Share

Sesuatu yang Berharga

"Kenapa kamu mengajakku ke tempat ini, Nggi?" tanya Shofi yang masih bingung. Mereka berhenti di sebuah rentourant dan bar untuk kaum-kaum penongkrong dan peminum.

Bagi Anggi itu biasa, penampilannya dengan rambut pirang terurai, kaos seatas pantat dan celana jins, tidak begitu kontras, tetapi nasib Shofi? Ia memakai jilbab, pakaiannya menutup aurat. Sesuatu yang sangat mencolok baginya, ia tidak pantas di tempat itu meski di dalam ada beberapa juga kaum perempuan yang sedang ngobrol, minum dan mereka memakai jilbab.

"Aku ingin bertemu dengan temanku, dia janjinya di sini,"

"Apa tidak ada tempat lain? Buat janji kok di tempat dugem."

"Ayo masuk!"

Shofi melotot. Diajak parkir di halaman tempat itu saja ia kurang berkenan, kok diajak masuk?

Sayangnya Anggi tidak peduli jika tetiba Shofi pulang, ia membawa Shofi karena dipikir perempuan itu akan mau.

"Nggi!" teriak Shofi. "Tunggu!"

Shofi juga tidak mau menunggu di luar serupa orang hilang. Barangkali itu menjadi pengalaman untuk yang pertama dan diharapkan juga terakhir.

Tempat itu gelap, tidak ada pencahayaan fokus, hanya pencahayaan lighting warna-warni yang menyoroti berbagai penjuru dan berpindah-pindah. Musik DJ berputar penuh semangat, menggemparkan tubuh, kaki-kaki anak muda dan orang dewasa yang sedang bimbang menghentak-hentak di atas lantai.

Anggi melangkah menuju bar, memesan cocktail. Minuman yang bagi Shofi masih terasa asing dan haram untuk ditenggak sebab mengandung campuran alkohol. Maka Anggi memesankan soft drink untuk sahabatnya yang masih celingukan mencari-cari tempat nyaman untuk duduk. Nuansa di dekat bar sedikit remang-remang, setidaknya sanggup melihat ekspresi wajah waiter.

"Mangsa baru, Nggi?" tanya seorang pemuda yang sedang memantik rokok dengan korek api.

"Jaga dia, Bang!"

Anggi menenggak minuman secepat kilat, ada perasaan hancur dan bersalah, tetapi semuanya dilakukan terpaksa. Lantas pada akhir cerita ia ungkap, "aku tinggal dulu, Bang!"

Shofi masih belum sadar, ia dipenuhi dengan kebingungan sampai-sampai tidak mendengar obrolan yang sedang berlangsung. Shofi sibuk memandang ke arena muda-mudi saling melompat dan bersorak-sorak.

Anggi turun, meninggalkan Shofi seorang diri—pelan-pelan.

"Temanmu di mana, Nggi? Kok lama sekali?" Shofi menoleh menatap kursi di sampingnya sudah tidak berpenghuni. Hanya ada satu pemuda tanpa kumis tetapi bertindik di atas hidung, sedang tersenyum di bawah temaram lampu.

"Anggi …" lirih Shofi memanggil.

Sejenak ia edarkan pandangan ke berbagai penjuru, ia turun dari tempat duduk, tidak ada seseorang yang ia kenali, Anggi lenyap ditelan kerumunan. Ia berusaha keluar tetapi pemuda itu yang tadi berbicara kepada Anggi, menghalangi jalan keluar.

"Kamu siapa?"

"Gue Bawon, biasa dipanggil Bang Bawon, atau Mas Ba. Rekan Anggi, kamu mencari Anggi, kan? Tenang saja, dia ada di ruang VIP, mari gue antar!" ucap pemuda yang mengaku bernama Bawon.

Namun Shofi bukan orang polos, ia memiliki akal untuk berpikir, ia harus mencari cara agar bisa kabur dari tempat itu. Entah apakah Anggi sudah keluar atau belum, pikirannya saat itu adalah dia harus segera hengkang dan meninggalkan hiruk-pikuk orang-orang mabuk. Kelas VIP? Lalu apa yang ada di dalamnya? Memangnya sekaya apa sampai-sampai Anggi bisa memboking ruang VIP? Sepahamnya, Anggi bahkan tinggal di kontrakan yang setiap akhir bulan seringkali nunggak. Anggi sendiri sering meminjam uang kepadanya, terlalu naif jika Bawon merayu dengan kata VIP. Itu kebohongan.

"Maaf, saya mau ke kamar mandi dulu! Tolong sampaikan ke Anggi, tunggu sebentar! Oke?"

Shofi bersikap tenang meski ia sedang berada di kandang macam.

Bawon tersenyum, bersikap agak ramah, padahal wajahnya terlihat seperti orang yang senantiasa marah.

"Di ruang VIP, ada kamar mandi yang bersih dan nyaman. Kalau lo cari kamar mandi di sini, yang ada bau orang-orang mabuk." Bawon mengarahkan Shofi agar mau mengikutinya.

