Share

Mesin

Bagi Shofi waktu adalah uang, setiap detiknya begitu berharga. Jika sampai terlambat masuk kerja, terlambat satu detik saja, reward yang diperjuangkan selama satu bulan melayang. Karena kontak motornya belum ketemu, maka ia bangun lebih pagi, mandi lebih awal demi bergegas men-stop angkutan umum. Berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari pasar ia lalui, menghirup aneka ragam parfum bercampur dengan keringat juga ia alami. Intinya hari itu dia sudah berusaha supaya tidak datang terlambat ke pabrik, sayang takdir tidak memihak, ia telat satu detik karena mesin finger tidak langsung membaca rekaman sidik jarinya.

"Haa … awas ya, Yum! Aku bikin perhitungan denganmu!" jerit Shofi setelah absennya kelar. Ia telat satu detik, hanya satu detik.

Perjalanan menuju aula packing dipenuhi gedumelan ringan. Sangat kesal, apalagi itu akhir bulan. Ia telah melampaui hari sebelumnya dengan tertib dan tidak terlambat dengan sepeda motor. Ini gegara angkutan umum berhenti di beberapa titik, membuatnya berkali-kali harus menunggu rodanya berputar. Padahal sebelumnya ia selalu datang sepuluh menit lebih awal.

"Hai, Fi! Tumben datang agak siang, nggak biasanya tuh, kebanyakan nonton drakor, ya?" ledek Anggi, rekan kerja yang sudah memakai kaos tangan, penutup kepala sebab ia tidak memakai jilbab, juga masker dan celemek.

Shofi mengalungkan celemek, duduk di pinggiran mesin yang terus berjalan mengantar roti-roti matang. Ia dan Anggi mendapat tugas packing, memasukkan roti ke dalam bungkus plastik. Begitulah pekerjaan Shofi terus–menerus selama setahun lebih, tidak pernah berubah.

Shofi mulai mengambil roti.

"Kalau memang ng-drakor itu otakku untung, bisa healing pikiran semalaman tuh, soalnya semalam aku terjebak di pondok gegara kontak motorku ilang!"

"Hahaha. Motor tua begitu siapa yang minat? Kamu lupa kali naruh kontaknya,"

"Enggak lupa … perasaan aku kantongi,"

"Kantongi di mana?"

"Di saku celana!"

"Nah jatuh di kompleks sana, sudah dicari belum?"

"Anggi, buat apa aku terjebak di pondok kalau bukan untuk mencari kontaknya?" Shofi ketus dan agak sewot. Ia memberi pelototan kepada Anggi, justru dibalas kekehan ringan.

"Wah cuci mata dong!"

"Cuci mata gundulmu! Yang ada aku digigitin nyamuk, pondok sebelah kan dekat sawah, belum lagi ada kebun bambu yang lebat, nyamuk berkeliaran mencari mangsa empuk!"

"Jadi sepeda motormu masih di pondok?"

Shofi memberi jawaban dengan anggukan.

Akhirnya mereka fokus pada kerjaan, memasukkan roti demi roti ke dalam plastik. Ada pun karyawan yang lain, bekerja menjadi perobek roti, memberikan selai berbagai ras. Ada yang tukang membuat selai, tugasnya mengoperatori mesin pencampur adonan krim, gula dan susu. Pekerjaan berat membuat roti, mencampur adonan raksasa dikerjakan oleh kaum adam, mereka akan meletakkan adonan yang sudah dibentuk rapi ke loyang kemudian memasukkan ke dalam oven raksasa bertegangan tinggi.

Pekerjaan mereka tidak pernah berubah, serupa mesin yang tenaganya dituntut konstan dan stabil.

"Sore nanti ada acara nggak?" tanya Anggi kemudian.

"Sepertinya senggang, kenapa?"

"Temani aku mampir ke suatu tempat."

Entah tempat apa yang disebutkan, tetapi sebelum mengantar Anggi, Shofi harus mampir ke pondok terlebih dahulu untuk mengambil kontak sekaligus sepeda motornya. Sewaktu jam istirahat karyawan ia membuka ponsel, ada pesan masuk di akun I*-nya, dari @Farhan maksudnya Gus Farhan.

'Fi, ini Yumna, kontak motormu sudah ditemukan sama Gus Farhan, ada di kantor pondok putra, segera diambil ya, motor bututmu mengganggu pemandangan!'

Anggi menunggu di luar gapura, ia enggan diajak masuk karena malu tidak memakai jilbab. Sementara Shofi memang selalu menutup rambut ke manapun ia pergi karena Bunda mewajibkannya. Itu merupakan syarat mutlak Shofi jika tidak mau tinggal di pesantren.

Shofi langsung menuju kantor yang dimaksudkan, ia tidak mengucap salam, hanya ungkap permisi di ambang pintu. Ada santri dewasa yang sedang menjaga kantor, mencatat-catat sesuatu di atas kertas. Santri itu membenarkan letak pecis yang miring kemudian mempersilakan Shofi masuk dan duduk.

"Kepripun Mbak? Ada yang bisa dibantu?" tanya santri tersebut ramah dan sopan.

"Saya mau ketemu Farhan, tolong panggilkan!"

"Farhan?" Santri itu berkerut kening, kemudian menelusuri penampilan Shofi dari ujung kaki sampai kepala. Dia bukan golongan santriwati yang mondok di asrama belakang, lalu akalnya menafsirkan bahwa sosok perempuan muda yang ada di depannya itu adalah wali santri yang ingin menjenguk santri bernama Farhan.

