Share

Saling Mengenal

Seriusan lo pacaran sama salah satu cowok Gunadhya?” Nova begitu antusias bertanya kepada sahabatnya yang tengah menjadi bahan gosip karena seorang Taipan tampan Negri ini memposting fotonya bersama Zhafira dengan caption ‘My Boo’.

Zhafira mengembuskan napasnya, bersandar punggung pada kursi di meja pantry.

Sudah Zhafira duga jika berita tersebut akan cepat tersebar karena terpaksa ia memposting ulang story Kaivan untuk menghargai pria itu.

Keduanya sedang meracik kopi untuk menambah semangat memulai hari.

“Harusnya kemarin itu kamu aja yang ketemu pak Kaivan di kantornya.” Bukannya senang, Zhafira malah tampak terbebani.

Siapa yang tidak jika ia masih belum yakin juga dengan niat Kaivan yang ingin menjadikannya seorang istri.

Zhafira tidak ingin berujung sakit hati.

“Kalau gue yang datang ketemu pak Kaivan, nanti jodoh kalian tersesat.” Nova berkelakar.

“Morning galz ....” Bella masuk dengan raut wajah ceria seperti biasa.

“Kalian liat enggak kenapa wajah gue keliatan bahagia banget?”

Bella menunjuk wajahnya dengan kedua telunjuk seraya menatap Nova dan Zhafira bergantian.

Nova dan Zhafira kemudian menggelengkan kepala tidak memiliki jawaban dari pertanyaan Bella yang menurut mereka tidak lah penting.

“Ini karena sahabat gue udah dapet gebetan trus weekend kemarin nge-date dan gue enggak dikasih tau jadi pada saat gosip mereka beredar di grup kantor—gue Cuma bisa cengo doank enggak ngerti apa-apa ... apalagi pas yang lain nanya ke gue tentang kebenaran berita itu ... gue berasa enggak berguna jadi sahabatnya sahabat gue itu.” Bella bersarkasme dengan tampang yang telah berubah ketus.

“Sorry ... aku tuh bingung ... pak Kaivan tiba-tiba dateng ke kossan ... ngajak jalan trus nembak aku.” Zhafira tampak menyesal terlihat dari ekspresi wajah dan nada suaranya.

“Bukannya hari selasa itu lo ketemu pak Kaivan ya? Kok weekend-nya kalian bisa jadian dan jalan bareng? Lagian, pak Kaivan tau kossan lo dari mana?”

Nova penasaran dengan cerita lengkap kisah sang sahabat yang tiba-tiba dalam rentang waktu satu minggu sudah menjadi kekasih seorang Konglomerat.

Zhafira memang belum menceritakan apapun, ia telah melupakan Kaivan hingga akhirnya pria itu kemudian datang ke kossan.

Mau tidak mau Zhafira harus menceritakan dari awal bagaimana pertemuan mereka dan bagaimana usaha Kaivan untuk menjadikannya seorang kekasih hingga akhirnya nanti menjadi istri dari pria itu.

***

“Cie ... yang dijemput Ayang,” celetuk Bella menggoda Zhafira yang baru saja pulang dari bertemu nasabah.

Zhafira mengangkat kedua alisnya tidak mengerti.

“Pak Kaivan ada di ruangan pak Wisnu tuh,” sambung Bella lagi sambil mengendikan dagu ke arah ruangan khusus nasabah prioritas.

“Oh ya?”

Zhafira bergegas pergi ke toilet untuk memperbaiki penampilannya, ia juga menambah sedikit parfum di bagian leher.

Begitulah Zhafira, selalu mengatakan tidak ingin berharap pada hubungannya bersama Kaivan tetapi ingin terlihat sempurna di depan pria itu.

“Fir,” panggil Wisnu ketika baru saja ia keluar dari toilet.

“Sudah selesai ketemu nasabahnya?”

Zhafira menatap Kaivan yang juga sedang menatapnya disertai senyum.

“Sudah, Pak.” Ia pun menjawab.

“Kamu boleh pulang sama pak Kaivan,” titah pria itu kemudian.

