Share

3. DI SIDANG KELUARGA

Makan malam di kediaman keluarga Bapak Muhammad Wisnu Abdullah, tampak hening dan sedikit mencekam.

Tak ada celoteh konyol si bungsu yang kerap bercerita tentang apa yang dia alami di sekolah hari ini. Tak ada suara tawa Laras yang akan menimpali ocehan anak gadis semata wayangnya yang kini mulai beranjak remaja itu.

Pun, tak ada suara Wisnu yang akan menasehati Kalila jika anak gadisnya itu bersikap genit pada lawan jenis.

Kehadiran Kahfi malam ini di meja makan telah menjadi penyebab makan malam kian terasa membosankan.

Sikap Laras dan Wisnu yang dingin membuat Kahfi merasa bersalah dan malu. Hidangan lezat di meja makan bahkan tak sama sekali menarik perhatian Kahfi saat itu.

"Makanannya di makan, Kak. Jangan diacak-acak doang, mubazir loh," ucap Kalila.

Kalila, adik semata wayang Kahfi yang tak tahu menahu masalah yang tengah terjadi di antara kedua orang tuanya dengan sang Kakak hanya bisa menatap bingung wajah-wajah bungkam keluarganya. Itulah sebabnya, sejak tadi, dia memilih untuk diam juga.

Begitu selesai makan, Laras langsung bangkit dari duduknya dan membenahi piring bekas makan suaminya, dan juga Kalila, tapi tidak piring Kahfi. Wanita paruh baya itu beranjak ke dapur seolah-olah tak menganggap keberadaan Kahfi di rumah itu.

"Sini, kamu ikut Abi, ada yang mau Abi bicarakan denganmu," ajak Wisnu yang bangkit dari meja makan dan beranjak menuju sofa di ruang keluarga.

Kahfi mengekor langkah sang ayah dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Wisnu.

Cukup lama keduanya terdiam di sana dengan tatapan Wisnu yang lekat ke arah lelaki dewasa di hadapannya. Seorang pria sejati yang sejauh ini Wisnu ketahui adalah sosok anak yang berbakti, baik, ramah, rendah hati, dan rajin ibadah.

Itulah sebabnya, apa yang dikatakan Laras hari ini tentang Kahfi sangat-sangat mengejutkan Wisnu. Seperti disambar petir di siang bolong, Wisnu benar-benar tak menyangka jika anaknya bisa melakukan perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama.

Yakni, berzina.

"Jawab dengan jujur semua pertanyaan Abi," ucap Wisnu dengan cara bicaranya yang terdengar tegas, tapi bernada lembut.

Kahfi hanya mengangguk. Pada akhirnya, dia di sidang juga oleh sang ayah.

"Berapa usiamu sekarang?" Tanya Wisnu memulai pertanyaan pertamanya.

Kahfi tampak menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Wisnu. "27 Tahun, Bi."

"Kamu mulai berzina umur berapa?" Tanya Wisnu lagi.

Pertanyaan itu jelas menohok hati Kahfi. Mempermalukannya dengan sangat meski hanya dihadapan Wisnu.

Kahfi kembali menundukkan kepalanya. Menelan salivanya dengan susah payah. "Umur, umur... Nggak tau Bi, Kahfi lupa," jawab Kahfi yang jelas tak mungkin menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Kahfi terlalu takut dengan kemarahan Abi nya.

Wisnu mengangguk. Meski dari ekspresinya Wisnu terlihat santai dan baik-baik saja, namun di dalam hatinya sesungguhnya Wisnu menangis.

Dan sejatinya, alasan mengapa Wisnu meminta Laras untuk menyuruh Kahfi datang di malam hari, bukan untuk membiarkan Kahfi terjerumus semakin dalam pada kubangan lumpur dosa, namun karena Wisnu membutuhkan waktu untuk menetralkan perasaan marah dalam dirinya.

Wisnu sadar, memarahi anak sebesar Kahfi hanya akan memperburuk keadaan.

