Devan duduk di samping Kanaya yang juga duduk di tempat tidurnya, menunggu kata yang akan keluar dari mulut wanitanya itu. "Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Dan juga, maafkan aku atas sikapku padamu tadi. Aku tidak berniat bersikap kasar. Aku hanya takut tidak bisa mengikuti acara itu," ujar Kanaya. "Aku tidak memintamu membalas semuanya. Cukup dengan melihatmu tidak bersedih dan kembali ceria lagi, itu sudah cukup bagiku." Devan memegang tangan Kanaya dan gadis itu menatapnya. "Semua yang berurusan denganmu adalah tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." "Terima kasih sekali lagi, tapi ..., apa ini tidak terlalu berlebihan?" Devan menggeleng dan tersenyum, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" "Ruangan ini, bukankah sangat mahal? Kenapa tidak menempatkanku di ruangan umum saja? Bagaimana dengan semua biaya rumah sakit nanti?" Devan baru sadar jika ia terlalu mencolok dengan menempat
"Hei! Nglamun terus, Bro!" Sebuah tepukan di bahu membuat Alex kaget. "Apaan sih, Jon! Bikin kaget orang aja!" Jono dan Joni tertawa melihat ekspresi Alex. Kedua kembar itu ikut duduk di samping Alex. Jarang-jarang mereka bisa duduk bertiga setelah Alex dekat dengan Cintia. Karena gadis itu selalu tidak ingin diganggu saat bersama Alex, termasuk kedua sahabat Alex. "Heh, tumben nggak dikintilin Cintia." Jono celingukan melihat kanan dan kiri, karena khawatir ada Cintia tiba-tiba. "Lo nggak nengokin Aya? Eh lupa, mana berani ya, 'kan? Nanti dimarahin lagi sama Cintia." "Nengokin Aya? Memangnya dia kenapa?" tanya Alex penasaran dengan ucapan teman baiknya. "Memangnya lo nggak tahu kalau Aya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?" Alex kaget dan menatap tajam Jono, "Aya berada di rumah sakit? Kenapa aku tidak tahu? Aku harus menjenguknya sekarang!" Alex bangkit dari tempat duduknya. "Nggak takut Cintia marah-marah lagi, lo Lex?" tanya Joni. "
Alex bercedih, "Aku tidak butuh ijin dari siapa pun. Lagi pula, aku yang lebih dulu mengenal Aya, bukan kamu. Jadi aku tidak butuh ijin dari siapa pun untuk berada di sini!" "Apa kamu begitu ingin menemui istri orang? Sepertinya jaman sekarang memang lebih banyak anak muda yang suka mengganggu rumah tangga orang," sinis Devan. "Tidak perlu menyamakan rumah tangga kalian dengan rumah tangga orang pada umumnya. Kalian hanya orang yang tidak saling kenal, berbeda denganku dan Aya. Kami sudah lama bersama. Lebih baik kamu saja yang pergi, aku yakin kamu tidak akan mampu membayar biaya rumah sakit ini. Dengan pekerjaanmu sebagai tukang ojek, harusnya kamu sadar, jika biaya ruangan ini sangat mahal. Tidak mungkin kamu membayarnya dengan uang recehan dari hasil ojekmu itu." Kanaya menggeleng mendengar ucapan Alex yang terkesan menyombongkan diri. Ia seperti tidak mengenali Alex lagi. Ia bukanlah Alex yang ia kenal dulu. Alex yang selalu rendah hati dan tidak sombong.
