Keesokan harinya.Brisya menemani Aji ke Rumah Sakit untuk terapi pagi-pagi sekali. Mereka harus tiba sebelum jam 8 agar bisa berkonsultasi lebih dulu dengan dokter yang sudah di booking oleh William-Papa Aji-. Tepat jam 8, Aji sudah dipanggil untuk menemui Dokter Steven, Neurologis terbaik di Rumah sakit ini. "Yuk, Briy." "Aku tunggu di sini aja!" tolak Brisya sungkan.Aji berbalik dan kembali ke tempat duduknya lalu menarik Brisya untuk ikut masuk. Brisya menghembuskan nafasnya gugup. Di dalam ruangan.Dokter Steven yang merupakan sahabat Papa Aji menyambutnya dengan hangat, malah sempat mengobrol dan bernostalgia tentang masa kecil Aji dulu. Dulu William sempat kuliah kedokteran di Singapura, namun di tahun kedua ia berhenti karena kepincut dengan Sofia yang merupakan siswi pertukaran antar negara. Akhirnya mereka menikah di usia muda dan membuka bisnis restoran yang kini memiliki banyak cabang di tiap kota besar. "Ceritakan padaku bagaimana tanganmu bisa cidera separah ini?
Sudah hampir tiga hari ini Aji dan Brisya perang dingin tak saling berbicara satu sama lain. Namun begitu Brisya masih setia menemani Aji untuk berangkat terapi ke Rumah Sakit. Mereka berdua berangkat pagi dan pulang di siang hari. Setiap hari Aji di terapi selama 2 jam lamanya dan sejak kemarin terapi yang Aji jalani semakin membuat energinya terkuras habis. Jari telunjuk, jari tengah dan jari kelingkingnya yang tidak dapat bergerak dengan maksimal di latih untuk melakukan kegiatan yang ringan namun terasa amat sangat berat saat dilakukan dalam keadaan cidera. Meski hanya gerakan menggenggam, menunjuk dan memegang sesuatu namun Aji tidak juga berhasil melakukannya. Sungguh penyesalan Aji atas insiden memecahkan cermin itu semakin menjadi-jadi. Di hari ke tiga pun ia masih fokus untuk menggengam sebuah bola kecil. Jangankan bola kecil, bola basket dulu bisa dengan lihai Aji pegang hanya dengan menggunakan 1 tangan. Tapi sekarang menggenggam bola seukuran bola kasti sudah membuat ke
Seminggu lagi hari besar bagi Haris akan berlangsung. Ia tidak sekalipun terlibat dalam persiapan acara pernikahannya. Semuanya di urus oleh Vega di kota. Haris lebih memilih tetap berada di ruko dan menyelesaikan pekerjaannya bersama Frans dan Vico. Sedari awal memang ia tidak berharap pernikahan ini akan terjadi. Haris bahkan masih meragukan kehamilan Vega. Setiap hari Haris berusaha untuk tetap sibuk agar ia bisa melupakan Brisya. Mungkin kepergian Brisya lebih baik baginya karena bila sampai Brisya tahu Haris akan menikah dengan Vega entah apa yang akan terjadi. Walau bagaimanapun Haris harus bertanggung jawab bukan? Paling tidak sampai bayi itu lahir.Setelahnya nanti ia akan menceraikan Vega dan kembali pada Brisya. Ponsel Haris berdering, ia membuka kacamatanya dan meraih ponselnya malas.Vega is calling.."Hallo.""Honey, kapan kamu pulang? Kamu harus fiting jas secepatnya.""Gak perlu, aku kan sudah kasih contoh jasku ke kamu, buat apa masih fiting segala!""Desainernya ing
"One more, please!" pinta Aji pada bartender pub yang ia datangi. "No more, thanks!!" seru seorang wanita tiba-tiba.Aji menolehi asal suara yang ia kenal dengan baik, Zunita. "Ngapain kamu di sini?" sungut Aji kesal.Zunita duduk di samping Aji dan menjauhkan gelas-gelas yang berjajar di hadapannya. "Buat ngawasin kamu, lah! Mami nyuruh aku nyusul buat cek keadaan kalian selama di sini." "Hah, liar!" rutuk Aji cepat, sepertinya ia mulai mabuk, kepalanya pening. Ia mulai kehilangan kontrol atas ucapannya.Zunita mengawasi Aji iba, entah apa yang Aji rasakan sekarang. "Ayo kembali ke hotel, Brisya pasti mencarimu.""Nggak, Zun. Dia bahkan nggak akan peduli aku masih hidup atau mati. Bahkan mungkin lebih baik mati aja sekalian.""Kalian berantem??" tanya Zunita heran, setahu dia selama ini Aji dan Brisya selalu baik-baik saja. Aji tak menyahut, ia mengawasi gelas-gelas di hadapannya dan menghitungnya satu persatu, ada 5 gelas bigsize, berarti dia sudah menghabiskan 5 gelas bir. "