"Kalau bisa sampai lupa, itu artinya sudah sangat lama kamu mulai berzina? Apa sejak kuliah? Atau, sejak di SMA?" Ucap Wisnu lagi yang sesekali beristighfar dalam hati, berharap dirinya tidak lepas kendali malam ini.

Bagi mereka, para orang tua yang mengerti dan paham akan agama, mendapati anak mereka tengah berzina apalagi dengan seorang pelacur, jelas merupakan masalah besar yang tak bisa disepelekan.

Wisnu dan Laras memang bukan pemuka agama, hanya saja pengetahuan agama mereka cukup baik sejauh ini. Mereka orang tua yang sangat keras mendidik anak-anaknya untuk mematuhi syariat agama Islam sejak dini. Karena bagi mereka, pendidikan dan titel tinggi tidak menjamin keberhasilan seseorang jika pengetahuan agamanya nol besar.

Sejatinya, kita hidup di dunia ini hanya untuk mati.

Uang, harta, kekayaan, nama besar, titel pendidikan tinggi dan segala hal indah di dunia ini tak ada artinya jika maut sudah menjemput.

Sebab yang akan kita bawa nanti, hanya jasad dan amalan kita semasa hidup.

"Bi, itu hal privasi, nggak harus juga Kahfi umbar ke Abi, kan?" Balas Kahfi mencoba mencari pembenaran.

"Abi ini Ayah kamu, Kahfi. Abi berhak tahu semua hal tentang kamu, apalagi itu sudah menyangkut soal dosa besar! Meski kamu sudah dewasa dan sudah bisa mempertanggung jawabkan perbuatanmu sendiri, tapi di akhirat nanti, Abi dan Ummi akan tetap ditanya soal ini. Soal kenapa, Abi dan Ummi sampai bisa kecolongan mendidik kamu! PAHAM KAHFI?" pada akhirnya, nada bicara Wisnu naik beberapa oktaf seiring dengan amarah di dadanya yang kian membuncah.

Mendengar bentakan Wisnu, Laras segera mendekat, khawatir terjadi sesuatu di antara ayah dan anak itu.

"Minum dulu, Mas. Istighfar," ucap Laras mencoba menenangkan sang suami.

Setelah meminum air yang dibawa Laras, dan beristighfar hingga dirinya merasa lebih tenang, Wisnu pun kembali angkat bicara. "Jawab dengan jujur pertanyaan Abi, sejak kapan kamu mulai berzina, Kahfi?"

Masih dengan kepalanya yang terus menunduk, sementara kedua tangannya bertaut dan saling menggenggam, Kahfi pun menjawab pertanyaan sang ayah meski dengan sangat berat hati.

Pertanyaan Wisnu seolah membuat kulit wajah Kahfi terkuliti.

"Se-sejak SMA, Bi."

"Astaghfirullah Al-adzim," sontak, Laras dan Wisnu pun beristighfar secara bersamaan.

"Apa bisa kamu ingat, berapa kali kamu melakukan hal itu Kahfi? Dan sudah berapa banyak perempuan yang sudah kamu zinahi?" Lagi, Wisnu kembali bertanya dengan penuh ketegaran. Berbeda halnya dengan Laras yang tak kuasa menahan tangisannya.

Kepala Kahfi mendongak, seolah tak percaya dengan pertanyaan lanjutan Wisnu yang membuat Kahfi benar-benar merasa seperti seorang manusia paling berdosa di dunia ini.

"Kahfi nggak tau, Bi," jawab Kahfi dengan perasaannya yang remuk redam. Entah kenapa, dirinya merasa begitu hina saat ini.

"Pertanyaan Abi belum selesai," sambung Wisnu cepat. Saat itu, Wisnu menoleh ke arah meja makan dan memanggil Kalila, anak bungsunya yang merupakan adik Kahfi.

Gadis ABG berhijab abu-abu itu pun mendekati sang ayah dan duduk tepat di sisi Wisnu, menghadap Kahfi.