Degh! Bagaimana bisa? Bukankah kemarin baik-baik saja? Apakah ada orang yang sengaja melakukan itu pada bajunya? Tapi siapa? Kanaya terburu-buru pergi ke ruangan tempat baju miliknya. Ia tidak sempat melihat Devan yang juga mengikutinya. Tentu saja Devan akan menjadi orang pertama yang mencari tahu siapa yang sudah berani membuat istrinya kesulitan. Kanaya memegang potongan kain tenun troso yang berserakan di lantai. Itu adalah potongan kain dari baju yang sudah ia persiapkan. Ia menghela napas panjang. Kecewa? Tentu. Ia sudah menghabiskan waktunya berhari-hari agar bisa mendapatkan hasil yang ia inginkan. Tapi disaat ia sudah berhasil, semuanya seperti sia-sia. 'Siapa yang tega melakukan ini?' Devan melihat raut wajah Kanaya yang nampak sedih dan lemah. Ia merasa kasihan padanya. Ia tahu betul bagaimana Kanaya melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. 'Kur*ngajar! Siapa yang berani membuat istriku bersedih!' "Ya ampun, kok bisa, Pak? Kerjaan si
"Jadi benar, Mama memang ada di acara ini. Apa dia sudah berkenalan dengan menantunya?" Devan tertawa sendiri. Kanaya turun dari panggung dan berkenalan dengan beberapa tamu yang hadir. Diantaranya adalah beberapa designer yang sudah ia ketahui akan hadir di sana. "Sangat cantik saat dilihat lebih dekat," ucap seorang laki-laki yang hadir. Kanaya hanya tersenyum ramah dan sopan. Namun saat laki-laki itu menyentuh bahunya, Kanaya menepisnya dengan kasar. "Tolong jaga sikap anda! Saya akan sopan jika anda sopan!" tegas Kanaya. Sontak beberapa orang menatap Kanaya. Laki-laki itu merasa malu dengan bentakan Kanaya. Namun beberapa orang justru suka dengan sikap tegas dan berani dari gadis itu. Bagitu pun Bu Herlin yang tersenyum dan mendekatinya. 'Gadis yang tegas.' Kanaya meminta maaf kepada pengunjung lain yang merasa terganggu. "Sangat bagus! Seorang gadis memang harus bertindak tegas meski terlihat sepele." Bu Herlin mengulurkan tangannya. "Bu He
Semua orang yang hadir terdengar menyoraki Kanaya. Mereka mengumpat dan memakinya, karena nyatanya Kanaya tinggal bersama dengan seorang pria. "Huh, dikira lugu, ternyata suhu. Diam-diam membawa pria ke dalam rumahnya." "Katanya mahasiswi berprestasi, ternyata itu juga termasuk prestasinya," ujar pengunjung yang hadir di sana. "Iya. Katanya sih nggak punya pacar, tapi nyatanya lebih dari pacar!" Banyak kata-kata hinaan yang dilontarkan mereka pada Kanaya. Sedangkan Kanaya merasa sangat takut, sedih, malu dan juga kaget dengan apa yang menimpanya. Napasnya naik turun karena syok dengan keadaan yang tidak terduga itu. Ia berpegangan pada sebuah meja untuk memopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua mata tertuju padanya, tapi bukan karena kekaguman melainkan karena tatapan merendahkan. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua orang menatapnya dengan sinis. Ia menatap Bu Herlin yang juga menatapnya dengan pandangan datar tanpa ekspresi. Entah apa yang ada
Kanaya menatap sekelilingnya. Ruangan yang bersih, rapi dengan cat warna putih dan biru muda dan cukup luas danmewah menurutnya. Maklumlah, ia sudah terbiasa tinggal di rumah yang sederhana. Meski begitu, ia sangat merasa nyaman di rumah yang sudah ia tempati sejak kecil itu. Banyak kenangan yang pastinya tidak akan pernah ia lupakan. Terlebih kenangan bersama sang ayah. Begitu pula dengan tempat tidur berukuran besar yang saat ini ia tempati bersama Devan. Sungguh berbeda jauh dengan tempat tidur miliknya. Namun tempat tidur miliknya tetaplah menjadi tempat ternyaman untuk melepas penat kala ia lelah dengan kegiatan sehari-harinya. Tapi bukan itu masalahnya saat ini. Ia merasa asing dengan tempat yang baru pertama kali ia datangi ini. Bagaimana mungkin laki-laki berstatus suaminya yang hanya tukang ojek itu bisa membawanya ke tempat mewah seperti itu. Kanaya berusaha menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari pelukan suaminya. Namun justru hal itu membuat Devan se
"Devan sudah menikahinya? Tanpa kita? Tanpa Papa dan mamanya? Omong kosong apa ini, Radit?" "Tapi itu semua memang benar, Ma. Mereka sudah menikah. Bahkan sebelum Radit pergi ke sana." "Apa maunya anak itu? Kenapa menikah tanpa kita? Apa, ini adalah salah satu cara dia menolak perjodohan dengan Zalia? Dia menggunakan gadis itu untuk menjadi tameng agar mengurungkan perjodohan yang sudah dibuat papamu?" tanya Bu Herlin menerka-nerka. Radit tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Ma. Ini semua memang sudah takdir Devan." Bu Herlin tidak mengerti arah pembicaraan Radit. Ia menoleh dan memandang wajah anak angkatnya dengan seksama, meminta penjelasan dari ucapannya barusan. "Devan dinikahkan paksa oleh para warga karena dituduh berbuat m*sum bersama Kanaya," jelas Radit. "Jadi mereka menikah karena terpaksa? Dan Devan tidak mencintai Kanaya, begitu pun sebaliknya? Kenapa rumit sekali?" "Mereka memang menikah karena terpaksa, tapi, bukankah cinta bisa h