Ia keluar dari kantor, mengutus salah santri yang sedang asyik bermain bola di halaman masjid. Santri itu disuruh memanggil Farhan.

"Ada apa, Kang? Katanya memanggil saya,"

"Ada orang yang hendak bertemu denganmu, duduklah!" jawab santri yang dipanggil 'Kang' itu, tepatnya Kang Zaki.

Farhan—santri yang masih terbilang kecil dengan pecis miring dan sarung terlipat tidak rapi itu melangkah masuk dengan ragu-ragu. Pasalnya jarang ada keluarga yang menemuinya di hari efektif, biasanya pembesuk santri akan datang di hari minggu atau sabtu, dan memang hanya di waktu-waktu itulah keluarga boleh menjenguk.

"Silakan Mbak, Farhan sudah ada di sini, saya tinggal ke belakang sebentar."

Shofi menatap lekat sosok Farhan yang duduk di seberang kursinya.

"Hei, bukan bocah ingusan ini!"

"Astagfirullahal'adzim," Kang Zaki mengucapkan istighfar. Ia tidak yakin jika yang dimaksud perempuan ketus itu adalah Gus Farhan. Berani sekali memanggil putra kyai langsung nama tanpa gelar, 'Gus.'

"Saya mencari Farhan, guru ngaji yang kemarin ngajar di kelas itu!" Shofi menunjuk keluar, tepat pada sebuah gedung yang disebut sebagai kelas.

Hari itu pintunya tertutup karena memang belum waktunya mengaji, khusus hari jumat diniyah libur, maka kelas itu akan menutup sampai malam. Para santri sedang menghabiskan waktu senggang sebelum asar. Ada yang bermain bola, main bulu tangkis, ada juga yang duduk-duduk tongkrong menciptakan obrolan renyah sambil menatap langit dan hamparan sawah.

"Maksudnya Gus Farhan, Mbak?"

"Iya!"

"Ya Allah Gusti, Mbak. Beliau merupakan putra ndalem, nggak sopan kalau langsung memanggilnya begitu," Kang Zaki meluruskan.

"Tidak apa-apa, Kang. Gus atau tidak, saya tetap Farhan, hamba Allah." Suara Gus Farhan melengking nyaring dari luar.

Ia baru saja selesai menemani santri olahraga, celana training panjang menggantikan sarungnya, ia juga tidak memakai kemeja putih maupun baju koko, melainkan kaos yang menyerap keringat. Bulir-bulir peluh terpeciki cahaya matahari sore. Ada satu fakta yang membuat dada Shofi bergemuruh detik itu, Gus Farhan sangat tampan.

Farhan yang bertitle santri buru-buru pamit karena merasa canggung. Kang Zaki mengiyakan.

"Mana kontak saya?" Shofi langsung to the poin.

"Astagfirullah, Mbak. Bicaranya yang sopan, nggak baik seorang perempuan bicara kasar apalagi dengan seorang putra kya…."

"Sudah, Kang. Tidak apa-apa, Kang Zaki kembali mengerjakan amanah pondok saja, mbak ini hanya mau mengambil kontak sepeda motor."

"Masya Allah, terima kasih, Gus. Saya permisi." Kang Zaki undur diri, melangkah pelan menuju bilik sebelah yang tersekat dinding kaca.

Shofi memperhatikan wajah Gus Farhan sekali lagi, masih sama seperti kemarin, meneduhkan. Ada gelenyar aneh yang diam-diam singgah di hatinya. Tetiba perihal kontak motor lenyap dalam benak, hati serta pikiran merajuk hendak mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.

Gus Farhan melangkah menuju etalase kantor yang berisi berbagai macam kitab-kitab, di sanalah kemarin malam ia menyimpan kontak motor Shofi.

"Ini kontaknya, Mbak." Gus Farhan mengulurkan tangan demi memberikan obyek yang membuat santri putra gempar.

Tetapi … hal di luar dugaan itu terjadi.

"Saya Shofi, karyawan pabrik roti sebelah, kamu bisa menemui saya selepas kerja, atau sepuluh menit sebelum saya scan finger," ujar Shofi tanpa pikir panjang. Keketusannya mendadak lenyap. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat. "Saya bertugas packing roti, sudah lebih dari setahun, mungkin bagi kamu itu usia ranum, tetapi percayalah saya lebih setia dari mesin."

Gus Farhan tersenyum, ia bukannya tidak ingin membalas jabatan tangan Shofi, tetapi hanya menjaga diri dari hal-hal yang belum dikehendaki. Gus Farhan mengangkat kedua tangan di depan dada kemudian menangkupkannya lekat-lekat serupa kuncup bunga.

"Maaf, saya Farhan dan ini kontak sepeda motormu." Gus Farhan meletakkan benda yang dimaksud ke atas meja.

"Ya Allah, kau membuat diriku seperti najis." Shofi salah paham. Ia bergegas meraih kunci kemudian keluar menaiki sepeda motornya yang sudah semalaman parkir di depan kantor pondok putra.

"Maaf saya tidak bermaksud …,"

Ucapan Gus Farhan tidak selesai, sosok yang diajak bicara telah hilang dari pandangan. Keluar dari gapura pondok. Gus Farhan termenung, ia merasa telah melakukan tindakan benar, justru demi melindungi kesucian Shofi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status