Brisya menghentikan tangisnya saat ia mendengar suara sesuatu pecah di luar kamarnya. Aji berulah lagi. Entah sudah ke berapa kali ia mendengar barang pecah atau dilempar oleh Aji. Brisya mulai terbiasa dengan suara-suara itu. Ia merapatkan selimutnya lebih erat demi untuk berjaga-jaga apabila Aji tiba-tiba masuk ke dalam kamar. "Aaarrrgggh!!"Brisya bergidik, suara teriakan Aji terdengar hingga ke dalam kamar. Brisya menatap pintu dengan siaga, Aji bisa melakukan apapun yang ia mau dan Brisya semakin ketakutan dengan fakta itu. Sejak Aji memperkosanya malam itu, Brisya menjadi takut dan jijik melihat wajah Aji. Ia seperti tak mengenali sosok laki-laki yang sudah bersamanya sejak ia masih belia. Meski sifat kasarnya selalu membuat Brisya ketakutan tapi kali ini berbeda, Aji seperti kesetanan. "Aaargghhh."Teriakan kali ini terdengar lebih pilu, Brisya yakin Aji pasti sedang menangis di luar.Entah mengantuk atau lelah, Brisya kemudian tertidur lagi. Ia merasa tenang dan damai saat
Sejak bertemu Aji saat mereka masih SMP dulu, Aji lah satu satunya teman yang Brisya miliki. Aji yang tampan, pendiam dan cupu sempat dikucilkan oleh teman-temannya. Brisya yang introvert akhirnya menjadi satu-satunya orang yang akrab dengannya. Seiring berjalan waktu, mereka berdua semakin dekat hingga tak terpisahkan hingga hari ini. Saat SMA, Aji yang memang ganteng sejak lahir menjadi idola para gadis di sekolahnya. Ia mulai berevolusi dari Aji yang cupu dengan kacamata super tebal menjadi Aji yang di puja-puja. Tapi tak sekalipun Aji tertarik untuk berkencan dengan gadis-gadis itu. Sebenarnya sejak saat itu Brisya curiga bila Aji menyukainya, namun melihat keadaan dirinya yang tak secantik gadis-gadis populer di SMA membuat Brisya kembali ragu. Aji mengikuti ke mana pun Brisya pergi, bahkan kegiatan ekstrakulikuler Aji pun atas pilihan Brisya, bukan karena minat Aji pada ekstrakulikuler tersebut. Aji menjadi tempat bercerita bagi Brisya saat itu, satu-satunya orang yang ia mili
Brisya terbangun dari tidurnya saat bel di apartemen Aji berbunyi berkali-kali, ia beranjak turun dan keluar dari kamar. Ke mana Aji?? Mengapa tidak ada yang membukakan pintu?Brisya mengawasi jam di atas pintu, jam 7 malam. Ragu Brisya melongok siapa yang datang melalui layar kecil di dinding. Itu mamanya Aji!!Brisya mundur beberapa langkah. Bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan?? Brisya berbalik dan mencari Aji. Ia berlari ke living room dan menemukan Aji tidur meringkuk di kursi sofa. Tubuhnya gemetar dan menggigil. Brisya mendekat ragu, apa ini cuma akal-akalan Aji agar ia iba padanya?? Saat melihat mata Aji terpejam rapat dan giginya bergemertak seperti kedinginan, Brisya menyentuh keningnya, panas. Aji demam. Brisya lekas berlari ke kamar lagi dan mengambil selimut lalu memasangkannya di tubuh Aji. Tingtong tingtong...Brisya mengawasi pintu depan dengan kalut, ia butuh bantuan tapi ia bingung mencari alasan yang tepat bila nanti mama Aji bertanya macam-macam padanya. A
Esok paginya, Brisya terburu-buru bangun dari tempat tidur. Ia lekas beranjak untuk mengecek keadaan Aji. Aji masih tidur meringkuk di sofa, Brisya mendekat dan menyentuh keningnya perlahan. Suhu tubuh Aji kembali tinggi. Dengan lemah Aji membuka mata saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Brisya sudah berdiri di sampingnya dengan wajah cemas. Aji menarik tangan Brisya dan menggenggamnya erat. "I'm oke," desis Aji menahan sakit di tangannya, ia berusaha tersenyum. Brisya menarik nafasnya khawatir."Kemarin Mamamu dan Dokter Jessica ke sini, Dokter berpesan kalo kamu masih demam kamu harus dibawa ke Rumah Sakit.""Aku gapapa, Briy, aku gak sakit.""Gak sakit gimana, badan kamu panas lagi!" rutuk Brisya kesal.Aji mencoba untuk beranjak duduk dengan bertopang pada tangan kirinya. Ia mengawasi Brisya yang khawatir dengan keadaannya dengan perasaan campur aduk. "Setelah minum obat aku pasti sembuh, kok. Aku cuma masuk angin—""Bukan, luka di tanganmu infeksi, kamu bu