Sayangnya, Shofi gadis yang selalu berhati-hati, ia tidak mudah percaya dengan orang lain, tetapi dijebak oleh Anggi. Ia menurut dengan Anggi karena sudah sering bertemu di tempat kerja, selain itu hanya Anggilah rekan akrab di pabrik, lainnya sebatas memberi sapaan dan menawari makan, tidak sampai saling curhat dompet sedang bokek, tidak sampai membagi kisah pedih satu sama lain.

Bawon kehilangan sabar, ia mencengkeram lengan Shofi dengan paksa, menyeret ke ruang VIP.

"Woi, lepas! Tolong!"

Sayang, tidak seorang pun mau menolong. Orang-orang di bawah gemerlap lampu itu hanya menatap acuh kemudian kembali pada pikiran masing-masing, sibuk menggoyangkan pinggul dan melompat setingi-tingginya. Alunan musik DJ yang terus berputar juga membuat suara Shofi sulit didengar.

"Percuma lo teriak, yang ada cuma serak!"

"Kemana Anggi? Kenapa dia meninggalkanku?"

"Anggi telah menjual lo kepada bos gue, hutangnya terlalu banyak, tidak ada yang bisa digunakan untuk membayarnya, maka ia jual sahabat paling baiknya demi melunasi hutang!"

'Plak!'

Tamparan mendarat di pipi Bawon. Mimpi apa semalam? Dirinya dijual? Memangnya dia barang yang bisa diperjual belikan. Satu hal yang tidak pernah ia sangka, Anggi tega melakukan itu kepadanya. Ia berharap tidak sedang bernapas dalam dunia nyata, semoga semuanya fiksi. Air matanya pecah, membasahi pipi lembut. Jilbab yang dikenakan juga mulai berantakan.

Bawon menarik napas panjang, ia bermaksud membalas tamparan Shofi, tetapi tidak tega saat mendengar isak Shofi.

"Lepaskan aku!"

"Kalau lo bukan mangsa bos gue, sudah gue lepas! Anggi sahabat lo itu brengsek! Perempuan berjilbab dijual ke tempat beginian!"

"Tolong …!"

"Jangan merengek, percuma, di sini tidak ada orang yang peduli dengan nasib lo!" teriak Bawon.

Tubuh Shofi didorong membentur pintu ruang VIP yang tidak terkunci, seorang yang dibilang 'Bos' itu sudah menunggu. Ia pria berkumis tipis dengan tubuh kekar yang sangar. Aroma alkohol menyebar di berbagai sudut. Cahaya remang membuat Shofi kesulitan memastikan rupa wajah pria itu. Ia hendak melawan, tetapi dua laki-laki telah mencengkeram lengannya kuat-kuat.

"Santapan malam ini, Bos. Kasih gue uang tips, dia lebih baik dari yang diminta."

Pria dengan kumis itu tersenyum sinis, ia memandang Bawon kemudian memberi isyarat untuk keluar.

"Nggak … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!" pada Bawon, Shofi mengharap.

"Diam! Berisik!" teriak laki-laki yang mencengkeram lengannya.

Bawon melambaikan tangan, ia sungguh meninggalkan Shofi di ruang VIP.

Di tempat yang tidak begitu jauh dari lokasi bar, Anggi menangis sesenggukan, ia dipenuhi dengan penyesalan. Ia terpaksa melakukan semua itu demi bertahan menjadi perempuan normal. Hutang yang bertumpuk-tumpuk membuat hidupnya hancur dan kelam. Ia ingin lari, tetapi orang-orang suruhan Bos Bagong berserak di mana-mana serupa kerikil yang menyandung di jalanan.

"Beri aku sesuatu yang

paling berharga, entah itu nyawa orang lain atau harga dirimu sendiri, maka hutang-hutangmu lunas!" kata Bos Bagong di suatu malam.

Anggi kemudian banyak berpikir. Di tempat kerja ia selalu terhibur dengan kekerasan Shofi, keriangan Shofi dan kebaikan Shofi yang mau menjadi temannya. Mulai saat itu ia menganggap hal paling berharga dalam hidupnya adalah Shofi. Dengan berat hati ia berdamai pada diri sendiri untuk merelakan Shofi menjadi penebus-penebus hutangnya selama ini.

Penyesalan tinggallah penyesalan. Ia siap mendapat murka dari Shofi jika di kemudian hari masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan Shofi. Sekali lagi ia tatap halaman tempat penuh gemerlap yang suram itu, menahan sesak. Ia lantas menyiapkan hati untuk berpaling, melupakan perbuatan kejinya dan akan melanjutkan kerja di pabrik esok nanti, seolah tidak terjadi apa-apa.

'Maaf Fi, aku bukan teman yang baik bagimu.'

Malam itu Anggi pulang membawa rasa bersalahnya dalam-dalam. Ia tidak tega meninggalkan Shofi sendirian, tetapi ia juga tidak mau menjual harga dirinya kepada Bos Bagong. Hutangnya teramat banyak, jika dengan menjual teman mampu melunasi hutang tersebut, maka ia rela dicap sebagai pengkhianat oleh Shofi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status