Share

Ragu

Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.

Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.

Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.

“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.

Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.

“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”

Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.

Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.

Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.

“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan sebuah iklan di televisi.

Pria tua itu mengulurkan tangan ke depan Zhafira yang langsung Zhafira raih dan mengecup bagian punggungnya.

“Apakabar, Pak?” Zhafira menyapa.

“Kok Pak? Grandpa donk,” ralat Edward kemudian dan Zhafira tersenyum menanggapi.

Zhafira beralih pada wanita cantik di samping Edward, mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Grandma Monica,” kata wanita tua yang cantik itu memberitau Zhafira bagaimana memanggil dirinya.

“Saya Fira, Grandma ....”

Monica tersenyum lembut lantas merangkul Zhafira masuk lebih dalam menuju ruang makan.

“Menantu di keluarga kami—enggak bisa masak enggak apa-apa, tapi harus cantik dan fashionable ... nanti Grandma kirim baju-baju keluaran brand punya Grandma.” Monica berceloteh tampak bahagia karena baru sekali melihat Zhafira ia sudah bisa menilai bila Zhafira adalah gadis baik.

“Terimakasih sebelumnya Grandma tapi jangan repot-repot ... Fira memang enggak ngerti fashion, nanti Fira bisa belajar sama Grandma ya?” kata Zhafira dengan suara lembutnya.

“Aaaa ... cucu menantu Grandma tersayang.” Monica memeluk Zhafira, langsung sayang padahal baru pertama kali bertemu.

Kaivan tersenyum lebar menatap kakeknya, dari sorot matanya seolah membanggakan diri sendiri bahwa kali ini ia tidak akan salah mencari calon istri.

Makan malam itu berjalan dengan penuh kehangatan dan ceria.

Sama seperti ketika makan malam beberapa hari lalu bersama kakek dan nenek dati pihak ayahnya Kaivan.

Tapi kali ini lebih berkesan karena Monica dan Edward lebih santai dan rock roll.

Berkali-kali Kaivan menegur mereka dan mengingatkan mereka sudah tua dan jangan konyol di depan Zhafira.

Zhafira tidak keberatan sama sekali, air matanya sampai menetes karena terlalu sering tertawa.

Dalam setiap perkenalan dengan keluarga Kaivan, Zhafira tidak menemukan sesuatu yang membuat ragu akan ketulusan cinta Kaivan.

Hebatnya, tidak ada satu pun keluarga Kaivan yang membahas masa lalu pria itu dengan Imelda.

Nama Imelda seolah tabu disebut dalam keluarga Gunadhya padahal Imelda lebih dulu masuk dalam keluarga Gunadhya sebelum hadirnya ipar-ipar Kaivan.

***

Ponsel Zhafira yang berada di atas nakas berdering nyaring.

Zhafira yang sedang duduk di meja belajar mencari bahan film yang akan ditontonnya bersama Bella dan Nova di laptop pun akhirnya menoleh ke asal suara.

Bergegas beranjak berdiri untuk mencari tau siapa yang menghubunginya.

Nama Arshavina-kakak ipar Kaivan tertera di layar, ketika makan malam bersama keluarga beberapa minggu lalu—mereka memang bertukar nomor ponsel.

“Hallo Mbak?” Zhafira menyahut.

“Fir, ada acara enggak hari ini?” Arshavina to the point bertanya.

“Enggak ada, Mbak ... ada apa ya?”

“Kita ketemuan yuk!” ajak Arshavina dengan tegas seperti tidak ingin dibantah.

“Sekarang?” Zhafira memastikan.

“Iya lah, masa besok ... besok ‘kan kamu menikah,” pungkas Arshavina yang menghasilkan tawa Zhafira.

Zhafira kemudian memetakan rencananya yang harus ia ubah karena sebetulnya malam ini sudah memiliki janji dengan Bella dan Nova untuk menonton drama Korea.

“Oke Mbak, ketemuan di mana?” Zhafira menyanggupi.

