Degh! Bagaimana bisa? Bukankah kemarin baik-baik saja? Apakah ada orang yang sengaja melakukan itu pada bajunya? Tapi siapa? Kanaya terburu-buru pergi ke ruangan tempat baju miliknya. Ia tidak sempat melihat Devan yang juga mengikutinya. Tentu saja Devan akan menjadi orang pertama yang mencari tahu siapa yang sudah berani membuat istrinya kesulitan. Kanaya memegang potongan kain tenun troso yang berserakan di lantai. Itu adalah potongan kain dari baju yang sudah ia persiapkan. Ia menghela napas panjang. Kecewa? Tentu. Ia sudah menghabiskan waktunya berhari-hari agar bisa mendapatkan hasil yang ia inginkan. Tapi disaat ia sudah berhasil, semuanya seperti sia-sia. 'Siapa yang tega melakukan ini?' Devan melihat raut wajah Kanaya yang nampak sedih dan lemah. Ia merasa kasihan padanya. Ia tahu betul bagaimana Kanaya melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. 'Kur*ngajar! Siapa yang berani membuat istriku bersedih!' "Ya ampun, kok bisa, Pak? Kerjaan si
"Jadi benar, Mama memang ada di acara ini. Apa dia sudah berkenalan dengan menantunya?" Devan tertawa sendiri. Kanaya turun dari panggung dan berkenalan dengan beberapa tamu yang hadir. Diantaranya adalah beberapa designer yang sudah ia ketahui akan hadir di sana. "Sangat cantik saat dilihat lebih dekat," ucap seorang laki-laki yang hadir. Kanaya hanya tersenyum ramah dan sopan. Namun saat laki-laki itu menyentuh bahunya, Kanaya menepisnya dengan kasar. "Tolong jaga sikap anda! Saya akan sopan jika anda sopan!" tegas Kanaya. Sontak beberapa orang menatap Kanaya. Laki-laki itu merasa malu dengan bentakan Kanaya. Namun beberapa orang justru suka dengan sikap tegas dan berani dari gadis itu. Bagitu pun Bu Herlin yang tersenyum dan mendekatinya. 'Gadis yang tegas.' Kanaya meminta maaf kepada pengunjung lain yang merasa terganggu. "Sangat bagus! Seorang gadis memang harus bertindak tegas meski terlihat sepele." Bu Herlin mengulurkan tangannya. "Bu He
Semua orang yang hadir terdengar menyoraki Kanaya. Mereka mengumpat dan memakinya, karena nyatanya Kanaya tinggal bersama dengan seorang pria. "Huh, dikira lugu, ternyata suhu. Diam-diam membawa pria ke dalam rumahnya." "Katanya mahasiswi berprestasi, ternyata itu juga termasuk prestasinya," ujar pengunjung yang hadir di sana. "Iya. Katanya sih nggak punya pacar, tapi nyatanya lebih dari pacar!" Banyak kata-kata hinaan yang dilontarkan mereka pada Kanaya. Sedangkan Kanaya merasa sangat takut, sedih, malu dan juga kaget dengan apa yang menimpanya. Napasnya naik turun karena syok dengan keadaan yang tidak terduga itu. Ia berpegangan pada sebuah meja untuk memopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua mata tertuju padanya, tapi bukan karena kekaguman melainkan karena tatapan merendahkan. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua orang menatapnya dengan sinis. Ia menatap Bu Herlin yang juga menatapnya dengan pandangan datar tanpa ekspresi. Entah apa yang ada
Kanaya menatap sekelilingnya. Ruangan yang bersih, rapi dengan cat warna putih dan biru muda dan cukup luas danmewah menurutnya. Maklumlah, ia sudah terbiasa tinggal di rumah yang sederhana. Meski begitu, ia sangat merasa nyaman di rumah yang sudah ia tempati sejak kecil itu. Banyak kenangan yang pastinya tidak akan pernah ia lupakan. Terlebih kenangan bersama sang ayah. Begitu pula dengan tempat tidur berukuran besar yang saat ini ia tempati bersama Devan. Sungguh berbeda jauh dengan tempat tidur miliknya. Namun tempat tidur miliknya tetaplah menjadi tempat ternyaman untuk melepas penat kala ia lelah dengan kegiatan sehari-harinya. Tapi bukan itu masalahnya saat ini. Ia merasa asing dengan tempat yang baru pertama kali ia datangi ini. Bagaimana mungkin laki-laki berstatus suaminya yang hanya tukang ojek itu bisa membawanya ke tempat mewah seperti itu. Kanaya berusaha menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari pelukan suaminya. Namun justru hal itu membuat Devan se
