Sejak pagi ketika Arsyl mendapati aku di rumah sakit, semua di antara kami seperti berhenti. Aku yang sempat melayang karena harapan, kini harus pasrah ketika dipaksa jatuh ke level terendah. Aku yang semula merasa berarti, kini bagai kehilangan diriku sendiri. Tak pernah lagi aku mengirimkan pesan cinta atau permohonan maaf kepada Arsyl. Padahal, sebelum ini, aku tak sabar menunggu pagi hanya karena ingin mengirimkan pesan kepadanya. Sekadar bertanya: kamu sudah di rumah sakit, kamu pulang jam berapa, dan sebagainya, tetapi aku merasa berarti ketika melakukannya. Akan tetapi, semua berubah sekarang. Entah mengapa, aku merasa lelah untuk mengiba. Semua yang kulakukan terhalang kata sia-sia. Bukan karena rasa untuknya telah berkurang, tapi aku tak ingin cinta yang baru bersemi ini patah begitu saja. Aku telah patah bekali-kali, bahkan oleh ayahku sendiri. Namun, bila kali ini rasa untuk Arsyl terpatahkan lagi, maka aku takut hati ini benar-benar akan mati.Itu sebabnya, aku memutusk
Setelah percakapan pagi itu, aku selalu tidur di kamar Raya, menemaninya menjaga anak-anak yang masih sering rewel di malam hari. Bukan semata-mata karena perhatian, aku menemani Raya dengan sedikit keegoisan. Bahwa aku bisa melupakan segala yang menjadi dukaku sendiri dengan menjadi penyembuh dan penyemangat untuk orang lain. Sementara itu, Arsyl ... entah apa yang dilakukannya sekarang. Mungkin, dia masih tetap menjalani rutinitas membawa Alya berjalan-jalan di pagi hari. Mungkin juga, dia disibukkan dengan banyak hal dari siang sampai malam, lalu melupakan aku. Akan tetapi, tak peduli apa yang dilakukannya sekarang, aku masih di sini, menunggunya. Aku menunggu dia seperti seorang putri mendamba pangeran berkuda. Hal yang sedari dulu tak pernah kulakukan ketika kami sepakat untuk hidup bersama. Hari-hari selanjutnya, Raya terlihat berbeda. Dia yang semula sering menangis dan selalu menampilkan wajah muram, menjadi lebih segar. Wajahnya tak sembab lagi ketika aku menemuinya di pag
Hariku masih kuhabiskan di rumah Ibu. Dalam sepi dan ketidakpastian. Entah Ibu mulai curiga atau bagaimana, aku sama sekali tak ambil pusing. Kecurigaan Ibu kepadaku berakhir ketika Raya berkata bahwa Arsyl-lah yang memintaku menginap di sini. Sungguh, itu adalah sebuah kebetulan yang membuat aku bebas bungkam tanpa menjelaskan apa pun.Sementara itu, Raya sudah kembali ke rumahnya dua hari yang lalu. Setelah sang suami dan mertua datang kala itu, dia memang tidak langsung pulang. Hanya mertuanya saja yang pulang, Dika memutuskan menginap selama semalam. Adik iparku itu juga mengucapkan banyak terima kasih, karena aku dianggap mengambil peranan penting dalam menjaga Raya dan anak-anaknya. Tanpa semua orang tahu, bahwa aku di sini karena tak diinginkan oleh suamiku. Tuhan seperti mengirimkanku banyak perisai sebagai tempat berlindung. Keberadaan Raya yang semula menjadi pikiran Ayah, Ibu, dan kami semua, siap sangka malah menjadi tameng untuk menyelamatkan mukaku. Aku malah mendapat b
Aku pikir kamu sudah pulang.” Kak Amy berkata lagi. “Terlalu lama biarkan masalah kalian sampai berlarut-larut tanpa penyelesaian, aku malah takut nantinya jadi bom waktu.” Aku diam, tetapi dalam hati membenarkan kalimat Kak Amy. Apa pun itu masalahnya, bila dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi masalah besar. Apalagi yang aku alami sekarang. Aku dan Arsyl benar-benar diam di tempat tanpa sebuah penyelesaian. Aku menyugar rambut, menopang dagu pada satu tangan yang tertumpu di meja. Mengapa hariku ini sungguh berat? Setelah obrolan dengan Ibu yang membiaskan kecewa di hati kami masing-masing, kini aku harus terlibat pembicaraan dengan Kak Amy. Memang, Kak Amy tak berpihak kepada siapa pun. Dia selalu menunjukkan dukungan untuk aku dan Arsyl secara berimbang. Kak My tak pernah berat sebelah, meski tahu aku ada dalam posisi bersalah dan menyakiti hati adiknya. Namun, ini lebih memberikan tekanan mental untukku. Bagaimana bila aku gagal bertahan? Masih bisakah Kak Amy mengangga