Wisnu merangkul Kalila. "Lihat wajah adikmu baik-baik, Kahfi," ucap Wisnu saat itu. Nada bicara sang Ayah terdengar agak ditekan seolah sedang menahan amarahnya.

Kini tatapan Kahfi dan Kalila pun bertemu.

"Bagaimana perasaanmu, jika kamu mengetahui, ada orang lain yang sudah menzinahi adikmu ini? Apa kamu akan marah? Atau malah senang?"

"Ya marahlah, Bi," Jawab Kahfi cepat. Perasaan Kahfi semakin bercampur aduk. Bahkan dirinya merasa kini dia lebih buruk dari para teroris bom yang baru saja divonis hukuman mati dalam berita yang dia tonton kemarin.

Selanjutnya, perhatian Wisnu kini teralih ke Laras, yang masih menangis.

Saat itu, Wisnu melontarkan pertanyaan yang sama seperti tadi pada Kahfi.

"Bagaimana perasaanmu jika kamu tahu ada orang lain yang sudah menzinahi Ibumu? Apa kamu marah--"

"Cukup Bi!" Potong Kahfi pada akhirnya. Tak mau mendengar pertanyaan Wisnu sampai akhir karena hal itu akan membuat dirinya semakin dihantui rasa bersalah yang teramat besar.

Dalam hati, Wisnu tersenyum. Sepertinya pelajaran malam ini cukup membuat Kahfi mengerti akan kesalahan besar yang sudah dia lakukan selama ini.

"Jika memang kamu tidak kuat menahan syahwatmu sendiri, Islam memiliki cara yang terhormat untuk itu. Yakni menikah," ucap Wisnu setelah mereka cukup lama terdiam. "Abi dan Ummi bahkan tidak pernah melarang mu untuk menjalin hubungan dengan wanita mana pun, asal hubungan itu masih dalam batas wajar. Coba sekarang, Abi ingin bertanya, apa ada wanita yang mungkin kamu sukai atau wanita yang kini sedang menjalin hubungan spesial dengan mu? Kenalkan pada Abi dan Ummi secepatnya."

Seketika ingatan Kahfi kembali tertuju pada sosok wanita di masa lalunya. Satu-satunya wanita yang Kahfi inginkan menjadi pendamping hidupnya selama ini.

Seandainya saja, Kahfi tahu di mana wanita itu berada, mungkin Kahfi akan langsung mengajak serta kedua orang tuanya untuk datang melamar detik ini juga.

Sialnya, sejak kejadian naas itu terjadi, wanita yang menjadi tambatan hati Kahfi itu menghilang begitu saja dari kehidupan Kahfi. Bahkan setelah Kahfi mencoba untuk mencarinya, namun semua tak juga membuahkan hasil hingga detik ini.

Gelengan kepala Kahfi saat itu menjawab pertanyaan Wisnu kali ini.

"Kalau begitu, Abi dan Ummi yang akan mencarikanmu calon istri."

Kahfi hendak bicara tapi Wisnu tak memberinya kesempatan.

"Tidak ada bantahan apa pun, yang Abi dan Ummi inginkan hanyalah kamu segera menikah dalam waktu dekat. Paham, Kahfi?"

Kahfi tidak menjawab.

"Mulai malam ini, kamu tidur dan tinggal di rumah ini dan jangan coba-coba pulang ke apartemenmu lagi kecuali kamu membawa serta istrimu kelak," tegas Wisnu lagi sebelum akhirnya lelaki paruh baya itu pun beranjak dari hadapan Kahfi.

"Besok bangun shalat tahajud, lalu lanjutkan shalat sunnah taubat!" Kali ini perintah itu datang dari mulut Laras, sang Ibunda.

Sementara Kahfi di sana, masih saja terdiam.

Pikirannya penuh mencari cara agar rencana perjodohan ini batal, setidaknya sampai dia bisa menemukan keberadaan tambatan hatinya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status