Anak-anak duduk di sofa panjang, sedang mengerumuni Kezia yang menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku dan Yola duduk bersisian di kursi. "Iya, ntar aku tanyain ke Mas Bima. Bisa sekalian aku angkut juga kan?!" Aku menjawab sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasku.Tidak berapa lama, makanan yang dipesan datang. Pelayan berbaju krem dengan apron hitam datang dan menata makanan dimeja. Fokus anak-anak berpindah pada makanan yang sudah disajikan untuk mereka."Doa dulu," ingatku pada anak-anak. Seperti halnya anak seusia mereka. Mereka berdoa dengan suara nyaring sambil menengadahkan tangan. "Pelan-pelan makannya, awas masih panas."Meskipun mereka sudah paham, tetap saja selalu keluar kalimat khas seorang ibu. Aku mengaduk lemon tea dingin di hadapanku, sambil memperhatikan anak-anak yang mulai menikmati makanannya."Saiy," Yola memanggilku lirih, kakinya menyenggol kakiku. Aku menoleh ke arahnya, dan mengangkat dagu."Papa Luna," bisiknya kemudian.Deg … Jantungku tiba-tiba berdetak
Rutinas yang hampir sama selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan yang padat cukup mengalihkan perhatian dari masalah pribadiku. Beberapa hari lagi adalah sidang pertamaku. Aku ada janji dengan Awan hari ini. Membahas persiapan untuk sidang, Awan menghubungiku untuk dapat bertemu hari ini."Pagi, Bang." Aku menyapa pria berkemeja biru muda yang dilipat sampai siku itu. Kami janjian di sebuah kafe tak jauh dari sekolah anak-anak."Hai, pagi." Awan berdiri menyambutku dengan uluran tangan. Aku membalasnya, dia kemudian menarikkan kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk."Terima kasih," ucapku kemudian. "Nunggu lama?" "Baru juga, kamu udah sarapan belum?" tanyanya kemudian, tangannya diangkat ke atas memanggil pelayan kafe."Sudah, Bang. Hana minum saja," jawabku kemudian.Segelas lemon tea hangat aku pesan. Awan memesan segelas kopi. Setelah mencatat pesanan pelayan berseragam hitam itu beranjak meninggalkan meja."Gimana sudah dibawa semua bukti-buktinya?" tanya Awan kemudian.Aku me
"Iya, sepanjang aku membantu klien mengurus perceraian. Memang anak adalah hal yang menjadi alasan utama mereka untuk bertahan," cerita Awan lagi."Anak adalah sumber kekuatan. Tapi, bisa juga menjadi hal yang melemahkan." Aku menyadari sepenuhnya hal itu."Kamu benar, pengalamannya seperti itu." Awan menimpali."Tapi, jangan karena kebanyakan ngurus orang cerai. Abang jadi takut nikah, banyak kok yang bahagia sampai maut memisahkan," ucapku. Mencoba tak terlarut dengan perasaanku sendiri. "Nggaklah hahaha, memang belum ketemu yang klik aja. Kalau dah dapet yang klik pasti langsung abang halalin." Awan tertawa mendengarku."Hana doain, segera ketemu jodohnya. Langgeng sampai Jannah" ucapku kemudian."Amin." Awan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.Obrolan ringan mewarnai pertemuanku dengan Awan. Tak terasa sudah jam sembilan lewat. Aku mengingatkan Awan kembali, karena dia bilang ada janji dengan klien tadi."Ya sudah, ini semua aku bawa ya," ucap Awan memasukkan foto-foto M
"Bund, makan steak aja." Belum aku merespon kalimat Mas Bima, anak-anak sudah selesai dengan rapatnya. Luna si cerewet yang bicara."Di Dapur Queen aja ya, kan banyak pilihan selain steak." Aku menawarkan sebuah kafe tempat biasa aku dan Yola beserta anak-anak yang sering didatangi."Eh, kok jadi Hana yang mutusin. Kan Mas Bima yang nawarin tadi." Kebiasaan memang, aku yang sering mengambil keputusan."Sama aja, yang penting anak-anak senang." Mas Bima tersenyum kearahku. "Dan, kamu juga.""Hana selalu bahagia, melihat tawa anak-anak. Mereka happy, Hana lebih happy lagi," ucapku kemudian."Mas kenapa lihatin Hananya sampai gitu? awas numbur loh." Aku menyenggol lengan Mas Bima, dari tadi dia melihat ke arahku, tak melihat jalan.Mas Bima terlihat kaget, kemudian menggelengkan kepala. Wajahnya tampak bersemu, sebuah senyum terkulum di bibirnya. Akhirnya kami sampai di parkiran, aku memberikan kunci mobilku padanya. Mas Bima membukakan pintu untuk anak-anak kemudian kembali menutupnya.