“T-tapi ada form yang mau saya lengkapin dulu, Pak.” Zhafira sedikit meringis merasa tidak enak hati kepada Kaivan.

“Enggak apa-apa, saya tunggu di mobil aja ....” Kaivan mengalah, sebagai pemimpin perusahaan tentu ia juga ingin karyawannya bekerja secara profesional.

“Ngapain tunggu di mobil, tunggu di ruang prioritas aja ... tapi saya pulang duluan ya, Pak ... anak saya sedang berulang tahun.”

“Silahkan pak Wisnu, sampaikan selamat ulang tahun dari saya untuk anak Pak Wisnu,” ujar Kaivan.

“Terimakasih, Pak Kaivan ....” Wisnu pergi setelah berkata demikian.

“Teman-teman, saya pulang duluan.” Wisnu mengangkat tangan seiring langkahnya menuju pintu keluar.

“Mas, kok enggak bilang mau jemput? Tau gitu Fira pulang cepet tadi.”

Mata Zhafira mengedar sekeliling mengawasi teman-temannya yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di jam tutup cabang.

Hati Kaivan menghangat mendengar Zhafira yang rela pulang cepat dari pertemuan dengan nasabah hanya demi dirinya.

Kaivan merasa hubungannya dengan Zhafira mengalami kemajuan, sedikit demi sedikit Zhafira mulai menerimanya.

“Mau kasih kejutan untuk kamu,” ungkap Kaivan seraya mengelus pipi Zhafira dan diam-diam para temannya merotasi bola mata.

Mereka amat sangat iri kepada Zhafira yang dicintai seorang nasabah prioritas muda dan tampan.

“Mas, Fira selesaiin kerjaan Fira sebentar ya,” kata Zhafira seraya menurunkan tangan Kaivan.

Zhafira malu, sikap Kaivan tersebut dilihat seluruh teman satu kantornya.

“Meja kamu di mana?” Kaivan bertanya.

“Di sana,” tunjuk Zhafira pada meja di sudut ruangan.

Kaivan mengangguk lalu mengikuti Zhafira ke mejanya.

Bukannya duduk di depan meja Zhafira, Kaivan malah mengambil kursi dan duduk di samping Zhafira membuat Zhafira sedikit bergeser agar teman kantor sekaligus dua sahabatnya—Bella dan Nova tidak berpikir macam-macam.

Tapi bukan Kaivan kalau mau menyerah begitu saja.

Ia menarik kursi Zhafira hingga menempel dengannya tanpa jeda.

“Jangan jauh-jauh ... nanti aku kangen,” kata Kaivan menghasilkan rona merah di pipi Zhafira.

Tolong Tuhan, jantung Zhafira tidak aman, perutnya juga geli seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam sana.

Ia baru ingat rasanya kasmaran setelah lama menjomblo.

Di tatap sedemikian rupa oleh Kaivan tentu saja membuat Zhafira sulit berkonsentrasi, waktu sebentar yang dijanjikan menjadi sedikit molor apalagi mata teman sekantornya terus mengawasi.

Tapi akhirnya Zhafira bisa menyelesaikan pekerjaannya juga di saat beberapa teman kantornya telah pulang lebih dulu.

Tinggal Bella dan Nova di sana yang sengaja ingin melihat interaksi sang nasabah prioritas mereka dengan Zhafira.

“Fira udah selesai, Mas ...,” kata Zhafira.

Kaivan lantas merapihkan meja Zhafira, menyimpan alat tulis ke tempatnya juga kertas-kertas di susun dan disimpan di sudut meja.

Luar biasa, serapih itu Kaivan yang notabene adalah anak seorang Konglomerat.

“Yuk!” Kaivan berdiri lebih dulu dari kursi lantas mengulurkan tangan membantu Zhafira.

Zhafira beranjak berdiri menerima uluran tangan Kaivan dan pria itu langsung menggenggam tangan Zhafira.

“Oh ya, Mas ... kenalin sahabat aku, Bella sama Nova.”

