Butuh waktu lama untuk bisa menenangkan kepanikan Haris. Brisya bahkan hampir terlelap sambil memeluk Haris sebelum kemudian ketukan di pintu mengagetkannya. Brisya menolehi jam di atas tivi, jam 8 malam. Brisya mengurai pelukannya dan membiarkan Haris tertidur setelah memasang selimutnya. Brisya lantas beranjak membuka pintu, seorang waitres mengantar makan malam. Usai menata makanan di meja dan menyalakan perapian agar kamar menjadi hangat, waitres itu pamit dan meminta Brisya untuk menghubungi resepsionis bila makan malamnya sudah selesai, agar bisa dibereskan lagi. Perlahan Brisya menghampiri tempat tidur, Haris sepertinya terbangun gara-gara suara berisik dentingan piring yang tadi ditata oleh waitres. Saat Brisya naik ke atas tempat tidur, Haris membuka matanya lemas. Matanya bengkak, Brisya sedih melihat Haris kacau seperti itu. "Makan, yuk!" tawar Brisya sambil menyibak selimut Haris. "Kamu aja makan dulu, aku nggak laper," sahut Haris lirih, ia memejamkan matanya lagi. "
Usai 'pertempuran' itu, Haris dan Brisya terlelap hingga melewatkan waktu sarapan. Mereka berdua terbangun jam 11 siang. Pada akhirnya Haris meneruskan biaya hotel karena tidak mungkin mereka cek out dan berbenah hanya dalam waktu 1 jam. Saat Brisya mandi, Haris menyelinap masuk. Ia 'melakukan'nya lagi di sana. Di bawah shower dengan kucuran air hangat. Sedikit lebih lama dan panas. Dan kembali Haris mengeluarkan lendirnya di dalam 'milik' Brisya yang sempit dan basah, Haris lebih suka mengeluarkannya di dalam lubang penuh kenikmatan itu. Pada akhirnya mereka meneruskan mandi berdua. Haris tidak bisa menahan ledakan hormon testosteronenya setiap kali melihat Brisya. Ia tergila-gila pada setiap inci tubuhnya.Usai mandi, Haris menggandeng Brisya untuk sarapan di restoran. Meski sudah terlambat namun setidaknya mereka berdua harus mengisi energi setelah 'berperang' semalaman. "Rasanya aku gak pengin pulang," desis Brisya sambil menikmati sarapannya. Haris mengawasi Brisya sambil mengu
Haris menutup pintu kamar dengan keras. Ia merasa kesal sekali. Brisya sama sekali tak memahami phobianya. Bagaimana mungkin dia sengaja mengajak Haris bermain hujan? Apa Brisya ingin dia mati ketakutan?? Ragu Haris mengintip Brisya dari balik tirai, gadis itu masih duduk dengan tenang di bangku tadi. Haris mendengus jengkel. Suara rintik hujan mulai terdengar di atap kamar, Haris buru-buru meraih remote tivi, menyalakannya lalu memperbesar volume hingga batas maksimal seperti biasa. Dengan kesal Haris mengintip Brisya lagi, ia khawatir namun tidak berani berbuat banyak. Brisya masih duduk tenang sambil mendongak menikmati gerimis yang semakin lama semakin deras. Haris menutup tirai itu cepat. Ia mendengus kesal. Ingin rasanya Haris bersembunyi di balik selimut tapi ia masih mengkhawatirkan Brisya yang sendirian di luar. Haris berjalan mondar-mandir berusaha menutupi paniknya. Hujan di luar semakin deras, langit yang tadinya cerah tiba-tiba menjadi gelap seperti sore hari. Haris
Sejak hari di mana Brisya pergi untuk keperluan dinas bersama Haris dan teman sekantornya, Aji sudah merasa tak enak hati. Ia bahkan tak bisa tidur dan makan dengan tenang. Begitu cintanya Aji pada Brisya hingga saat gadis itu jauh dari jangkauan, rasanya ia seperti kehilangan separuh nyawanya. Ia tidak pernah dekat dan ingin dekat dengan gadis manapun selain Brisya. Brisya adalah obsesinya, tujuan hidupnya. Hanya Brisya yang bisa membuat Aji menjadi dirinya sendiri. Saat ponsel Brisya tiba-tiba mati dan tidak bisa dihubungi, Aji menjadi frustasi. Ia semakin marah dan berpikiran buruk. Meski di satu sisi dia mengkhawatirkan keadaan Brisya namun rasa cemburu lebih menguasai pikirannya. Aji mencari tahu keberadaan Brisya kepada Bu Shila namun nihil, Bu Shila sendiri tak tahu ke kota mana Brisya survey lokasi bersama Haris. Aji menjadi semakin frustasi. Ia mengunjungi kantor Haris keesokan harinya dan beruntung ia bertemu dengan salah satu karyawan bernama Vico. Dari Vico lah Aji me