“Langsung di Mall aja ya,” kata Arshavina.

Usai memberi tau tempat dan jam pertemuan, keduanya sepakat memutuskan sambungan telepon.

Zhafira beralih menghubungi kedua sahabatnya sekaligus melalui panggilan grup.

“Kenapa Fir?” sahut Nova.

“Apaan?” kata Bella.

Keduanya menjawab panggilan telepon dari Zhafira dengan gaya masing-masing sesuai karakter.

“Barusan kakak iparnya pak Kaivan telepon aku ngajak ketemuan di Mall ....” Zhafira memberitau lalu menjeda.

“Mau bridal shower party kali, Fir ... orang kaya ‘kan gitu, suka kasih surprise.” Nova menebak.

“Lo mau bilang kalau nonton drakor kita enggak jadi ya?” tuduh Bella bernada kesal.

“Biarin kali Bel, Fira harus deket sama iparnya pak Kaivan sekalian minta tips dan trik menjadi menantu Gunadhya,” tukas Nova setengah berkelakar membuat kedua sahabatnya tertawa.

“Jadi gini, aku ‘kan di kasih kamar tuh buat nginep semalem di hotel tempat aku nikah biar besok aku enggak kesiangan dan pakaian pengantin juga di antar ke sana hari ini ... Naaah, gimana kalau nanti malem kita ketemu di sana ... kalian ke sana aja duluan, aku nyusul setelah ketemuan sama Mbak Arshavina ... nanti aku telepon resepsionisnya kalau kunci kalian yang akan ambil.” Zhafira mengatakan rencananya.

“Kalau lo datengnya malem, kita enggak nonton drakor donk.” Itu Bella yang masih belum move on dari rencana pertama.

“Gue temenin nonton drakor deh.” Nova yang menyahut.

“Kalau enggak nonton drakor sama aku enggak apa-apa, kan? Kita cerita-cerita aja sebelum tidur.” Zhafira memberi ide.

Bella dan Nova sempat terdiam, pikiran mereka sama yaitu Zhafira menjadikan mereka berdua sebagai keluarga paling dekat menggantikan kedua orang tuanya di malam sebelum pernikahan dan mereka baru menyadari itu.

“Oke, Gue sorean ke sana ya Fir.” Bella langsung menyetujui.

“Jemput gue ya Bel,” kata Nova yang selalu menebeng karena tidak bisa mengemudikan mobil.

“Okay.” Bella langsung menyetujui.

“Sampai ketemu di hotel ya Ghenks.” Zhafira mengakhiri dengan riang karena rencananya meski berubah tapi lebih sempurna karena dalam satu hari satu malam ia bisa bersama keluarga Kaivan dan ‘keluarganya’ sekaligus.

“See you.” Bella dan Nova mengakhiri sebelum memutus sambungan telepon.

***

Zhafira berpikir hanya akan ada dirinya bersama Arshavina saja karena kakak ipar Kaivan itu yang menghubunginya tapi nyatanya ada Zara dan dua orang perempuan lainnya bernama Rachel dan Sifabella yang merupakan kakak ipar dari Arshavina.

Suami Rachel dan Sifabella ternyata sahabat Kaivan juga, malah Zhafira mengenal Aarash-suami Rachel yang pernah ia datangi ke kantor karena merupakan nasabah prioritasnya.

“Enggak apa-apa ‘kan kalau aku bawa mereka, kebetulan Bella baru dateng dari Sydney ... udah lama kita enggak ketemu jadi sekalian jalan-jalan.” Arshavina meminta ijin meski terlambat.

“Enggak apa-apa Mbak, biar seru ... tambah rame,” kata Zhafira dengan binar di matanya.

Ia jadi mengenal banyak kerabat suaminya yang mungkin bisa diprospek untuk penempatan dana dalam rangka menghijaukan target cabang.

Seketika jiwa marketing Zhafira meronta-ronta.

