"Tanpa kamu bicara, ibu tahu kamu menyukai laki-laki shaleh itu. Tapi … karena keadaan dan keputusan kami, kamu tidak bisa bersama dengannya. Maafkan kami ya, Sayang." Ibu berucap diikuti helaan napas berat.Aku menunduk. Meraup dengan rakus oksigen untuk memasok dadaku. Kemudian mendongak menatap wajah Ibu.Senyum kecil coba aku pamerkan padanya. Ibu berhak tahu perasaanku. Meski perasaan ini tidak akan pernah sampai. Karena sekarang aku telah menikah. Tapi, dengan berbicara pada ibu. Aku rasa, dapat mengurai sedikit sesak yang membelenggu dalam dadaku selama ini."Bu, sampai hari ini, perasaanku pada Azmi masih tetap sama. Dia … masih menjadi laki-laki yang mengisi tempat khusus di hatiku, Bu."Aku mengakuinya pada Ibu. Membuat Ibu memandangku lamat. Hingga keheningan, sejenak menyelimuti kami berdua saat ini.Ibu tidak berucap apa pun. Seperti masih menunggu pengakuanku lebih lanjut. Ibu tidak menyalahkanku atas perasaan putrinya ini. Meski posisinya saat ini, aku telah bersuami."
Bapak membawa mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Membelah jalanan malam yang sunyi sepi. Menjauh dari rumah dan sudah masuk hampir ke luar daerah.Arka di gendongan tertidur pulas. Begitu juga dengan Arsa yang kubaringkan di sisi kursi yang kosong, dan tak lepas dari pengawasanku.Bapak masih fokus mengendalikan stir mobilnya. Sehingga tidak juga mengatakan siapa yang masuk rumah sakit.Di rumah tadi, Yuda juga belum pulang.Padahal ini sudah lewat dari tengah malam.Hampir satu jam dari rumah. Bapak menghentikan mobilnya di salah satu rumah sakit umum daerah.Bapak membantu membukakan pintu. Mengambil Arsa dan menggendongnya. Aku pun turun dengan masih menggendong Arka.Aku mengikuti langkah Bapak memasuki gedung rumah sakit. Menyusuri tiap koridor hingga tiba dan berhenti di depan sebuah ruangan ICU.Kedua mertuaku sudah ada di sini. Pun dengan Ibuku yang nampak seperti tengah menguatkan Bu Aida.Melihat kedatanganku, Bu Aida menghambur dan memelukku. Beliau masih terisak."Hikss
🌻POV Hilma.Satu Minggu berlalu.Kamar kedua di rumah ini telah disulap. Berubah menjadi ruangan rawat untuk sang pemilik rumah.Yuda terbaring lemah di atas springbed single di kamar ini. Infus serta alat bantu tertentu masih dibiarkan terpasang di beberapa bagian tubuhnya.Satu Minggu berlalu sejak kecelakaan yang dialaminya. Keadaan Yuda tidak kunjung membaik.Dia masih dinyatakan koma. Setelah dipindahkan ke rumah sakit terdekat di sekitar sini.Tidak ada perkembangan apa pun terhadap kondisinya.Sehingga kedua orang tuanya, memutuskan untuk membawa Yuda pulang dan merawatnya di sini, di rumah Yuda.Mata hazel dengan tatapan bak elang itu memejam rapat. Tidak ada pergerakan sedikit saja darinya. Tubuhnya tergolek denga deru napas yang nampak begitu lemah.Beberapa bagian wajahnya dipenuhi lebam. Seperti terkena benturan."Nak, ibu dan Bapak akan tinggal sementara waktu di sini. Ibu akan merawat Yuda. Kamu tidak keberatan 'kan?" tanya Bu Aida dengan lingkaran matanya nampak cekung
Selepas waktu isya, Pak Candra baru kembali ke rumah ini. Aku dan Bu Aida tengah berkumpul di ruangan bermain si kembar. Pintu kamar di mana Yuda terbaring, selalu dibiarkan terbuka. Hanya akan tertutup saat tubuhnya hendak dibersihkan.Pak Candra datang dengan membawa nasi goreng untuk kami makan malam. Kami makan bersama seperti biasanya.Namun, Bu Aida hanya makan sampai setengahnya saja. Aku mengerti, perasaannya tak menentu saat ini."Nak Hilma, kamu tidak memiliki ponsel, ya?" tanya bapak mertuaku saat makan malam kami sudah selesai."Punya, Pak. Tapi rusak. Aku belum sempat buat benerin," jawabku."Ya itu sama saja tidak punya, Nak. Apa nggak bosan, kamu gak pegang hape kalau di rumah seperti ini?" selidik Pak Candra lagi.Aku menggeleng cepat. "Sudah biasa, Pak. Di pondok, mana ada hape. Jadi ya, sudah terbiasa.""Kamu enggak main media sosial berarti?" Kali ini Bu Aida ikut bersuara."Dulu cuma main akun biru, Bu. Itu juga udah berapa tahun terakhir gak aku buka. Mungkin suda
