaknya.

Gandhi mendekati putrinya, ia mengelus wajah sang putri yang terlihat tamoak sangat pucat.

Sarah berdiri di belakang Gandhi, ia tak berani mendekati Shireen karena masih takut jika Shireen tiba-tiba terbangun dan langsung mengadu kepada ayahnya, apa yang sebenarnya telah terjadi kepadanya.

"Cepat bangun anak nakal!! Jangan buat ayahmu ini panik!! Ayah banyak sekali kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan terlalu lama!!" seru Gandhi memarahi putrinya yang masih saja terpejam menghiraukannya. 

Gandhi menitikkan air matanya, ia merasa sesak melihat kondisi putri sematawayangnya yang terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit.

Walaupun selama ini ia telah bersikap kasar kepada putrinya, tetapi di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Gandhi sangat menyayangi putrinya. Tetapi karena ego dan rasa kecewanya karena telah kehilangan istri yang sangat ia cintai, membuatnya mengeraskan hatinya dan lebih memilih mengabaikan dan melampiaskan kemarahannya kepada Shireen.

Gandhi menenggelamkan kepalanya dilengan putrinya, dengan diam-diam ia menciumi punggung tangan putrinya yang masih terasa dingin.

"Bangunlah, Nak. Ayah sangat menyangimu," bisik Gandhi pelan.

Entah Shireen mendengarnya atau tidak, tiba-tiba tangannya bergerak, membuat Gandhi terkejut dan refleks melihat kearah wajah Shireen.

Kedua matanya mulai berkedut-kedut, mencoba mengangkat kelooak matanya yang sangat berat hendak dibuka.

Dengan sekuat tenaga, Shireen akhirnya berhasil membuka satu persatu matanya. Pertama kali yang ia lihat adalah, langit-langit ruangan tersebut yang berwarna putih.

"Apakah aku sudah mati?" gumam Shireen.

Gandhi tersentak mendengarnya.

"Shi... Shireen," panggil Gandhi terbata menyebut nama putrinya.

"Ayah... Mengapa aku mendengar suara ayah," seru Shireen yang masih belum sadar keberadaan ayahnya, ia masih terus menatao langit-langit ruang kamarnya. 

Mungkin karena efek obat bius yang di berikan oleh Dokter, membuat Shireen agak lamban merespon sekelilingnya.

Gandhi memegang erat punggung tangan anaknya.

"Nak, ayah disini!" seru Gandhi menyadarkan Shireen.

Dengan gerakan lamban, Shireen menolehkan wajahnya menatap Gandhi yang menatapnya dengan cemas.

"A... Ayah? Apakah aku sedang bermimpi?" guman Shireen tidak percaya.

"Tidak Sayang, kamu tidak sedang bermimpi. Ini benar ayahmu Nak," seru Gandhi yang terus berusaha menyadarkan anaknya.

Shireen tersadar, ia meneteskan air matanya dengan deras.

A... Ayah!! Shireen merindukan Ayah!" seru Shireen menangis histeris.

Gandhi sudah tidak tahan menahan sesak di dadanya, ia berhambur memeluk putrinya yang lemah.

"Maafkan ayah, Nak. Ayah baru bisa pulang sekarang," ucap Gandhi meminta maaf kepada putrinya.

Shireen tetap menangis tersedu-sedu, tangisannya sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Tangisannya sangat pilu, membuat siapapun yang mendengarnya, ikut teriris iris hatinya.

Rasa rindu yang sudah lama ia pendam, akhirnya sekarang ia keluarkan semuanya dengan memeluk sang ayah dengan sangat erat, seakan ia tidak ingin kehilangan ayahnya.

"Ayah, jangan tinggalkan Shireen lagi, Shireen tidak bisa hidup sendirian! Shireen mau menyusul Bunda, tetapi Bimda tidak membawa Shireen bersamanya!!" seru Shireen dengan pilu, tangisannya bertambah deras.