Para wanita yang bukan gadis—kecuali Zhafira—tapi masih terlihat seperti gadis itu keluar masuk butik pakaian brandedternama.

Toko perlengkapan perawatan tubuh dan wajah juga tidak luput mereka sambangi.

Jangan tanya butik tas juga sepatu branded, dengan enteng mereka membeli yang harganya cukup fantastis.

Karena selain suami mereka kaya raya, keempat wanita yang merupakan ipar dan kerabat Kai itu memiliki penghasilan sendiri dari profesi masing-masing.

Hanya Zhafira yang tidak tergiur dengan belanja, ia hanya membeli satu botol parfum seharga jutaan dan itu pun Zhafira menyesalinya setelah tiga langkah keluar dari toko.

Puas berbelanja, mereka melakukan perawatan tubuh dan wajah di salon yang masih berada di Mall para kaum jet set tersebut.

Lagi-lagi Zhafira-si gadis sederhana hanya melakukan perawatan rambut biasa.

Zhafira memilih creambath untuk rambutnya yang sepunggung.

Hari sudah malam ketika mereka selesai memanjakan diri di Salon, Arshavina memiliki ide gila mengajak mereka semua untuk makan malam di sebuah resto yang cozy.

Kadung keluar seharian, maka lanjut saja sampai malam.

Tidak setaun sekali mereka melakukan ini mengingat sebagian besar dari mereka telah memiliki anak.

Zhafira tampak menikmati kebersamaannya bersama keluarga calon suami.

Ia jadi mengerti banyak tentang kebiasaan keluarga besar calon suaminya karena mendapat mentor berpengalaman langsung dari dua menantu Gunadhya.

Sementara itu, ditempat lain para suami dari keempat wanita yang bersama Zhafira tengah melakukan pesta untuk melepas masa lajang Kaivan.

Sebuah night club mewah langganan mereka menjadi tempat berkumpul kali ini.

Akhirnya ghenk mereka komplit karena Aarav-kakak dari Arshavina yang berdomisili di Sydney pulang ke Jakarta hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Kaivan.

Sekedar informasi, Aarash dan Aarah itu kembar sama seperti Kama dan Kalila.

Jadi kedekatan keluarga Gunadhya dan Marthadidjaya terjalin karena Kama-kakak pertama dari Kaivan menikahi Arshavina—adik dari Aarash dan Aarav.

“Lo yakin udah lupain Imelda?” celetuk Aarav bertanya karena pria itu yang paling dekat dengan Kaivan sebelum hijrah ke Sydney.

“Yakinlah gue,” pungkas Kaivan penuh percaya diri.

“Masalahnya gue baru beberapa bulan aja pergi, Kai ... dan gue masih inget gimana hancurnya lo sebelum gue pergi, masa semudah itu lo move on.” Sebagai sahabat Kaivan, tentu saja Aarav curiga.

Bertambah satu orang lagi yang mempertanyakan kesungguhan Kaivan memperistri Zhafira.

“Tau tuh, gue juga heran ...,” timpal Arkana.

“Tenang, Bro! Gue udah move on ... enggak ada Imelda lagi,” tegas Kaivan menambahkan.

“Inget Kai, kakek membenci perceraian ... jadi kalau lo berubah pikiran—siap-siap dapet murkanya kakek.” Kama mengancam.

Kali ini Kaivan terdiam tampak berpikir.

“Lo harus keluar dari circle lo karena akan selalu ada Imelda di sana.” Aarash mengingatkan dan berbalas anggukan mengerti dari Kaivan.

“Pokoknya gue udah cinta mati sama Zhafira, mentok sementok-mentoknya.” Kaivan berucap penuh keyakinan.

“Mencintai itu jangan berlebihan Kai, sewajarnya aja ... nanti kalau enggak dia yang nyakitin lo, ya elo yang nyakitin dia.” Adalah Kama yang paling logis tapi selalu menyebalkan.

“Iya Bang ... iyaaaa,” sahut Kaivan memanjangkan kata sambil merotasi bola matanya.

