Sudah hampir satu jam ia mempertahankan pose duduknya, menopang wajah dengan kedua tangan sambil tepekur menatap layar laptop yang menampilkan halaman Microsoft Word yang kosong. Tiap layar laptopnya menggelap, ia hanya menyentuhkan jarinya dengan malas ke panel sentuh sehingga layar kembali benderang. Dan ia akan memelototinya lagi. Sebuah perbuatan yang menyia-nyiakan daya laptop saja.
Suara pintu yang terbanting di belakangnya pun tak membuatnya beranjak, bahkan hanya untuk sekadar menoleh. Ia sudah hafal siapa yang memiliki kebiasaan buruk memperlakukan pintu yang tak bersalah seperti itu, ia juga sudah maklum apa penyebab pintu itu dibuka tanpa sopan santun. “Tita!” Pemilik nama hanya melempar napas bosan mendengar identitasnya diteriakkan secara membahana. Kalau sudah begitu, berikutnya adalah deretan kalimat tidak menyenangkan. “Apa kerjamu seharian ini? Mana artikel tentang konferensi pers di kantor polisi tadi? Media lain sudah gencar menyebarkan beritFatih melempar napas pasrah. Ia sekali lagi harus bersemayam di ruang interogasi yang tidak lebih nyaman setelah ia duduk di dalamnya hampir dua minggu yang lalu. Kursi yang ditempati masih tidak membuat orang yang mendudukinya merasa santai, penerangannya juga masih pelit. Fatih bahkan semakin yakin bahwa memang ada makhluk mengerikan yang bersembunyi di tempat yang tak terjilat cahaya di sekelilingnya, siap menyambar apapun yang mengusik mereka. Aura ruangan ini pun tidak berubah, tetap menyesakkan dan membuat ingin cepat minggat saja.Namun, tekanan yang dipancarkan ruangan ini terasa berkali-kali lipat bagi Fatih karena ia berada di situ sebagai tersangka, bukan saksi seperti sebelumnya. Jika ia tidak ingat bagaimana ibunya setengah hidup membelanya sampai nekat menggigit tangan polisi yang akan membawanya, Fatih mungkin akan bertindak beringas, kalau perlu membuat keonaran di kantor polisi yang dipimpin oknum busuk ini.Tapi, air mata dan wajah ibunya dalam kepala membantu F
Neta duduk tanpa bicara di mobil yang dikemudikan ayahnya, bertatap muka dengan jendela dan berpura-pura terpesona pada apapun yang dilihatnya di jalanan. Ia agak puas karena sudah berhasil benar-benar menjambak rambut Ana dengan kuat, bukan jambakan palsu yang diciptakan Ana untuk membuat Neta terpojok. Meskipun kesenangan itu harus dibayar dengan ayahnya yang tiba-tiba saja muncul menjadi saksi kemudian menyeretnya pergi ditemani tatapan jijik dari setiap kepala yang ditemuinya di koridor. Jika saja ayahnya tidak datang, Neta bermaksud menjambak rambut Ana lebih kuat lagi, kalau perlu sampai rambutnya rontok semua. Toh, dilakukan atau tidak, kesalahan sudah pasti menjadi miliknya. Mahasiswa lain kadung percaya bahwa ia stres dan karena itu huruf apapun yang keluar dari mulutnya adalah pembenaran untuk tindakan sintingnya.Di sampingnya, Profesor Gani menyetir tanpa suara. Sambil fokus ke jalanan, ia juga sekali-sekali melirik anaknya yang duduk di sampingnya sembari memalingkan m
"Tempat yang direkomendasikan Kila lumayan juga.” Pita bergumam sambil matanya menjelajahi ruangan kafe yang didominasi warna biru langit yang menenangkan. Lampu gantung estetik yang menyiramkan sinar lembut berpadu dengan quote menginspirasi yang ditempatkan di beberapa lokasi menjadi sajian pas bagi orang-orang yang mendambakan kedamaian sejenak dari rutinitas dunia. Kafe itu juga mempunyai ruang outdoor bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana Kota Ryha di malam hari, tapi Pita lebih memilih duduk di dalam karena ia merasa cuacanya mendung. Ia tidak ingin pembicaraan pentingnya nanti diinterupsi oleh hujan. “Anak itu ke mana sih? Kok belum sampai juga?” Bergumam lagi, Pita kembali menoleh ke pintu, berharap orang yang ditunggunya akan muncul dengan cengiran agak bersalah karena telat. Ia memang kurang nyaman berada di tempat ramai seperti kafe sendirian, apalagi kalau ia satu-satunya pengunjung yang datang sendiri, rasanya seperti terasingkan dan tidak tahu harus bagaimana.
