Rasanya ini terlalu aneh.Aku takut ditolak oleh perempuan yang statusnya sudah jelas sebagai istriku sendiri. Aneh sekali bukan?Laki-laki lain menyatakan perasaan sebelum ada ikatan. Tapi aku, malah sebaliknya. Sungguh aneh.Hatiku rasanya tidak berhenti berdebar. Bahkan setelah kini aku berganti pakaian.Menyisir rambut hingga rapi dan membenahi kemeja. Mematut diriku di cermin entah untuk keberapa kalinya.Aku sangat gugup.Berulangkali kali aku mengatur napas, untuk mengurai rasa gugup yang menguasai.Klek!Pintu kamar dibuka dari luar.Pandanganku otomatis bertemu dengan Hilma yang baru saja masuk."Kata Ibu, Ibu sama Bapak ke sini buat jaga si kembar, karena kita mau ke luar malam ini. Benar begitu?" tanya Hilma setelah kini berdiri di dekat lemari.Aku mengangguk cepat. "Iya. Aku sudah siap. Aku tunggu kamu di mobil!" perintahku seraya merapikan rambut. Padahal rambutku sudah rapi dan tidak berantakan."Emm, kita mau ke mana?" Hilma kembali bertanya."Ikut saja. Nanti kamu jug
Keluar dari kamar mandi, cepat aku pun naik kembali ke roof top. Hilma sendirian di sini. Nampak dari belakang, Hilma tengah berdiam di belakang tembok pembatas. Mungkin sedang memandangi pekatnya awan malam ini.Di mana malam semakin beranjak. Udara dingin semakin menyelimuti. Hembusan angin semakin terasa. Langit malam pun nampak mulai mendung.Aku melangkah pelan di belakangnya, hendak mendekat pada Hilma yang sepertinya tidak menyadari kedatanganku.Aku akan memeluknya secara tiba-tiba. Lalu setelah itu, dalam pelukanku, akan kuutarakan perasaanku terhadapnya.Akan kubicarakan padanya dengan hati-hati, apa yang sebenarnya aku rasakan.Pelan-pelan aku melangkah tanpa menimbulkan suara.Namun tiba-tiba saja ponsel dalam saku celanaku berdering cukup nyaring. Membuatku terkesiap dan Hilma pun berbalik.Cepat-cepat aku merogoh saku celana dan mengambil benda pipih yang membuyarkan rencana dadakanku."Reza? Ngapain si?" gumamku dengan lirih saat melihat nomor Fahreza yang tertera di la
Tengah malam, aku tetap terjaga.Hilma dan si kembar tertidur dengan pulas.Sedangkan aku tidak dapat tidur. Aku masih memikirkan cara untuk mengungkapkan perasaan ini pada Hilma.Karena dinner romantis yang awalnya memang kusiapakan untuk mengatakan perasaanku, nyatanya gagal total dan harus berakhir sia-sia.Aku tidak mau memendamnya lebih lama.Aku tidak tahan, merasakannya sendirian.Aku ingin Hilma menyambut perasaan ini.Aku ingin, Hilma tahu perasaanku yang sebenarnya.Denting dari jarum jam, menemani sepinya malam ini. Waktu pun terus bergulir dan aku masih terus terjaga. Hingga tanpa terasa, waktu sudah memasuki dini hari.Aku pura-pura memejam ketika mendengar suara dari arah sofa tempat tidur Hilma. Tak lama, disusul suara pintu kamar yang dibuka.Aku pun membuka mata dan mendapati sofa itu telah kosong.Hilma pasti akan ke mushola. Haidnya sepertinya sudah usai.Serta merta aku bangkit dan terduduk.Cepat beringsut turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi.Membasuh wajahk
🌻POV Hilma."Aku mau ke luar dulu sebentar. Kamu apa mau titip sesuatu?"Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Yuda."Ehm, yakin?"Aku mengangguk kali ini. "Iya."Nampak Yuda manggut-manggut. Entah ke luar mana yang ia maksud. Aku tidak ingin tahu juga. Yuda terlihat sudah rapi dengan pakaian sehari-harinya, karena sekarang hari libur."Ya sudah. Aku pergi dulu."Aku kembali mengangguk. Aku masih menyuapi si kecil sarapan bubur di ruangan bermain.Aku sedikit mendongak. Karena tangan Yuda yang terulur di depanku. Dia hanya mengangguk, seakan meyakinkan, bahwa dia memang tengah berpamitan dan aku harus mencium tangannya.Karena masih menyuapi si kembar. Aku pun dengan segera mencium punggung tangan laki-laki bergelar suamiku ini. Hanya sebentar dan aku kembali fokus dengan si kembar. Mereka sedang lahap menikmati sarapannya.Sebelum berangkat, seperti biasanya, Yuda akan mengusap lembut kepala kedua putranya ini. Lalu setelah itu, ia pun bergegas meninggalkan ruangan bermain ini.Seja
"Tanpa kamu bicara, ibu tahu kamu menyukai laki-laki shaleh itu. Tapi … karena keadaan dan keputusan kami, kamu tidak bisa bersama dengannya. Maafkan kami ya, Sayang." Ibu berucap diikuti helaan napas berat.Aku menunduk. Meraup dengan rakus oksigen untuk memasok dadaku. Kemudian mendongak menatap wajah Ibu.Senyum kecil coba aku pamerkan padanya. Ibu berhak tahu perasaanku. Meski perasaan ini tidak akan pernah sampai. Karena sekarang aku telah menikah. Tapi, dengan berbicara pada ibu. Aku rasa, dapat mengurai sedikit sesak yang membelenggu dalam dadaku selama ini."Bu, sampai hari ini, perasaanku pada Azmi masih tetap sama. Dia … masih menjadi laki-laki yang mengisi tempat khusus di hatiku, Bu."Aku mengakuinya pada Ibu. Membuat Ibu memandangku lamat. Hingga keheningan, sejenak menyelimuti kami berdua saat ini.Ibu tidak berucap apa pun. Seperti masih menunggu pengakuanku lebih lanjut. Ibu tidak menyalahkanku atas perasaan putrinya ini. Meski posisinya saat ini, aku telah bersuami."
