Kekuatan lelaki tua itupun kembali sepenuhnya seiring mendaratnya tubuh rentanya di tanah. Meski fisiknya terlihat tak ubahnya sosok yang hanya tinggal menanti detik-detik terakhir kehidupan, tapi nyatanya kekuatan lelaki tua itu berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya. Besaran energi yang merembes keluar dari tubuhnya sedikit membuat Jalu tertekan walau akhirnya pemuda tampan itu bisa mengatasinya."Terima kasih atas bantuanmu, Anak muda. Namaku Dharmawangsa, kau bisa memanggilku Kakek Dharma saja," kata lelaki tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Jalu, Kek," balas Jalu singkat. "Ngomong-ngomong apa kau anggota perguruan Lembah Ular?" tanya Dharmawangsa. "Bukan, Kek." Dahi Dharmawangsa yang sudah dipenuhi keriput terlihat semakin tebal. Lelaki tua itu mengernyit heran, sebab dia tahu betul jika yang tadi ambrol adalah satu-satunya akses aman menuju Lembah Ular. "Kalau kau bukan anggota perguruan Lembah Ular, kenapa bisa lewat gua di atas?"Jalu menatap mata Dharmawangsa leka
Dharmawangsa hanya tersenyum tipis melihat raut wajah Jalu yang kebingungan tak percaya. "Kau jelas heran bukan?" Jalu mengangguk."Bagaimana Kakek bisa tetap hidup tanpa makan dan minum selama itu?" "Karena aku menerapkan apa yang diajarkan guru kepadaku. Beliau bahkan pernah bertapa kurang lebih lima puluh tahun lamanya tanpa makan dan minum," balas Dharmawangsa. "Kakek tidak sedang berbohong, bukan?" Jalu menatap lelaki tua di depannya itu tanpa berkedip sama sekali. "Tidak ada gunanya aku berbohong kepadamu, Jalu. Nanti saja aku ceritakan bagaimana caranya setelah kita hancurkan perguruan Lembah Ular." Jalu lagi-lagi hanya mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa jika sosok di depannya itu seolah begitu besar baginya. Pamor Dharmawangsa setelah mengatakan bahwa mampu tidak makan dan minum selama dua puluh tahun membuat pemuda tampan itu serasa begitu kecil. "Kita keluar dari tempat ini lewat mana, Kek?" "Aku pernah memasuki tempat ini sebelumnya. Dan seingatku ada
"Siapa dan apa tujuan kalian melewati tempat ini?" tanya salah satu dari puluhan lelaki berseragam merah, setelah maju satu langkah di depan teman-temannya. Nada suaranya terdengar tidak bersahabat dan begitu terlihat mencurigai kedua sosok asing yang tidak mereka kenal.Jalu dan Dharmawangsa saling berpandangan sesaat, sebelum kemudian mengangguk secara bersamaan. Keduanya sudah saling mengerti apa yang harus dilakukan terhadap puluhan orang yang tengah berdiri menghadang. Tanpa berpikir lebih lama karena harus segera kembali untuk menyusul Ayu Wulandari, Jalu pun melesat menyerang orang-orang di depannya. "Aku tinggal dulu, nanti kau bisa menyusulku!" teriak Dharmawangsa, lalu melesat ke atas pohon dan berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa kesulitan sama sekali. "Serahkan cecunguk-cecunguk ini kepadaku, nanti aku akan menyusul Kakek!" Jalu berteriak menyahuti ucapkan Dharmawangsa. Pendekar muda yang namanya sudah mulai santer meluas di dunia persilatan itu lantas me
Jalu menutup mulutnya seraya tertawa pelan menyadari kebodohannya. Tapi kemudian bukankah dia dan Dharmawangsa sudah berpikir untuk menyerang secara langsung, lalu kenapa harus tetap di atas pohon, pikir Jalu. "Aku dulu, Kek!" teriaknya sebelum melesat menembus ranting dan dedaunan. Belasan penjaga pintu gerbang yang sebenarnya sudah bereaksi sejak terdengar suara berisik dari patahnya dahan pohon, terkejut dengan kemunculan orang asing yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan dan berdiri tidak jauh dari dari pintu gerbang Perguruan Lembah Ular. Terang saja kemunculan Jalu membuat belasan penjaga tersebut semakin bersiap waspada. Gagang pedang terpegang erat dan terangkat sedikit naik seukuran perut."Siapa kau!?" teriak salah satu penjaga. "Banyak bicara! Mati kalian!" balas Jalu, kemudian melesat menyerang. Meski menghadapi belasan lawan yang bersenjata pedang, Jalu tanpa kesulitan menghabisi semua hingga jari jemari tangannya kembali bersimbah darah. Dharmawangsa yang meny