"Jangan lari," seruku ke anak-anak. Tapi tetap saja mereka berlarian.Baru saja anak-anak duduk, makanan yang kami pesan sudah diantar oleh pelayan. "Jangan lupa berdoa, makannya pelan-pelan," ucapku saat semua sudah bersiap dengan makanannya. Setelah berdoa semua sudah fokus pada makanannya sendiri-sendiri."Terima kasih ya, atas bantuannya." Entah ucapan terima kasih yang keberapa, yang Mas Bima ucapkan. Kami baru saja sampai di rumah."Sama-sama, Mas," jawabku kemudian. "Ya udah, Hana masuk dulu ya, Mas." "Oh, Iya. Makasih ya.""Iyah … hehehe," jawabku smbil tertawa kecil. Aku beranjak sambil mengandeng Al dan Luna untuk masuk ke dalam."Cuci kaki, tangan tidur siang yah," ucapku pada Abang Al dan Luna. Keduanya langsung bergegas masuk kedalam kamarnya. Aku menghempas pelan diri di sofa ruang tivi. Sejenak menyandarkan tubuh lelahku, hatiku juga. Mencoba terlihat kuat dan terlihat semua baik-baik saja itu sangat berat. Tapi, aku harus tetap waras untuk anak-anakku. 'Drttt'Seper
Kondisi Amak semakin menurun, setelah hampir semua berkumpul baru Amak mau dipaksa, untuk dibawa ke rumah sakit. Sebuah Ambulan telah dipanggil oleh Mas Akbar suami dari Mbak Yanti. Tinggal Mbak Cahya yang belum datang, kakak perempuanku itu masih dalam perjalanan. Serta Mas Ifan anak bude, masih ada pekerjaan di Makassar."Satu mobil aja, anak-anak biar dirumah. Yang kecil-kecil nggak rewel kan?" Mbak Yanti anak tertua Bude memberi arahan. Al dan Luna terkecil di keluarga ini."Minta tolong Firda jagain ya, Mbak?!" Mendengar permintaanku, Firda mengangguk.Kami berangkat dengan dua mobil, mobil milik Mbak Yanti dan juga milik Mbak Mirna. Aku dan Mas Andrian menumpang di mobil Mbak Mirna bersama Mama dan Bude.Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, aku duduk bersisian dengan Mas Andrian di kursi paling belakang. Harus mengabaikan rasaku, meski sangat sakit sekali rasanya hatiku.Sesampainya di rumah sakit Amak langsung masuk ke ICU karena kondisinya yang tambah menurun. Rasa cema
"Apa yang nggak mungkin, kalian sudah biasa melakukannya bukan?! Mas tau yang Mas lakukan itu bukan khilaf. Mas melakukannya dengan sadar, bahkan Mas mau bunuh aku perlahan dengan obat tidur itu juga penuh kesadaran. Khilaf tak mungkin berulang dan selama itu." Mas Andrian terdiam tak mengatakan apapun hanya isaknya yang mulai terdengar. Pelukannya belum dia lepaskan, bahkan sekarang seolah menumpu padaku. Mengapa jadi seperti ini, aku juga tak ingin seperti ini. Tapi, semua yang dia lakukan itu fatal. Hatiku sebagai seorang wanita yang mencintainya mungkin bisa menerima dia kembali, meski sakit terasa. Tapi, kewarasanku sebagai seorang manusia menolaknya. Tak ada jaminan di tak mengulanginya suatu saat."Hana, mas mohon maafkan mas." Kembali untuk kesekian kalinya hanya ucapan itu yang terdengar. "Mas nggak mau pisah sama kamu, sama anak-anak.""Tapi, mas sendiri yang membuatnya jadi seperti ini. Hana bisa mengurus anak-anak, Mas urus saja Raya dan calon bayi kalian." Sesak sekali sa
Aku terdiam, sejauh mana aku bisa terus menutupinya dan sampai kapan. Tapi, dengan kondisi Amak seperti sekarang apa masalah yang sedang aku hadapi tidak menambah berat pikiran Mama? Ini masalah besar.Tapi, tidak mungkin juga aku akan dapat terus menutupi semua ini. Cepat atau lambat hal ini harus diungkap. "Kalian ada masalah?" tanya Mbak Cahya padaku."Masalah biasa, Mbak," jawabku pelan."Kalau kamu tak mau cerita, biar mama tanya Andrian saja." Mama masih terus mendesak. Aku ingin sekali bercerita, tapi, aku benar-benar takut ini akan mempengaruhi kesehatan Mama."Setiap orang tua, pasti akan merasakan perasaan tidak nyaman saat anaknya sedang ada masalah, dan itu yang mama rasakan sekarang." Aku masih terdiam, tak tau harus memulai dari mana."Mas Andrian … dia … dia memiliki wanita lain." Akhirnya keluar juga apa yang sebenarnya ingin aku tutupi untuk sementara."Jangan mengada-ada, Andrian sangat mencintaimu dan anak-anakmu." Mama menggeleng tak percaya."Hana bukan hanya men