Bila ada kata untuk mendeskripsikan perasaan yang lebih buruk dari kata hancur lebur, mungkin kata itu adalah perasaan yang Brisya rasakan saat ini. Ia lebih dari sekedar hancur, ia lebih dari sekedar terpuruk, bahkan mungkin mati tidak cukup untuk membuatnya merasa lebih baik. Sejak melihat Haris di tendang, dipukul, didorong dan ditampar, sejak itu lah Brisya merasakan kehancuran. Air matanya seolah tak pernah mengering. Terlebih Aji sudah memperlakukan dia layaknya pelacur. Ia tidak pernah berpikir semua akan menjadi seburuk ini. Disekap dan diperlakukan layaknya budak nafsu. Entah berapa lama Brisya tertidur, ia membuka mata saat terik matahari di luar jendela membuat seisi kamar Aji menjadi terang benderang. Ia beranjak duduk dengan bertopang pada tangannya, perut bagian bawahnya masih terasa sakit. 'Milik'nya terasa sangat perih setiap kali Brisya bergerak. Brisya memperhatikan baju dan celananya yang berserakan di lantai. Tidak ada lagi yang bisa ia pakai. Hampir semuanya ro
Masih di hotel, Haris tak sadarkan diri hingga keesokan hari. Frans dan Vico menyusul ke sana dengan mengendarai mobil calteran setelah Vico menyadari bahwa ia membuat kesalahan dengan terlalu jujur pada Aji. Wajah Haris lebam dan bengkak. Hampir tak nampak lagi ketampanannya. Saat Haris sadar dari pingsannya yang ia tanyakan pertama kali adalah Brisya. Namun tak seorang pun tahu di mana dia. Frans dan Vico datang saat Haris sudah di gotong ke kamar oleh staf hotel. Brisya sudah tidak ada di sana. Sedari tadi Frans dan Vico membantu Haris beberes pakaiannya dan pakaian Brisya. Mereka akan cek out hari ini. Haris tidak sabar untuk segera pulang dan bertemu dengan Brisya. Ia begitu khawatir pda keadaannya setelah melihat Aji yang seperti kesetanan kemarin. "Pak Haris gak makan dulu? biar gak tambah drop, Pak," saran Frans khawatir.Pandangan Haris kosong, batinnya berkecamuk. Untuk saat ini ia lebih mengkhawatirkan Brisya dari pada kesehatan dirinya sendiri. "Pak!" Frans sudah berdi
Sekujur tubuh Brisya terasa dingin dan sakit. Ia membuka mata saat hari sudah petang. Perut bagian bawahnya masih terasa perih dan nyeri. Ia ingat tadi siang masih sempat mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket oleh air hujan, keringat dan air mata, tapi kenapa sekarang ia berada di tempat tidur ini? Apa Aji yang menolongnya??"Sudah bangun, Briy?" sebuah suara yang amat Brisya benci mengagetkannya. Aji sudah berdiri di pintu sambil membawa sebuah nampan berisi makanan. Ia sengaja memerintahkan chef di restorannya untuk datang dan memasakkan makanan untuk Brisya. Brisya tak bergeming. Ia merapatkan selimutnya. Brisya baru menyadari bahwa ia sudah mengenakan baju tidur. Siapa yang memakaikan pakaian ini di tubuhnya? Aji kah?? Aji berjalan mendekat ke tempat tidur Brisya, hatinya sakit melihat Brisya yang tergolek lemah tak berdaya. Ingin rasanya Aji mengutuk dirinya sendiri atas perbuatannya pada Brisya kemarin. Saat melihat Brisya menatap kosong ke langit-langit kamar, hati
Haris menyesap alkoholnya sampai habis. Ia belum juga mabuk meski sebotol telah ia minum. Ia kembali sendirian di kamarnya yang temaram. Di luar hujan dan petir bersahutan. Haris sedikit merasa takut namun tak separah dulu. Ia melempar botol terakhirnya ke tempat sampah. Ia kehabisan stok minuman. Sesekali Haris memeriksa ponselnya yang sedari tadi ia genggam. Entah apa yang ia tunggu, ia hanya ingin tahu keadaan Brisya. Ia mengkhawatirkan gadis itu. Entah dimana Brisya sekarang, sudah seminggu ini Haris mencarinya ke mana-mana. Haris benar-benar kehilangan jejak. Separuh jiwanya terasa hilang sejak Brisya pergi. Ia tak tau harus mencari ke mana lagi. Bahkan Bu Shila dan Bu Rahmi tidak tahu dimana Aji tinggal selama ini karena Brisya tak pernah bercerita tentang keluarga Aji. Terakhir kali Brisya hanya cerita tentang orang tua Aji yang sangat welcome padanya, dan itu membuat Haris merasa sedih. Haris merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia rindu wangi tubuh Brisya, ia rindu sentuha