Gandhi tidak bisa menahan air matanya lagi, ia ikut terhanyut dengan suasana yang sangat menyedihkan ini.

Sarah yang berada di belakang Gandhi, hanya bisa memutar kedua bola matanya malas, melihat adegan yang mellow dihadapannya.

Gandhi melepas pelukannya, dengan serius ia menatap wajah anaknya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, hingga menyebabkanmu pingsan di kamar mandi?" tanya Gandhi, ia memasang wajah mengintimidasi.

Shireen melirik kearah Sarah yang sangat terkejut mendengar pertanyaan suaminya.

Sarah memelototkan kedua matanya, dan memberikan kode kepada Shireen agar tidak menceritakan kejadian sebenarnya.

Shireen yang ketakutan karena diancam Sarah, akhirnya berbohong kepada ayahnya.

"Sebenarnya, Shireen kelelahan ayah, dan kepala Shireen terasa sangat pusing ketika di kamar mandi, karena hilang keseimbangan akhirnya Shireen terjatuh, dan membentur tembok," jelas Shireen berbohong.

"Astaga!! Jadi benar yang Mama kamu katakan, kamu lelah karena seharian bermain bersama teman-temanmu?" tanya Gandhi menyelidik.

Shireen kembali melirik kearah Sarah yang wajahnya menunjukkan raut wajah yang sangat cemas.

"Benar, Mas. Sudahlah tidak usah di perpanjang, lagian juga Shireennya sudah tidak kenapa-napa lagi," ujar Sarah menenangkan suaminya.

Gandhi menghela nafasnya lelah. Akhirnya ia beranjak berdiri, hendak mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan juga pikirannya yang kacau.

"Ayah istirahat sebentar, ya," pamit Gandhi, ia berjalan menjauhi putrinya menuju sofa besar yang ada diruangan itu. 

Gandhi menyenderkan kepalanya di sandaran kursi yang sangat empuk dan memejamkan kedua matanya.

Sarah mendekati Shireen.

"Awas saja kalau kamu berani mengadu kepada Mas Gandhi, akan aku berikan pelajaran yang sangat kejam untukmu kalau sampai berani macam-macam!!" Bisik Sarah mengancam Shireen.

Shireen hanya bisa mengangguk patuh, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan ibu tirinya.

Setelah kerpegian Sarah yang menyusul suaminya dan duduk bersamanya, Shireen menghapus buliran air matanya yang terjatuh, ia sedikit senang melihat Ayahnya yang masih peduli kepadanya.

Shireen menyunggingkan senyumnya yang manis, selanjutnya ia terlelap masuk ke alam mimpinya dengan nyenyak.

Keesokan harinya...

Pagi- pagi sekali, Shireen melakukan terapi uap, dengan di dampingi oleh sang Ayah.

Ibu tirinya yaitu Sarah, masih saja terpejam dan tidur diatas sofa besar yang ada di ruangan tersebut.

Setelah menjalani terapi, Shireen kembali diberikan obat lewat suntikan bius, yang membuatnya kembali mengantuk dan tertidur nyenyak.

Gandhi masih setia menemaninya. Ia sudah menelepon sekertarisnya di kantor untuk mengubah senua jadwal pertemuan, dikarenakan alasan anaknya sakit.

Ia tidak tega meninggalkan putrinya lagi, setelah melihat kondisinya yang sangat mendebarkan kemarin, di dalam hatinya ia berjanji untuk menemani putrinya di masa sulit itu.

Beberapa hari menjalani pengobatan di rumah sakit, akhirnya Shireen sudah di perbolehkan untuk pulang ke rumahnya sendiri.

Setelah kejadian itu, Ayah Shireen yaitu Gandhi, sudah merubah sikapnya yang tadinya dingin, sekarang sudah bersikap hangat kepada putrinya itu.