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku sekarang, maka tidak ada yang bisa kuungkapkan sebagai jawabannya. Semuanya campur aduk. Bahagia, canggung, malu, gempuran rasa itu mendekapku dalam satu waktu. Namun, yang paling terasa dari semua itu adalah lega. Sebab, Arsyl sudah menerima dan memaafkan aku. Saat ini, adakah yang lebih baik dari itu?“Sekarang masih kangen?” tanya Arsyl sembari mengusap punggungku.Kubiarkan tanya itu tak terjawab, dan lalu membenamkan wajah semakin dalam ke dadanya. Setelah mengabaikanku dan membuat jarak di antara kami, aku tak ingin beranjak sedikit pun darinya.Mungkin, sebagian wanita mengalami rasa canggung ini di malam pertama pernikahan mereka. Aku pun tak tahu bagaimana mereka membuka percakapan setelah bercinta. Ah, bercinta? Aku bahkan tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Saat ini, aku terlalu malu untuk berkata-kata. Jangankan berbicara dengan baik, mengatur deru napas saja rasanya sulit sekali. Apakah bercinta itu memang begini
“Curang!” Aku menatap Arsyl yang kini berpakaian. Sementara itu, aku duduk bersandar di kepala ranjang.Pagi ini, setelah semua yang terjadi, aku hanya bisa berdiam di rumah. Kupikir, Arsyl akan menemani seharian. Kami bisa berdua, menghabiskan sepanjang hari dengan bermesraan atau melakukan hal-hal manis lainnya. Ternyata, semua itu hanya keinginan yang tak akan terwujud. Dia bersiap sebelum jam sembilan dan akan segera meninggalkan aku sendirian di rumah. Namun begitu, aku tetap bahagia. Sebab, kepulanganku semalam menjadi akhir dari semua nestapa. Kesalahan yang kulakukan kemarin seperti menguap entah ke mana. Benar kata orang, bahwa sebaiknya masalah suami istri itu diselesaikan di atas ranjang, tanpa siapa pun tahu. Logikanya, suami istri bermesraan dalam diam. Sudah sewajarnya bila segala masalah mereka pun diselesaikan tanpa drama dan keributan. Dan untuk masalah terbesar dalam rumah tangga ini, kami benar-benar menyelesaikannya di dalam kamar, di atas ranjang dalam arti yang
Menuruti semua kata-kata Arsyl, hari ini aku benar-benar di rumah saja. Surat sakit yang dikirimkannya ke kantorku, membuat ponselku tak henti menyuarakan notifikasi. Banyak teman yang menanyakan keadaanku, sampai beberapa yang lain ingin menjenguk.Sebenarnya, perhatian yang diberikan beberapa teman itu bukanlah hal yang berlebihan. Sebab, selama ini aku adalah orang yang nyaris tak pernah meminta izin kecuali ada hal yang sangat penting. Bahkan, selama ini aku tetap memaksa bekerja meski dalam keadaan tak enak badan.Aku masih ingat, dalam setahun terakhir sepertinya hanya pernah minta izin dua hari saja. Karena sakit beberapa waktu yang lalu. Itu pun terhitung hanya setengah hari dikali dua, karena pagi harinya aku masih memaksa datang ke kantor, dan melanjutkan pekerjaan dari rumah di sore harinya. Bahkan, saat menikah dulu, aku tak meminta izin. Akad nikah yang dilangsungkan hari Sabtu dan lanjut ke resepsi di malam harinya, membuat aku mencukupkan hari Minggu untuk beristirahat
Sejak malam yang menjadi titik balik hubungan kami itu, hari yang kulewati bersama Arsyl terasa lebih indah. Rumah kami jadi penuh warna, canda, dan tawa, seakan-akan di dunia ini tak ada yang namanya kesedihan. Kami berdua bagai sepasang suami istri yang terlahir kembali. Seperti pengantin baru yang tengah menapaki masa bulan madu.Kami berbagi kemesraan, layaknya sepasang kekasih yang baru saja menapaki indahnya cinta pertama. Kami selalu mengawali hari dengan saling memeluk, bisikan kata mesra, juga mengucapkan banyak harapan agar kehidupan di depan sana hanya berisi kebahagiaan saja.Bersama menapaki pernikahan tanpa melewati proses pacaran, kami benar-benar memanfaatkan banyak waktu untuk saling mengenal. Hal-hal yang dulu tak pernah kami bicarakan, kini dibahas dengan sangat menyenangkan. Berbagi cerita tentang keseharian di tempat kerja seperti menjadi hal wajib sekarang.Setiap sudut rumah kami yang semula sepi, terasa hangat. Ditambah jejak percintaan kami yang tertinggal ha