Zhafira sengaja berhenti tepat di depan meja Bella dan Nova yang bersebelahan.

Nova dan Bella tampak salah tingkah apalagi ketika parfum exclusive pria itu memanjakan indera penciuman mereka.

Kalau Zhafira sih udah biasa, bahkan parfum Kaivan seakan menempel di pakainnya setiap kali mereka usai bertemu.

Nova dan Bella mengulurkan tangan sambil menyebut nama mereka dan dibalas oleh Kaivan begitu ramah.

“Kalau di kantor, aku titip pacar aku ya.”

Demi apa donk, Kaivan bilang gitu sama Nova dan Bella.

Sepertinya Kaivan pandai membuat Zhafira, tersanjung, terharu sekaligus tersipu.

“Tenang aja, ada Bella yang siap jagain Fira dua puluh empat jam,” tukas Bella seraya menepuk dadanya.

Zhafira tertawa sumbang kemudian menarik tangan Kaivan agar segera pergi sebelum Bella mulai berceloteh.

“Aku pulang duluan ya Nov ... Bel.”

Kedua sahabat Zhafira melambaikan tangan sambil tersenyum penuh makna kemudian mereka gemas sendiri melihat kebersamaan Kaivan dan Zhafira.

“Mau makan malam dulu?” Kaivan menawarkan.

“Boleh,” sahut Zhafira.

Pria tampan itu mengangguk, memutar kemudi menuju sebuah restoran.

Setibanya di tempat yang dituju, keduanya turun dari mobil.

Kaivan merengkuh pinggang Zhafira yang seketika terkejut hingga refleks mendongak ke arah samping menatap Kaivan yang memandang lurus ke depan dengan santai seolah apa yang dilakukannya adalah sebuah kebiasaan.

Tapi Zhafira tidak begitu, seluruh syarafnya menegang apalagi ketika tangan kokoh Kaivan memberi usapan lembut di bagian lekukan pinggangnya membuat darah Zhafira berdesir.

“Duh, Gusti.” Zhafira membatin.

Keduanya duduk di salah satu meja lalu memesan makanan untuk menu makan malam.

“Fira, apa weekend ini kita bisa ke Surabaya?” Kaivan bertanya setelah pelayan pergi membawa menu makan malam pesanan mereka.

Zhafira mengerjap. “Enggak kecepatan, Mas?”

Ia balas bertanya karena bisa menduga apa yang akan dilakukan Kaivan di Surabaya yaitu mengunjungi papanya untuk meminta restu mengingat pria itu ingin menikah secepatnya.

Kaivan menggelengkan kepala. “Lebih cepat lebih baik, kita bisa lanjutin pacaran setelah nikah.”

Benarkan, Kaivan itu sudah kebelet nikah.

Zhafira tersenyum tipis, dari sekian banyak pria yang mendekatinya hanya Kaivan yang berani langsung mengajaknya untuk berumah tangga.

Apakah ini memang yang ditakdirkan Tuhan?

Jika ya, Zhafira akan menjalaninya karena sesungguhnya ia pun lelah hidup sendiri.

Ia ingin memiliki keluarga seperti papa mamanya yang telah bahagia bersama keluarga masing-masing.

Zhafira ingin memiliki rumah sendiri yang menjadi tempatnya untuk disayangi dan dicintai tanpa syarat.

Hati Zhafira luluh setelah melihat kesungguhan Kaivan.

“Nanti malem aku telepon papa,” cetus Zhafira menghasilkan senyum lebar Kaivan.

“Fira,” panggil Kaivan lembut.

“Ya Mas,” sahut Zhafira tidak kalah lembutnya.

“Kamu percaya aku, kan?”

Beberapa detik Zhafira terdiam hingga akhirnya mengangguk bersama sebuah senyum dan tatapan penuh harap.

“Fira percaya sama Mas Kai, walau ....” Zhafira menjeda kalimatnya ia ragu untuk mengungkapkan.

Kaivan meraih tangan Zhafira yang bertaut di atas meja.

“Walau apa?”