Jalu mengangkat pedangnya dengan ujung bilah berada di atas. Ditambahkannya lagi energinya untuk membuat aura kebiruan yang keluar semakin terang dan energi yang memancar semakin besar. Di balik apa yang dilakukannya itu tentu memiliki tujuan. Dia ingin lebih cepat mengeksekusi ratusan lawan yang mengepungnya. Dengan cepat anggota perguruan Lembah Ular yang kesulitan bergerak semakin banyak. Mereka yang berada di jarak terdekat dari Jalu langsung terkena imbas energi besar dari bilah pedang Halilintar. Pemuda tampan itupun kemudian menurunkan bilah pedangnya. "Ucapkan selamat tinggal pada dunia!" teriaknya keras sebelum berputar cepat seraya menyabetkan pedangnya. Pedang Halilintar seperti sedang menunjukkan keistimewaannya. Sama seperti namanya, muncullah kilatan petir yang keluar dari ujung pedang pusaka berbahan batu bintang tersebut. Seberkas kilatan memanjang berwarna biru kemerahan yang langsung menghajar puluhan hingga seratus lebih anggota perguruan Lembah Ular yang tidak
Ageng Wicaksono dan Nyi Saraswati tanpa sadar menelan ludah secara bersamaan. awalnya mereka tidak merasa takut meski perguruan Lembah Ular bakal didatangi sosok yang telah membuat heboh dunia persilatan, tapi kemunculan Dharmawangsa yang besar kemungkinan telah diselamatkan pendekar muda tersebut pastinya bakal membuat peta situasi berubah. Keduanya merasa tidak lagi dalam posisi diuntungkan saat ini. Dharmawangsa sendiri tahu kemana arah pandangan kedua lawannya itu. Cibirannya pun diarahkan kepada keduanya, "Kenapa kalian terlihat ketakutan seperti itu?" ujarnya, lalu melihat ke arah Jalu yang lawannya kini hanya tersisa tidak lebih dari lima puluh orang saja. Lelaki tua itu tampak terkejut juga dengan sepak terjang Jalu. Namun begitu melihat pendekar muda itu sudah mengeluarkan pedang pusakanya, keterkejutan yang dia rasakan pun menghilang. Dharmawangsa tahu betul bagaimana besarnya kekuatan pedang berbilah hitam yang bisa memutuskan rantai energi Ageng Wicaksono."Badra, cepat
"Ckckck ... Apa hanya seperti itu kualitas seorang tetua di perguruan ini?" Jalu menggeleng pelan seraya memberi cibiran, "Kurasa nama Lembah Ular terlalu berlebihan untuk perguruan selemah ini," sambungnya. "Bedebah kau! Aku akan membunuhmu!"Gandara mencabut pedang yang tergantung di pundaknya dan langsung bergerak maju memberikan serangan. Pedang berukuran cukup besar dan terlihat begitu tajam itu berkilauan tertimpa cahaya rembulan. Di sisi lain Jalu tidak terburu-buru untuk mencabut pedangnya. Dia meraih sebuah pedang yang masih dalam jangkauan tangannya.Dentingan suara pedang yang beradu terus terdengar berulang. Gandara dengan kekuatan fisiknya terus berusaha membuka pertahanan Jalu yang sangat rapat. Sebuah tusukan mengalir deras menuju perut Jalu. Dengan sedikit gerakan menyamping, pemuda tampan tersebut berhasil menghindari serangan pedang Gandara yang melintas mulus di depan perutnya. Mendapati serangannya gagal, Gandara lalu memutar pergelangan tangannya dan kemudian
Ageng Wicaksono tampak tersenyum nyinyir dengan satu sudut bibir yang terangkat naik. Dia sadar menghadapi Dharmawangsa tidak akan semudah yang dibayangkan. Namun dengan pedang perak milik Dharmawangsa yang sekarang dikuasainya, dan juga dengan bantuan Nyi Saraswati, dia yakin mantan saudara seperguruannya itu pasti akan bisa dibunuhnya. "Jangan harap aku akan menyerahkan pedang perak ini kepadamu, Dharmawangsa. Selama kita berlatih di gunung Pesagi, aku merasakan ketidak adilan dilakukan guru terhadap kita berdua. Orang tua itu terlalu pilih kasih dan selalu menganggapku tidak memiliki bakat sebaik dirimu." "Bukankah memang begitu adanya, Ageng? Kau memang tidak memiliki bakat sebaik diriku, jadi wajar jika kau hanya dinomor duakan oleh guru." Dharmawangsa membalas ucapan Ageng Wicaksono. Dirasanya akan sulit untuk membuat adik seperguruannya itu sadar, sehingga menjatuhkan secara verbal pun perlu dilakukan untuk memancing emosi bekas temannya itu. "Dan perlu kau tahu, meski kau s