Sejak kecil, Aji terbiasa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Papa dan Mamanya selalu memberi perhatian lebih pada Aji yang merupakan anak satu-satunya. Dulu Aji pernah memiliki seorang adik, namun adiknya meninggal saat berusia 3 tahun. Sejak itulah orang tuanya sangat over protektif pada Aji. Namun demikian Aji tidak serta merta menjadi anak yang semaunya, sejak kecil Aji terbiasa hidup teratur dan penuh kasih sayang. Mungkin itulah sebabnya Aji jadi anak yang kuper namun penyayang, ia jarang bergaul dengan teman seusianya. Brisyalah satu-satunya teman Aji saat ia masuk SMP dan mereka tak terpisahkan hingga sekarang. Saat SMA pun Aji memilih masuk ke SMA yang sama dengan Brisya. Padahal orang tuanya ingin Aji sekolah di sekolah swasta agar ia bisa lebih maksimal mendapat pelajaran. Aji rindu masa-masa sekolahnya dulu, masa di mana Brisya hanya bergantung padanya. "Aji, are you oke??" Aji mengawasi Dory yang menatapnya penuh selidik. Hari ini Aji terapi tanpa di temani Brisya. Ia
Bila sebelumnya Aji berniat untuk tidur sesampainya di hotel, namun kenyataannya ia justru tak bisa memejamkan mata sedikitpun. Rindunya pada Brisya membuatnya sekarat. Aji menarik jaketnya dan beranjak keluar dari hotel. Ia menyusuri jalanan seperti orang-orang yang ia lihat tadi. Entah ke mana, Aji hanya ingin sedikit lebih lelah agar sesampainya di hotel ia bisa langsung tidur tanpa memikirkan Brisya lagi. Di sebuah area terbuka yang diperbolehkan merokok, Aji duduk dan menyulut rokoknya. Ia menyesap rokok itu berkali-kali hingga memenuhi rongga dadanya. Sudah lama Aji tak merokok, mama papanya termasuk orang yang cinta kebersihan dan menjaga kesehatan. Mereka pasti marah bila mencium aroma asap rokok di rumah, maka dari itu Aji selalu merokok sembunyi-sembunyi. Itupun hanya bila ia sedang suntuk. Aji menatap langit Singapura yang teduh berawan. Beberapa orang di sekelilingnya sedang asyik mengobrol dengan pasangannya, hanya Aji yang duduk sendirian. Ia buru-buru menghabiskan ro
Prosesi pemberkatan pernikahan sudah berlangsung sejak tadi pagi. Haris dan Vega sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Sejak sejam yang lalu, para tamu sudah memenuhi aula resepsi di sebuah hotel ternama di Jakarta. Haris dan Vega sibuk menyalami dan berfoto dengan tamu-tamu yang sebagian besar tidak Haris kenal. Entah siapa saja mereka..Hendri mengamati adiknya dari jauh, tawa dan senyumnya yang nampak adalah palsu. Entah mengapa akhirnya Haris menyerah untuk menikahi Vega yang sudah bertahun-tahun mengejarnya. Hendri bahkan berpikir adiknya tak seharusnya menikahi wanita seperti Vega yang terlalu agresif. Haris membutuhkan wanita yang bisa mengimbangi sifatnya, bukan wanita yang menggebu-gebu. Karena ketimpangan sifat sudah terbukti membuat rumah tangga orang tuanya tak terselamatkan. Itulah yang kemudian membuat Hendri takut untuk berkomitmen, ia takut gagal. Pandangan Hendri kemudian beralih pada seluruh tamu yang hadir di acara pernikahan mewah adiknya, dan tatapan Hendri
Sejak Brisya mengacuhkannya dulu, Aji tak pernah berani untuk bermimpi muluk muluk. Dan saat pagi ini ia akhirnya terbangun di samping Brisya semua masih terasa seperti mimpi baginya. Aji menatap wajah Brisya yang masih terpejam dengan penuh rasa syukur. Betapa ia menyayangi Brisya melebihi dirinya sendiri dan terbangun seperti ini merupakan mimpinya sejak lama. Aji mendekat ke wajah Brisya dan mengecup keningnya pelan khawatir membangunkannya. Aji ingin mengajak Brisya jalan-jalan hari ini ke manapun yang Brisya mau. Seminggu terbuang percuma hanya karena rasa baper Aji yang keterlaluan. Perlahan Aji menarik tangannya yang terulur di bawah kepala Brisya. Brisya menggeliat dan merenggangkan tubuhnya, ia membuka mata dan melihat Aji sudah terbangun dan tersenyum menatapnya. "Selamat pagi!" sapa Aji sambil mengecup kening Brisya pelan.Brisya mengusap matanya dan membalas senyuman Aji. "Selamat pagi." "Tidurmu nyenyak??" Brisya mengangguk pelan, ia mengulurkan tangannya dan membela