“Fira belum ngerasain cinta, apa Mas Kai udah cinta sama Fira?” Zhafira jujur, ia mengucapkannya dengan pelan penuh kehati-hatian.

“Kamu bisa jatuh cinta sama aku nanti setelah kita menikah ... aku tau ini terlalu cepat tapi aku sudah mencintai kamu semenjak kamu memasuki ruangan kerjaku.”

Waw, Kaivan begitu gegabah dengan apa yang ia ungkapkan.

Karena sungguh sangat tidak mungkin merasakan cinta dengan hanya satu kali pandangan mata.

Tapi Zhafira yang memang awam dengan urusan cinta dan tidak pernah tersakiti atau terkhianati merasa tersanjung dan percaya sepenuhnya dengan apa yang diucapkan Kaivan.

Seperti katanya tadi, Zhafira memutuskan untuk mempercayai Kaivan.

Bila diukur, kebahagiaan yang Zhafira rasakan saat ini kurang dari lima puluh persen karena selebihnya ia sedang menyiapkan mental untuk hidup bersama Kaivan.

Bagi Zhafira, tentu saja Kaivan lebih dari layak menjadi suaminya.

Tampan, anak Konglomerat dan terkenal baik bukan playboy.

Tapi siapa Zhafira?

Ia harus memantaskan diri untuk Kaivan.

Usai makan malam, Kaivan mengantar Zhafira ke kossannya.

Kossan kelas menengah yang berada di depan jalan utama.

Zhafira bekerja untuk dirinya sendiri jadi ia bisa hidup dengan layak dari gajinya.

Kaivan memarkirkan mobilnya di halaman kossan Zhafira agar gadis itu tidak perlu berjalan jauh karena kossan Zhafira cukup besar dan luas.

“Makasih makan malamnya ya Mas, makasih juga udah dianterin sampe kossan,” ucap Zhafira sebelum turun dari mobil.

Kaivan merasa aneh, tidak biasa mendapatkan ucapan terimakasih dari para kekasihnya karena para gadis di masa lalu Kaivan menganggap jika makan malam dan antaran pulang adalah kewajiban bagi Kaivan.

Dan Kaivan merasa dirinya dihargai dengan cara yang luar biasa.

“Iya ... langsung tidur ya, Fir ... besok pagi mau aku jemput?” Kaivan menawarkan diri agar bisa bertemu Zhafira sebelum memulai hari.

“Enggak usah Mas, nanti Mas Kai muter-muter ... kasian, jauh.”

Kepedulian Zhafira itu membuat hati Kaivan seketika menghangat, merasa disayangi gadisnya.

Kaivan meraih tangan Zhafira, mengusap ibu jari di bagian punggungnya.

Ditatapnya sebentar tangan Zhafira sebelum akhirnya ia tarik untuk memberikan kecupan di sana.

Zhafira menahan napas dengan kerjapan mata pelan merasakan bibir tipis Kaivan di kulit punggung tangannya.

“Mimpiin aku ya, Fir ...,” pinta Kaivan setelahnya.

Zhafira tersenyum. “Iya Mas, selamat malam.”

Zhafira membuka pintu kemudian turun dari mobil Kaivan setelah berkata demikian dengan debaran jantung menggila.

Siapa saja, tolong jantung Zhafira.

***

“Kai mau nikah!” cetus Kaivan ketika dalam panggilan video bersama seluruh anggota keluarga yang dilakukan rutin karena keluarga inti Kaivan tersebar di beberapa Negara.

Perusahaan kakeknya berkembang pesat hingga Vietnam, itu kenapa kedua orang tua Kaivan berdomisili di sana sementara Kaila-kakak perempuan Kaivan dan Kejora-adik bungsunya menikahi pengusaha yang memiliki bisnis di Jerman.

Kaivan sendirian di rumah kedua orang tuanya yang di Jakarta karena kedua Kakak laki-lakinya Kama dan Arkana sudah menikah dan memiliki rumah sendiri.

Hanya Kaivan yang belum menikah dan hal itu mendorongnya ingin segera menanggalkan status lajang.