Kama-kakak pertamanya Kaivan memang paling kaku di antara yang lain, entah kenapa pria itu cocok dengan Arshavina- istrinya yang selalu melanggar aturan.

***

Jam sebelas malam tepat Zhafira tiba di kamar hotelnya menggunakan kartu akses yang ia minta di resepsionis.

Di dalam sana dua sahabatnya sedang saling kejar-kejaran sambil memukulkan bantal satu sama lain.

Zhafira sempat tertawa ketika melihat Nova terjungkal dari ranjang tapi kemudian ....

Bugh!

Sebuah bantal menghantam wajah Zhafira membuat Bella si pelaku tergelak.

Bukannya marah, ketiganya malah tergelak. Zhafira pun membalas dengan memburu Bella sambil membawa bantal.

Bella berlari mengelilingi kamar itu yang terdapat ruang tamu juga pantry, bayangkan bagaimana luasnya kamar itu.

Nova yang telah bangkit setelah terjungkal tadi mulai berlari mengejar Zhafira, ketiganya saling kejar-kejaran seperti anak kecil.

Bantal sofa beterbaran, seprei sudah terlepas dari kasur. Kamar itu tampak seperti kapal pecah.

Ketiganya saling memukulkan bantal tidak peduli siapa lawan mana kawan sampai akhirnya mereka lelah dan menjatuhkan tubuh di ranjang dengan napas tersengal.

“Kenapa kalian main perang bantal?” Zhafira bertanya.

“Pengen aja,” balas Nova dan Bella kompak.

Sudah Zhafira duga, harusnya Zhafira tidak perlu bertanya kepada dua sahabat absurdnya karena memang terkadang mereka melakukan hal konyol tanpa alasan hanya karena ingin saja.

“Gimana jalan-jalannya?” Bella yang berbaring terlentang menggulingkan badan menjadi tengkurap demi menatap wajah Zhafira.

Napasnya masih tersengal tapi ia ingin tau cerita Zhafira hari ini.

“Seru, kita shopping ... nyalon trus nongkrong di caffe ... sorry, kalian jadi nunggu lama.” Zhafira menjawab dengan penuh penyesalan.

“Siapa yang nungguin elo? Kita asyik-asyik aja tadi, malah sempet berenang ya, Bell?” Nova meminta dukungan.

Bella mengangguk cepat. “Banyak cowok ganteng, eksecutive muda ... lo rugi nikah cepet-cepet,” tukas Bella meledek.

“Ya enggak rugi lah, Bel ... Si Fira nikahnya sama Gunadhya,” timpal Nova realistis.

“Iya sih,” ujar Bella sambil menyengir.

“Gaun pengantin aku udah dateng?” Zhafira bertanya seraya bangkit dari atas ranjang.

“Udah ... keren banget,” kata Bella, menarik tangan Zhafira menuju weardrobe.

Di sana tergantung gaun pengantin dan kebaya untuk digunakan Zhafira esok hari melepas masa lajangnya.

“Gue ralat, Fir ... kamu beruntung! Ini gaun keren banget, Viviene Westwood!” Bella berseru, ia telah melihat labelnya.

“Seriusan?” Zhafira bertanya tidak yakin.

“Kebaya lo juga karya Ibu Anneu loh, Fir.” Nova memberitau.

Zhafira menatap nanar gaunnya, ia tidak pernah bermimpi akan menggunakan pakaian mewah pada hari pernikahannya tapi Kaivan mewujudkannya.

“Bersih-bersih dulu, Fir ... trus tidur, biar enggak ada kantung mata ... besok lo harus bangun pagi,” kata Nova setengah memerintah. Ia ingin Zhafira tampil maksimal pada hari paling bahagia dalam hidupnya.

“Kita enggak ngobrol-ngobrol dulu gitu?” Zhafira memberengut.

“Memangnya kita kerjaannya apaan di kantor kalau bukan ngobrol,” sindir Bella membuat Nova dan Zhafira tergelak.