Hangat, sunyi, hanya suara ketukan intens yang terdengar oleh telinganya. Aji membuka mata perlahan, sebuah sinar sontak membuat silau kedua matanya hingga ia reflek kembali memejamkan mata . Ia tidak sedang berada di rumahnya, tempat tidur yang sekarang ia tiduri bukan sofanya. Aji terkesiap, ia menguatkan diri untuk membuka matanya dan mencari sosok Brisya. Seketika pening menghantam kepalanya namun Aji tetap memaksakan diri mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sepi. Aji sedang berada di Rumah Sakit. Ia hafal interior kamar ini karena kamar President Suite selalu menjadi kamar langganan keluarganya sejak dulu. Siapapun yang sakit pasti akan di tempatkan di kamar mewah berfasilitas super lengkap ini. "Briy," panggil Aji tercekat, tenggorokannya kering. Aji beringsut hendak beranjak duduk, namun badannya lemas tak bertenaga. Brisya tak ada di dalam kamar. Apa dia kabur?? Aji mendesah kesal, ia akan kehilangan Brisya untuk selamanya bila sampai gadis itu kabur kali ini. "
Selama hampir seminggu Aji dirawat di Rumah sakit, Brisya tak sekalipun meninggalkannya. Zunita membawakan baju-baju baru untuk Brisya selama ia menemani Aji. Luka infeksinya sudah membaik, namun Aji masih tidak dapat menggerakkan jari-jarinya. Dokter memprediksi beberapa sarafnya nyaris terputus akibat luka sayatan itu, keadaan Aji masih harus di observasi lagi. William -Papa Aji-, meminta Aji untuk berobat dan terapi ke Singapura. Di sana fasilitas lebih lengkap dan dokternya pun sebagian besar adalah sahabat Papanya. "Gimana menurutmu tentang berobat ke Singapura??" tanya Aji memecah suasana saat Brisya sedang asyik menonton sinetron. Brisya menolehi Aji dan mengangkat kedua bahunya pasrah. "Kamu mau nemenin aku kan, Briy?" tanya Aji lagi setengah memohon.Brisya menarik nafasnya berat, bagaimana dengan Haris bila Brisya menemani Aji?? "Kamu janji mau menemaniku sampai aku sembuh, kan!" lanjut Aji ragu.Brisya menatap Aji lagi. "Baiklah," sahut Brisya lirih.Aji tersenyum lega
Keesokan harinya.Brisya menemani Aji ke Rumah Sakit untuk terapi pagi-pagi sekali. Mereka harus tiba sebelum jam 8 agar bisa berkonsultasi lebih dulu dengan dokter yang sudah di booking oleh William-Papa Aji-. Tepat jam 8, Aji sudah dipanggil untuk menemui Dokter Steven, Neurologis terbaik di Rumah sakit ini. "Yuk, Briy." "Aku tunggu di sini aja!" tolak Brisya sungkan.Aji berbalik dan kembali ke tempat duduknya lalu menarik Brisya untuk ikut masuk. Brisya menghembuskan nafasnya gugup. Di dalam ruangan.Dokter Steven yang merupakan sahabat Papa Aji menyambutnya dengan hangat, malah sempat mengobrol dan bernostalgia tentang masa kecil Aji dulu. Dulu William sempat kuliah kedokteran di Singapura, namun di tahun kedua ia berhenti karena kepincut dengan Sofia yang merupakan siswi pertukaran antar negara. Akhirnya mereka menikah di usia muda dan membuka bisnis restoran yang kini memiliki banyak cabang di tiap kota besar. "Ceritakan padaku bagaimana tanganmu bisa cidera separah ini?
Sudah hampir tiga hari ini Aji dan Brisya perang dingin tak saling berbicara satu sama lain. Namun begitu Brisya masih setia menemani Aji untuk berangkat terapi ke Rumah Sakit. Mereka berdua berangkat pagi dan pulang di siang hari. Setiap hari Aji di terapi selama 2 jam lamanya dan sejak kemarin terapi yang Aji jalani semakin membuat energinya terkuras habis. Jari telunjuk, jari tengah dan jari kelingkingnya yang tidak dapat bergerak dengan maksimal di latih untuk melakukan kegiatan yang ringan namun terasa amat sangat berat saat dilakukan dalam keadaan cidera. Meski hanya gerakan menggenggam, menunjuk dan memegang sesuatu namun Aji tidak juga berhasil melakukannya. Sungguh penyesalan Aji atas insiden memecahkan cermin itu semakin menjadi-jadi. Di hari ke tiga pun ia masih fokus untuk menggengam sebuah bola kecil. Jangankan bola kecil, bola basket dulu bisa dengan lihai Aji pegang hanya dengan menggunakan 1 tangan. Tapi sekarang menggenggam bola seukuran bola kasti sudah membuat ke