Brisya terbangun dari tidurnya saat bel di apartemen Aji berbunyi berkali-kali, ia beranjak turun dan keluar dari kamar. Ke mana Aji?? Mengapa tidak ada yang membukakan pintu?Brisya mengawasi jam di atas pintu, jam 7 malam. Ragu Brisya melongok siapa yang datang melalui layar kecil di dinding. Itu mamanya Aji!!Brisya mundur beberapa langkah. Bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan?? Brisya berbalik dan mencari Aji. Ia berlari ke living room dan menemukan Aji tidur meringkuk di kursi sofa. Tubuhnya gemetar dan menggigil. Brisya mendekat ragu, apa ini cuma akal-akalan Aji agar ia iba padanya?? Saat melihat mata Aji terpejam rapat dan giginya bergemertak seperti kedinginan, Brisya menyentuh keningnya, panas. Aji demam. Brisya lekas berlari ke kamar lagi dan mengambil selimut lalu memasangkannya di tubuh Aji. Tingtong tingtong...Brisya mengawasi pintu depan dengan kalut, ia butuh bantuan tapi ia bingung mencari alasan yang tepat bila nanti mama Aji bertanya macam-macam padanya. A
Esok paginya, Brisya terburu-buru bangun dari tempat tidur. Ia lekas beranjak untuk mengecek keadaan Aji. Aji masih tidur meringkuk di sofa, Brisya mendekat dan menyentuh keningnya perlahan. Suhu tubuh Aji kembali tinggi. Dengan lemah Aji membuka mata saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Brisya sudah berdiri di sampingnya dengan wajah cemas. Aji menarik tangan Brisya dan menggenggamnya erat. "I'm oke," desis Aji menahan sakit di tangannya, ia berusaha tersenyum. Brisya menarik nafasnya khawatir."Kemarin Mamamu dan Dokter Jessica ke sini, Dokter berpesan kalo kamu masih demam kamu harus dibawa ke Rumah Sakit.""Aku gapapa, Briy, aku gak sakit.""Gak sakit gimana, badan kamu panas lagi!" rutuk Brisya kesal.Aji mencoba untuk beranjak duduk dengan bertopang pada tangan kirinya. Ia mengawasi Brisya yang khawatir dengan keadaannya dengan perasaan campur aduk. "Setelah minum obat aku pasti sembuh, kok. Aku cuma masuk angin—""Bukan, luka di tanganmu infeksi, kamu bu
Hangat, sunyi, hanya suara ketukan intens yang terdengar oleh telinganya. Aji membuka mata perlahan, sebuah sinar sontak membuat silau kedua matanya hingga ia reflek kembali memejamkan mata . Ia tidak sedang berada di rumahnya, tempat tidur yang sekarang ia tiduri bukan sofanya. Aji terkesiap, ia menguatkan diri untuk membuka matanya dan mencari sosok Brisya. Seketika pening menghantam kepalanya namun Aji tetap memaksakan diri mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sepi. Aji sedang berada di Rumah Sakit. Ia hafal interior kamar ini karena kamar President Suite selalu menjadi kamar langganan keluarganya sejak dulu. Siapapun yang sakit pasti akan di tempatkan di kamar mewah berfasilitas super lengkap ini. "Briy," panggil Aji tercekat, tenggorokannya kering. Aji beringsut hendak beranjak duduk, namun badannya lemas tak bertenaga. Brisya tak ada di dalam kamar. Apa dia kabur?? Aji mendesah kesal, ia akan kehilangan Brisya untuk selamanya bila sampai gadis itu kabur kali ini. "
Selama hampir seminggu Aji dirawat di Rumah sakit, Brisya tak sekalipun meninggalkannya. Zunita membawakan baju-baju baru untuk Brisya selama ia menemani Aji. Luka infeksinya sudah membaik, namun Aji masih tidak dapat menggerakkan jari-jarinya. Dokter memprediksi beberapa sarafnya nyaris terputus akibat luka sayatan itu, keadaan Aji masih harus di observasi lagi. William -Papa Aji-, meminta Aji untuk berobat dan terapi ke Singapura. Di sana fasilitas lebih lengkap dan dokternya pun sebagian besar adalah sahabat Papanya. "Gimana menurutmu tentang berobat ke Singapura??" tanya Aji memecah suasana saat Brisya sedang asyik menonton sinetron. Brisya menolehi Aji dan mengangkat kedua bahunya pasrah. "Kamu mau nemenin aku kan, Briy?" tanya Aji lagi setengah memohon.Brisya menarik nafasnya berat, bagaimana dengan Haris bila Brisya menemani Aji?? "Kamu janji mau menemaniku sampai aku sembuh, kan!" lanjut Aji ragu.Brisya menatap Aji lagi. "Baiklah," sahut Brisya lirih.Aji tersenyum lega
Keesokan harinya.Brisya menemani Aji ke Rumah Sakit untuk terapi pagi-pagi sekali. Mereka harus tiba sebelum jam 8 agar bisa berkonsultasi lebih dulu dengan dokter yang sudah di booking oleh William-Papa Aji-. Tepat jam 8, Aji sudah dipanggil untuk menemui Dokter Steven, Neurologis terbaik di Rumah sakit ini. "Yuk, Briy." "Aku tunggu di sini aja!" tolak Brisya sungkan.Aji berbalik dan kembali ke tempat duduknya lalu menarik Brisya untuk ikut masuk. Brisya menghembuskan nafasnya gugup. Di dalam ruangan.Dokter Steven yang merupakan sahabat Papa Aji menyambutnya dengan hangat, malah sempat mengobrol dan bernostalgia tentang masa kecil Aji dulu. Dulu William sempat kuliah kedokteran di Singapura, namun di tahun kedua ia berhenti karena kepincut dengan Sofia yang merupakan siswi pertukaran antar negara. Akhirnya mereka menikah di usia muda dan membuka bisnis restoran yang kini memiliki banyak cabang di tiap kota besar. "Ceritakan padaku bagaimana tanganmu bisa cidera separah ini?