Sedangkan Sarah masih saja sama, sikapnya hanya baik ketika sang suami berada disekitar Sarah dan Shireen, jika Gandhi berada dengan jarak yang jauh, Sarah kembali memperlakukan Shireen dengan kasar.

Begitulah hari-hari yang di lewati Shireen hingga sekarang ia sudah mulai beranjak dewasa.

Tepat di umurnya yang ke 23 tahun, Shireen sudah menyelesaikan pendidikan S-2 nya, dengan usia yang sangat terbilang muda.

Shireen mempunyai seorang adik laki-laki, hasil buah cinta Ayahnya dan Ibu tirinya. 

Adiknya diberi nama Randi Akagani, sang penerus tahta perusahaan karena ia merupakan keturunan laki-laki pertama di keluarga tersebut.

Shireen tidak mengambil pusing persoalan tahta perusahaan, Ia hanya fokus kepada pendidikannya saja dan berusaha untuk menjadi seorang dosen di sebuah Universitas ternama di Indonesia.

Shireen sangat menyayangi adik satu-satunya itu, karena jarak mereka yang terbilang sangat jauh, membuatnya terlihat seperti keibuan, dan adiknya pun menganggapnya seperti itu. 

Randi sangat dekat dengan Kakaknya, dibanding dengan Ibunya yang suka memarahinya jika ia terlalu dekat dengan Shireen.

Sikap Sarah kepada Shireen tetap saja sama seperti dulu, ia tetap memperlakukan Shireen seperti pembantu ketika suaminya sedang tidak nerada dirumah.

Shireen yang sudah terbiasa sejak kecil, tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati.

Ia malah berusaha mengikis karang kerasnya hati Ibu tirinya itu.

Walaupun ribuan kali merasa kecewa, tetapi Shireen tetap tidak menyerah. Ditambah semangat dari adik satu-satunya, Shireen tetap berusaha mendekati Ibu tirinya.

Shireen lebih memilih berdamai dengan masa lalunya dan mencoba memperbaikinya dengan sekuat tenaga.

"Kak Shireen!!" teriak Randi memanggil Kakaknya dengan semangat.

Shireen yang baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja, langsung merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan sang adik.

Randi memeluknya dengan sangat erat.

"Kakak kenapa lama sekali pulangnya?" keluh Randi kecil memarahi Kakaknya.

"Sayang, Kakak kan bekerja, jadi tentu lama pulangnha," jawab Shireen sekenanya.

"Tetapi kenapa harus lama, Kak? Kenapa Kakak tidak pulang duluan saja!!" Rajuk Randi kecil.

Shireen terkekeh pelan, dengan gemas ia mencubit pipi Randi.

"Sayang, adik Kakak yang paling tampan, kalau Kakak pulang duluan nanti bos Kakak akan marah, memangnya Randi mau lihat Kakak dimarahi?" tanya Shireen sembari tersenyum.

"Tidak!! Siapa yang berani memarahi Kakak, biar Randi yang akan memarahinya juga!" seru Randi kecil dengan perkataannya yang cadel, membuatnya terlihat sangat lucu dan menggemaskan.

"Makanya, kalau Randi tidak mau Kakak dimarahi, jadi kamu harus lebih bersabar ya, menunggu Kakak pulang," ujar Shireen menjelaskan dengan sangat lembut.

"Hmm, Baiklah Kakak, Randi akan lebih sabar tungguin Kakak pulang," jawab Randi dengna sangat riang.

"Bagus!! Itu baru adiknya Kakak yang paling pintar!!" seru Shireen senang, ia kembali memeluk adiknya dengan sayang.

Mereka berdua pun langsung beranjak menuju keatas, Shireen mengantarkan adiknya ke kamar adiknya terlebih dahulu, setelah itu ia pun bergegas menuju kamarnya sendiri yang terletak di lantai dua rumahnya yang megah.

Tiba-tiba, Sarah muncul menghadang langkah Shireen, yang baru saja sampai di lantai dua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status