🌻POV Hilma."Bagaimana keadaannya, Dok?"Seorang dokter tanpa pakaian dinas, dengan stetoskop yang masih mengalung di lehernya itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya menggeleng lemah."Tidak ada perkembangan berarti. Yuda masih seperti sebelumnya," ujarnya bernada kecewa.Bu Aida yang berdiri di sampingku, merunduk dan tenggelam dalam dadaku. Cepat aku pun merangkul dan menenangkannya."Sampai kapan Yuda seperti ini, Dok?" tanya Pak Candra lirih."Tidak ada yang bisa memastikannya, Pak. Hanya keajaiban dari Yang Mahakuasa yang dapat jadi jawabannya," sahut sang dokter.Pak Candra nampak putus asa. Begitu juga Ibu mertua dalam dekapanku saat ini.Sekarang sudah hampir satu bulan lamanya.Yuda terbaring dalam komanya.Tanpa ada perkembangan baik dengan kondisinya. Setiap satu Minggu sekali, dokter yang menangani Yuda akan datang ke mari dan melakukan pemeriksaan rutin.Dokter Mirwan, dokter yang menangani Yuda selama ini. Baru saja selesai melakukan pemeriksaannya.Namun, seperti
Usai shalat Subuh dan si kembar masih belum bangun. Aku menyegerakan ke dapur. Namun, di dapur ternyata Ibu mertua sudah berkutat di depan meja kitchen set."Masak apa, Bu?" tanyaku setelah menghampirinya."Eh, Nak. Ini, ibu buat nasi goreng buat kita sarapan. Di kulkas soalnya cuma ada telur sama sosis, jadi ibu bikin nasi goreng. Gak papa, ya?" jawab serta tanyanya.Aku tersenyum kecil. "Enggak apa-apa, Bu. Nanti agak siangan, biar aku belanja buat stok di kulkas."Sejak sebulan yang lalu. Bukan hanya ponsel yang mertuaku berikan. Tetapi mereka juga memberiku kartu debit, untuk kebutuhanku, si kembar dan juga keperluan rumah.Selama ini, sejak awal pernikahan ini. Ayah si kembar tetap mengingat tanggungjawabnya sebagai suami.Terlepas dari hubungan tanpa cinta yang kami jalani, dia tetap memberikan uang bulanan sebagai bentuk nafkah yang harus dipenuhinya. Apalagi untuk kebutuhan rutin si kembar. Mulai dari susu formulanya hingga bedak dan minyak telon yang harus selalu siap.Lalu s
Lima bulan kemudian ….🌻POV Hilma.Kondisi Yuda masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Dia masih tergolek lemah seperti sebelumnya. Keajaiban dari Sang Pemilik Kehidupan, masih belum datang hingga detik ini.Aku baru saja selesai melakukan tugasku di sore hari. Kupandangi Yuda yang terbaring tak berdaya."Yud, kamu tidak ingin bangun? Kamu tidak ingin melihat perkembangan si kembar hmmm? Sekarang usia mereka sudah satu tahun, Yud. Mereka sedang senang-senangnya belajar berjalan. Kamu masih ingin seperti ini? Kamu tidak ingin melihat, bagaimana antusiasnya mereka mencari pegangan untuk kemudian berjalan pelan merambat? Kamu tidak ingin mendampingi mereka hmmm?"Aku berbicara pada Yuda. Meski tidak ada sahutan seperti yang sudah-sudah. Hanya denting dari jarum jam yang seakan menjawab ucapanku."Si kembar sudah bisa memanggilku. Mereka sering bersahutan menyeru namaku. Tidakkah kamu ingin melihat dan mendampingi mereka? Bangunlah, Yud! Sampai kapan kamu akan membiarkan Ibumu ter
Sekujur tubuhku membeku karena mendengarnya."Iya, Nak. Kami sebagai orang tua Yuda, yang akan mengambil tanggung jawab merawat anak kami. Kami tidak tega melihat kamu setiap harinya hanya mengurusi Yuda yang tidak kunjung sembuh. Sementara kebutuhan kamu, tidak bisa dipenuhi Yuda sebagaimana mestinya. Keadaan seperti ini, memperbolehkan kamu sebagai istri, untuk mengajukan gugatan perceraian yang akan diproses oleh hakim pengadilan," beber Pak Candra kemudian.Menggugat cerai?Selama ini, aku dan Yuda memang tidak saling mencintai. Kami terbelenggu, dengan perasaan kami masing-masing.Namun, selama ini, aku mencoba tetap bersabar. Lalu dalam keadaannya yang seperti sekarang, aku ikhlas merawatnya. Meski, aku juga tidak tahu sampai kapan akan begini.Aku menunduk, mencerna baik-baik, apa yang kedua mertuaku ini sarankan. Dan memang benar, aku berhak atas hidupku selanjutnya.Yuda tidak menunjukkan perubahan. Apa dia bisa bertahan lalu akan sembuh, ataukah justru sebaliknya.Tidak ada