Sudah hampir tiga hari ini Aji dan Brisya perang dingin tak saling berbicara satu sama lain. Namun begitu Brisya masih setia menemani Aji untuk berangkat terapi ke Rumah Sakit. Mereka berdua berangkat pagi dan pulang di siang hari. Setiap hari Aji di terapi selama 2 jam lamanya dan sejak kemarin terapi yang Aji jalani semakin membuat energinya terkuras habis. Jari telunjuk, jari tengah dan jari kelingkingnya yang tidak dapat bergerak dengan maksimal di latih untuk melakukan kegiatan yang ringan namun terasa amat sangat berat saat dilakukan dalam keadaan cidera. Meski hanya gerakan menggenggam, menunjuk dan memegang sesuatu namun Aji tidak juga berhasil melakukannya. Sungguh penyesalan Aji atas insiden memecahkan cermin itu semakin menjadi-jadi. Di hari ke tiga pun ia masih fokus untuk menggengam sebuah bola kecil. Jangankan bola kecil, bola basket dulu bisa dengan lihai Aji pegang hanya dengan menggunakan 1 tangan. Tapi sekarang menggenggam bola seukuran bola kasti sudah membuat ke
Seminggu lagi hari besar bagi Haris akan berlangsung. Ia tidak sekalipun terlibat dalam persiapan acara pernikahannya. Semuanya di urus oleh Vega di kota. Haris lebih memilih tetap berada di ruko dan menyelesaikan pekerjaannya bersama Frans dan Vico. Sedari awal memang ia tidak berharap pernikahan ini akan terjadi. Haris bahkan masih meragukan kehamilan Vega. Setiap hari Haris berusaha untuk tetap sibuk agar ia bisa melupakan Brisya. Mungkin kepergian Brisya lebih baik baginya karena bila sampai Brisya tahu Haris akan menikah dengan Vega entah apa yang akan terjadi. Walau bagaimanapun Haris harus bertanggung jawab bukan? Paling tidak sampai bayi itu lahir.Setelahnya nanti ia akan menceraikan Vega dan kembali pada Brisya. Ponsel Haris berdering, ia membuka kacamatanya dan meraih ponselnya malas.Vega is calling.."Hallo.""Honey, kapan kamu pulang? Kamu harus fiting jas secepatnya.""Gak perlu, aku kan sudah kasih contoh jasku ke kamu, buat apa masih fiting segala!""Desainernya ing
"One more, please!" pinta Aji pada bartender pub yang ia datangi. "No more, thanks!!" seru seorang wanita tiba-tiba.Aji menolehi asal suara yang ia kenal dengan baik, Zunita. "Ngapain kamu di sini?" sungut Aji kesal.Zunita duduk di samping Aji dan menjauhkan gelas-gelas yang berjajar di hadapannya. "Buat ngawasin kamu, lah! Mami nyuruh aku nyusul buat cek keadaan kalian selama di sini." "Hah, liar!" rutuk Aji cepat, sepertinya ia mulai mabuk, kepalanya pening. Ia mulai kehilangan kontrol atas ucapannya.Zunita mengawasi Aji iba, entah apa yang Aji rasakan sekarang. "Ayo kembali ke hotel, Brisya pasti mencarimu.""Nggak, Zun. Dia bahkan nggak akan peduli aku masih hidup atau mati. Bahkan mungkin lebih baik mati aja sekalian.""Kalian berantem??" tanya Zunita heran, setahu dia selama ini Aji dan Brisya selalu baik-baik saja. Aji tak menyahut, ia mengawasi gelas-gelas di hadapannya dan menghitungnya satu persatu, ada 5 gelas bigsize, berarti dia sudah menghabiskan 5 gelas bir. "