Share

Bab 5 Si Jenius, Afreen

Malamnya di ruang bermain kediaman Alvaro, terlihat Ambar tengah menemani Afreen bermain. Namun, berbeda dari bocah kecil menggemaskan itu, alih-alih memainkan mobil-mobilan di lantai, Ambar justru tampak terbengong-bengong.

Bagaimana tidak? Hatinya terus bertanya-tanya apakah keputusannya menikah dengan sang majikan tidak terlalu gegabah? 

Ambar mengembuskan napas pelan untuk membuang resahnya. Namun rasa gelisahnya itu tetap tidak mau pergi, terutama saat membayangkan nanti akan berhadapan dengan keluarga besar Hadinata. 

“Akan ada perang dunia," gumam Ambar.

Bekerja untuk Alvaro selama empat tahun membuat Ambar tahu hampir segalanya mengenai sifat tiap-tiap anggota keluarga besar Hadinata, begitu pula dengan permasalahan dalam keluarga tersebut. Dan, kalau dirinya menikah dengan Alvaro, pasti salah satu masalah terbesar untuknya adalah ibu tiri dari pria tersebut, Siska Yunita. 

"Miss Ambar kenapa?"

Ambar tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke arah sumber suara, tempat seorang bocah berwajah mungil dan mata bulat menggemaskan tengah menatapnya khawatir.

“Afreen,” panggil Ambar dengan senyuman. “Miss baik-baik saja kok, Sayang.”

Sudah sangat terbiasa Ambar dipanggil ‘miss’ oleh bocah tersebut, terutama karena itu juga panggilan Afreen kepada guru-gurunya di sekolah.

Afreen menghampiri Ambar. Dia berdiri di depan Ambar yang sedang duduk di karpet. Tangan mungilnya diletakkan di kedua pipi gadis itu. Matanya mengamati wajah Ambar dengan saksama. 

"Wajah Miss terlalu putih ….” Bocah itu mengerucutkan bibir, merasa ucapannya tidak tepat. “Tapi bukan putih bagus, putih apa namanya itu ya?" 

Ambar tersenyum melihat gaya Afreen yang meletakkan jemarinya di dagu, menirukan orang berpikir.

"Pucat?" tebak Ambar. 

Mata bulat Afreen berbinar, kepalanya mengangguk cepat. "Iya itu! Pucat!" Kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke Ambar lagi. “Jadi, kenapa Miss Ambar pucat?”

Ambar tersenyum tak berdaya melihat keingintahuan bocah itu. "Tidak … Miss tidak apa-apa."

Bibir Afreen kembali mengerucut. Lalu, dia menebak, "Papa pasti menindas Miss lagi!" tebaknya.

Ambar membelalakkan matanya mendengar perkataan Afreen. “Afreen belajar kata-kata seperti itu dari mana?"

‘Menindas’ itu kata yang cukup berat untuk seorang bocah. 

"Mbak-mbak lain yang bekerja di rumah sering bilang belakangan Miss Ambar kalau masuk ruangan Papa, pasti keluar dengan wajah sedih. Aku juga dengar Mbak Wulan bilang itu karena Miss Ambar ditindas oleh Papa. Benar begitu, ya?" 

Ambar mendelik ke arah Wulan–baby sitter Afreen–dan seorang pelayan yang berdiri tak jauh darinya. Dua orang itu langsung membuang wajah dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.

‘Nanti, akan kutegur mereka!’

Afreen adalah anak yang cerdas. Bahkan, tidak sedikit orang berkata bahwa untuk anak berusia empat tahun, kecerdasan bocah itu di atas rata-rata. Dia mudah sekali menyerap perkataan dan perbuatan orang di sekitarnya. Oleh karena itu, semua orang di sekeliling harus menjaga sikap dan perkataan!

“Miss Ambar kok marah.” Mendadak terdengar Afreen berujar lembut seraya menggenggam tangan Ambar dengan tangan mungilnya. “Afreen salah bicara?” 

Ambar menoleh kembali ke Afreen. Dia mengelus rambut bocah itu seraya berkata, “Nggak, Sayang. Afreen nggak salah.” Dia pun menambahkan, “Selain itu, Papa Alvaro nggak pernah menindas Miss, kok."

"Miss nggak bohong, kan?" 

"Enggak, dong. Bohong itu dosa," jawab Ambar.

Afreen mengangguk puas. "Kalau Papa berani tindas Miss, Miss harus ngomong sama Afreen.” Afreen kemudian memeluk pinggang Ambar. “Afreen yang akan lindungi Miss!”

Ucapan Afreen membuat Ambar tertawa. Dia memeluk Afreen dan berkata, "Terima kasih, Sayang. Kamu memang jagoan Miss.” 

Dalam hati, Ambar juga sadar. Andai bukan karena Afreen, mungkin dia juga tidak akan berkesempatan menyelesaikan masalah utang keluarganya.

Walau harus menikahi majikannya.

“Memang hanya Afreen yang bisa Miss andalkan." 

Di saat itu, sebuah suara dalam mendadak berkata, “Oh, jadi hanya Afreen yang bisa kamu andalkan, tapi tidak dengan saya?” 

Kaget, bukan hanya Ambar, tapi Afreen juga langsung menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok Alvaro yang baru pulang kerja sedang menyandarkan tubuh di pintu ruang bermain. Dengan kemeja putih membalut tubuh berototnya, pria itu melipat kedua tangan. 

Alis kanan pria itu meninggi seiring dirinya menambahkan, “Saya baru tahu itu pandanganmu terhadap saya, Ambar.”

Mendengar ucapan bernada dingin Alvaro, Ambar memaki dalam hati, ‘Mati aku! Bisa-bisanya Tuan Alvaro mendadak pulang!’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status