"Devan sudah menikahinya? Tanpa kita? Tanpa Papa dan mamanya? Omong kosong apa ini, Radit?" "Tapi itu semua memang benar, Ma. Mereka sudah menikah. Bahkan sebelum Radit pergi ke sana." "Apa maunya anak itu? Kenapa menikah tanpa kita? Apa, ini adalah salah satu cara dia menolak perjodohan dengan Zalia? Dia menggunakan gadis itu untuk menjadi tameng agar mengurungkan perjodohan yang sudah dibuat papamu?" tanya Bu Herlin menerka-nerka. Radit tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Ma. Ini semua memang sudah takdir Devan." Bu Herlin tidak mengerti arah pembicaraan Radit. Ia menoleh dan memandang wajah anak angkatnya dengan seksama, meminta penjelasan dari ucapannya barusan. "Devan dinikahkan paksa oleh para warga karena dituduh berbuat m*sum bersama Kanaya," jelas Radit. "Jadi mereka menikah karena terpaksa? Dan Devan tidak mencintai Kanaya, begitu pun sebaliknya? Kenapa rumit sekali?" "Mereka memang menikah karena terpaksa, tapi, bukankah cinta bisa h
"Tidak mungkinlah, Ma. Radit itu selalu menurut sama Papa, berbeda dengan Devan. Papa yakin dia tidak akan berbuat nekat kabur dari rumah. Lagi pula, Papa juga sering melihat Radit berbincang dengan klien wanita dengan senyuman kekaguman. Tentu lebih mudah menjodohkan Radit." Ungkap Pak Pratama yang tahu persis karakter putra angkatnya itu. Memang sejak membawanya ke rumah, Pak Pratama sudah menyayangi Radit. Ia tahu Radit anak yang baik dan mudah diatur. "Papa nggak tahu aja sih." Bu Herlin bangkit dari duduknya dan menuju ke ranjang. "Radit itu tidak akan menikah sebelum Devan menikah terlebih dahulu." "Apa?! Kalau begitu ceritanya, kapan kita akan bisa gendong cucu, Ma?" "Ya, tunggu aja Devan membawa menantu untuk kita, Pa." "Membawa menantu? Maksud Mama? Apa Mama tahu sesuatu?" tanya Pak Pratama. Ia menelisik raut wajah istrinya yang sedikit gugup. "Tahu apa maksud Papa? Ya maksud Mama itu, biarkan saja kalau seandainya, kelak Devan akan menikah de
Devan menyunggingkan bibirnya dan menatap Cintia dengan tatapan kebencian. Ia masih geram dengan semua perbuatan Cintia yang selalu berusaha menyakiti istrinya. Bahkan kali ini, ia mengetahui jika Cintia ingin menculik Kanaya. Ternyata, preman yang disewa Cintia, adalah orang-orang yang bekerja sama dengan orang suruhan Devan. Ia mengetahui semua rencana Cintia. Yang ingin membuat Kanaya menghilang agar Alex berhenti memikirkan Kanaya. Awalnya Devan mengira Cintia hanya menginginkan Alex, jadi ia tidak terpikir untuk berbuat kejam pada gadis itu. Tapi setelah mengetahui semua rencana buruk Cintia terhadap wanitanya, ia merasa harus memberi Cintia pelajaran. "Ha ha ha. Ternyata hanya tukang ojek miskin yang sudah berani-beraninya menyekapku. Aku pikir siapa!" Cintia tertawa terbahak-bahak, setelah melihat Devan yang berada di depannya. Ia merasa lucu karena ia yakin Devan hanya menginginkan uang tebusan dari papanya. "Oh, ya? Jadi kamu tidak merasa takut padaku?"
"Bu Herlin, dia mengajakku ketemuan." "Siapa dia?" tanya Devan yang berpura-pura. "Beliau adalah designer idolaku, yang kemarin ada di acara pagelaran busana itu, " ucap Kanaya dengan mata berbinar. "Kamu begitu gembira. Memangnya sebegitu mengidolakan designer itu, ya?" "Eeemm, Kanaya mengangguk. "Tapi ...." Kanaya menghentikan ucapannya. Ia teringat acara yang tidak berlangsung dengan baik karena video dirinya dengan Devan yang membuat gaduh. Barang kali saja, Bu Herlin ingin menanyakan tentang kegaduhan yang terjadi itu, begitu pikir Kanaya. "Tapi apa?" Devan mendekat dan duduk di samping Kanaya. "Apa soal video itu?" "Sepertinya memang soal kegaduhan itu, huft!" Terdengar helaan napas panjang dari Kanaya. "Apa kamu akan menemuinya?" Kanaya nampak kebingungan. Antara ingin bertemu, tetapi juga merasa malu. Ia khawatir Bu Herlin bersikap tidak baik padanya. Namun ia juga mengingat kehangatan wanita bertubuh ramping meski usianya sudah ti