Bapak membawa mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Membelah jalanan malam yang sunyi sepi. Menjauh dari rumah dan sudah masuk hampir ke luar daerah.Arka di gendongan tertidur pulas. Begitu juga dengan Arsa yang kubaringkan di sisi kursi yang kosong, dan tak lepas dari pengawasanku.Bapak masih fokus mengendalikan stir mobilnya. Sehingga tidak juga mengatakan siapa yang masuk rumah sakit.Di rumah tadi, Yuda juga belum pulang.Padahal ini sudah lewat dari tengah malam.Hampir satu jam dari rumah. Bapak menghentikan mobilnya di salah satu rumah sakit umum daerah.Bapak membantu membukakan pintu. Mengambil Arsa dan menggendongnya. Aku pun turun dengan masih menggendong Arka.Aku mengikuti langkah Bapak memasuki gedung rumah sakit. Menyusuri tiap koridor hingga tiba dan berhenti di depan sebuah ruangan ICU.Kedua mertuaku sudah ada di sini. Pun dengan Ibuku yang nampak seperti tengah menguatkan Bu Aida.Melihat kedatanganku, Bu Aida menghambur dan memelukku. Beliau masih terisak."Hikss
🌻POV Hilma.Satu Minggu berlalu.Kamar kedua di rumah ini telah disulap. Berubah menjadi ruangan rawat untuk sang pemilik rumah.Yuda terbaring lemah di atas springbed single di kamar ini. Infus serta alat bantu tertentu masih dibiarkan terpasang di beberapa bagian tubuhnya.Satu Minggu berlalu sejak kecelakaan yang dialaminya. Keadaan Yuda tidak kunjung membaik.Dia masih dinyatakan koma. Setelah dipindahkan ke rumah sakit terdekat di sekitar sini.Tidak ada perkembangan apa pun terhadap kondisinya.Sehingga kedua orang tuanya, memutuskan untuk membawa Yuda pulang dan merawatnya di sini, di rumah Yuda.Mata hazel dengan tatapan bak elang itu memejam rapat. Tidak ada pergerakan sedikit saja darinya. Tubuhnya tergolek denga deru napas yang nampak begitu lemah.Beberapa bagian wajahnya dipenuhi lebam. Seperti terkena benturan."Nak, ibu dan Bapak akan tinggal sementara waktu di sini. Ibu akan merawat Yuda. Kamu tidak keberatan 'kan?" tanya Bu Aida dengan lingkaran matanya nampak cekung
Selepas waktu isya, Pak Candra baru kembali ke rumah ini. Aku dan Bu Aida tengah berkumpul di ruangan bermain si kembar. Pintu kamar di mana Yuda terbaring, selalu dibiarkan terbuka. Hanya akan tertutup saat tubuhnya hendak dibersihkan.Pak Candra datang dengan membawa nasi goreng untuk kami makan malam. Kami makan bersama seperti biasanya.Namun, Bu Aida hanya makan sampai setengahnya saja. Aku mengerti, perasaannya tak menentu saat ini."Nak Hilma, kamu tidak memiliki ponsel, ya?" tanya bapak mertuaku saat makan malam kami sudah selesai."Punya, Pak. Tapi rusak. Aku belum sempat buat benerin," jawabku."Ya itu sama saja tidak punya, Nak. Apa nggak bosan, kamu gak pegang hape kalau di rumah seperti ini?" selidik Pak Candra lagi.Aku menggeleng cepat. "Sudah biasa, Pak. Di pondok, mana ada hape. Jadi ya, sudah terbiasa.""Kamu enggak main media sosial berarti?" Kali ini Bu Aida ikut bersuara."Dulu cuma main akun biru, Bu. Itu juga udah berapa tahun terakhir gak aku buka. Mungkin suda