Kembali pada kalimat pengumuman yang dilontarkan Kaivan tadi membuat kakek dan nenek, kedua orang tua hingga adik dan kakak beserta iparnya tercengang kecuali Arkana-sang kakak ketiga.

Mungkin mereka tidak percaya karena Kaivan pernah mengatakan hal ini sebelumnya dan di tengah-tengah kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan—sang calon mempelai pengantin malah pergi membatalkan semua yang telah disepakati bersama.

“Nikah sama siapa, sayang?” Sang bunda bertanya lembut.

“Cewek yang di story kemarin?” celetuk Kejora sang adik bungsu.

“Iya, namanya Zhafira Malaika ... karyawan Bank BUMN, kedua orangtuanya bercerai, papanya di Surabaya dan mamanya di Bandung dengan keluarga baru masing-masing ... Zhafira hidup sendiri di Jakarta ... Selain cantik, Zhafira juga baik menurut penuturan Manager-nya dan Kai juga menilai begitu setelah beberapa kali ketemu ... Kai mau nikah bulan depan sama Fira dan akhir minggu ini Kai mau Ayah sama Bunda temenin Kai ketemu papanya Fira.”

Seluruh anggota keluarganya tampak terkejut.

“Kapan kamu ketemu dia?” Narendra-sang ayah bertanya.

“Minggu kemarin, dia datang ke kantor Kai untuk membacakan Portofolio Keuangan pribadi punya Kai.”

Mendengarnya, Shareena sang Nenek dan Kallandra sang kakek kemudian saling melempar pandang dengan senyum simpul.

Konon, Shareena adalah seorang pegawai Bank yang kemudian diperistri oleh Kallandra—yang dulunya juga nasabah prioritas di Bank tempat beliau bekerja.

Seolah sejarah akan terulang, seluruh anggota keluarga pun tertawa sebagai tanggapan kebahagiaan.

“Apa bulan depan enggak terlalu cepat?” Kama-si kakak pertama yang selalu mengandalkan logika bertanya.

“Lebih cepat lebih baik, biar Fira enggak punya alasan ninggalin Kai kaya Imelda.”

Sorot sendu berpendar di mata Kaivan membuat beberapa orang anggota keluarga terutama sang bunda tiba-tiba merasakan kesedihan yang pernah dialami Kaivan.

“Ulu ... ulu, si Kai pengen bales dendam sama Imelda,” celetuk Arkana yang sesungguhnya lebih rasional karena curiga dengan keputusan Kai yang terburu-buru.

“Kalau kamu hanya ingin menjadikan Zhafira pelarian dan tidak mencintainya dengan sungguh-sungguh ... Kakek tidak akan ijinkan,” pungkas Kallandra sang kepala suku Gunadhya dengan nada tegas.

Sampai kakeknya sendiri pun berpikir jika Kaivan hanya main-main dengan Zhafira.

“Kek! Kaivan serius sama Fira ... Kai cinta sama dia.”

Baru kali ini Kaivan sampai berani menjawab ucapan sang kakek dengan nada tinggi.

“Kamu berani bertanggung jawab dengan kalimat kamu itu, sayang?” Suara lembut sang nenek membuat Kaivan terdiam sebentar.

Kepala Kaivan lalu mengangguk. “Iya Nek, Kai pasti bertanggung jawab dengan ucapan dan keputusan Kai.”

Kaivan mengucapkannya dengan nada tegas dan sorot mata penuh keyakinan

Ia belum pernah merasakan seyakin ini ketika hendak melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan seorang gadis.

Zhafira memiliki paras cantik, gadis itu juga terkenal baik dan ramah, tutur kata yang lembut juga perhatian dan pengertian.

Karakter sederhananya yang membuat Kaivan kagum, itu semua sudah cukup untuk menjadi istri Kaivan.

Di sisi lain, hati kecil anggota keluarga inti Kaivan sesungguhnya ragu karena Kaivan mengganti kriteria gadis yang selama ini pernah menjadi kekasihnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Sulastri
ceritanya bagus gak bertele tele
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status