“Ya udah, aku cuci muka dulu ....” Zhafira lantas pergi masuk ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian setelah menuntaskan urusannya di sana, ia keluar tapi hening yang pertama kali menyapanya.

Lampu kamar juga sudah sebagaian dimatikan. Zhafira menuju ranjang dan menemukan kedua sahabatnya sudah tepar tidak berdaya dengan dengkuran halus keluar dari hidung.

Zhafira melipat bibir ke dalam menahan tawa. “Nyuruh tidur tapi mereka yang tidur duluan,” gumam Zhafira menggerutu.

Zhafira tidak langsung menuju tempat tidur, ia mencari tasnya kemudian mengeluarkan ponsel.

Satu pesan dari Kaivan entah sejak kapan masuk ke ponselnya.

Mas Kai : Lagi apa?

Zhafira langsung membalas berharap Kaivan belum tidur karena pesan tersebut sudah dikirim satu jam yang lalu.

My Boo : Maaf Mas, Fira baru sampe kamar ... tadi hapenya di tas. Enggak kedengaran ada pesan masuk.

Kaivan tersenyum membaca pesan Zhafira, lalu mengetikan sesuatu membalas pesan tersebut.

Mas Kai : Gimana jalan-jalannya?

Setelah membaca pesan berikutnya dari Kaivan—jempol Zhafira sibuk mengetik.

My Boo : Seru banget, tadi Fira beli parfum trus creambath udah gitu makan malem di caffe.

Mai Kai : Sekarang mau ngapain?

My Boo : tidur.

Raut wajah Kaivan tampak kecewa, padahal ia sedang memberi kode sebentar ingin bertemu untuk sebuah pelukan. Kaivan merindukan Zhafiranya.

Mas Kai : Kamu enggak kangen sama, Mas?”

Zhafira mendengus geli tapi tak ayal membalas pesan Kaivan juga.

My Boo : Besok juga kita ketemu dan setiap hari akan terus ketemu hingga selamanya.

Raut kecewa tadi hilang begitu saja tergantikan oleh senyum dan hati yang tiba-tiba menghangat.

Gadis itu benar, setelah malam ini—Zhafira akan menjadi miliknya, selamanya.

Mas Kai : Mimpiin Mas ya, Fir.

My Boo : 🥰😘

Zhafira menjawab dengan emoticon penuh cinta dan kiss seperti apa yang ia rasakan saat ini.

Gadis itu mendekap ponselnya di dada sambil melangkah menuju dinding jendela yang menampilkan gedung-gedung pencakar langit seperti di New York.

Zhafira menatap langit di mana kata orang Tuhan berada di sana.

Sorot matanya berkilauan tampak memohon kepada sang Pencipta.

“Tuhan, restui pernikahan kami ... jadikanlah pernikahan ini untuk pertama dan yangterakhir, tumbuhkanlah cinta yang kuat di antara kami ... Fira akan menerima Mas Kai apa adanya dan Fira harap, Mas Kai juga begitu.”

Di kamar dengan lampu temaram yang hanya berjarak dua lantai di atas kamar Zhafira, Kaivan tengah sendirian membaca lagi pesan dari Zhafira.

Ini kali pertama Zhafira mengirim emoticon kiss padanya dan Kaivan bahagia.

Tidak sulit memang bagi seorang Kaivan untuk mendekati dan membuat gadis jatuh cinta padanya tapi hanya dengan Zhafira—Kaivan mendapat penolakan di awal.

Hingga harus berusaha lebih keras meyakinkan gadis itu jika ia mencintai dan ingin menikahinya.

Cinta?

Hati Kaivan mencetuskan pertanyaan itu hingga menggaung di benaknya.

Apa benar Kaivan memang mencintai Zhafira?

Atau kah seperti dugaan keluarganya saja, untuk membalas dendam kepada Imelda.

Karena terkadang, apa yang diucapkan mulut tidak sesuai dengan hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status