Ibad tengah duduk di bangku di samping mesin pembuat kopi instan sambil menghirup cairan hitam yang baru saja diseduhnya, mencerna semua kejadian yang disaksikan dan didengarnya hari ini. Pertama, penangkapan Fatih atas perintah langsung AKBP Neco yang membuatnya terkejut karena Kila sebagai ketua timnya belum mengatakan apa-apa soal tersangka. Jelas, Kila juga tidak tahu apa-apa tentang penyergapan itu, jika melihat raut wajahnya saat diberitahu tadi pagi dan bagaimana ia langsung berderap marah ke ruangan atasan mereka.Kedua, tindakan nekat Kila yang mengamuk di ruangan AKBP Neco membuahkan skors seminggu dan pengalihan kasus ke Tim II yang dipimpin oleh Sakil. Sebenarnya ia agak menyayangkan sikap Kila yang tak bisa mengendalikan diri, mungkin kalau Kila sedikit bersabar, kasus ini bisa tetap menjadi milik mereka dan mereka masih punya kesempatan mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi, rasa hormat Ibad lebih besar karena Kila teguh memegang apa yang ia anggap benar dan
Tita menunggu dengan gelisah di kafe tempatnya bertemu Pita kemarin malam. Pita sudah berjanji dengan sepenuh hati untuk mempertemukannya dengan penanggungjawab kasus Fatih sebelumnya sekaligus saksi yang menemukan korban pertama kali. Tita merasa ini benar-benar jackpot untuknya, terlebih setelah tadi siang ia kena damprat dari Pak Bos seperti yang sudah diramalkan. Setelah menembakkan deretan kalimat-kalimat mengerikan yang orang tak terbiasa mendengarnya bakal ikutan mengamuk, Pak Bos akhirnya bisa dilelehkan dengan argumen Tita yang dibuat semeyakinkan mungkin tentang kecurigaannya bahwa polisi menyembunyikan sesuatu dalam kasus ini. Pak Bos justru mendukung langkah Tita dan memberi Tita kebebasan penuh untuk menggali kasus ini setelah Tita bilang akan bertemu dengan ketua tim yang bertanggungjawab sebelum kasus dialihkan dan saksi kunci kasus ini. Tita terkekeh kecil. Jika ia bisa menguak apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya menghilangkan rasa tidak nyamannya terhadap kasus
Neta menyuap makan malamnya dengan malas, padahal menu yang tersaji sungguh menggoda selera. Ia masih kesal pada ayahnya karena hanya mementingkan reputasi untuk mengejar ambisi, sedikitpun tidak peduli pada Neta yang notabene anaknya sendiri. Jika bukan karena ibunya, wanita memukau itu, yang memohon-mohon dan nekat bersemedi di depan pintu kamar Neta sampai Neta mau keluar kamar dan makan malam bersamanya, Neta bakal memilih melaparkan diri. Biar saja ia sakit atau mati, toh ayahnya juga akan tetap mengabaikannya. Dengan begitu ayahnya bisa tidak punya anak lagi seperti keinginannya. Ibu Neta pun mengerti ada perang dingin yang terjadi antara suami dan anaknya. Sebab itu, ia yang memilih berada di pihak Neta membiarkan saja suaminya makan malam sendirian dan tak ingin tahu kemana Profesor Gani gentayangan setelahnya. Barulah ia memanggil Neta dan memaksa Neta keluar kamar dengan segala cara, ia tidak mau anaknya yang cantik itu sekarat karena memutuskan mogok makan sebagai bentuk
Atmosfer ruang interogasi yang tidak pernah terasa menyenangkan semakin menyesakkan usai Sakil bertanya dengan nada meremehkan pada Ibad yang kebingungan harus memberikan jawaban apa agar Sakil tidak punya alasan untuk menjelek-jelekkan timnya, hal yang Ibad tahu pasti selalu ingin dilakukan oleh Sakil tiap kali menjumpai kesempatan. Di hadapan kedua orang itu, Fatih yang terborgol menanti dengan tegang. Sangat menyadari bahwa dua manusia yang sedang berinteraksi itu tidak memiliki hubungan yang bisa dikatakan baik. Fatih menganggap hal itu wajar saja karena siapa juga yang sudi berteman akrab dengan polisi tengik berwajah sadis yang mengenakan jaket bomber yang entah berapa hari belum diganti-ganti itu? Sebab itu, ia diam-diam mendukung agar Ibad juga ikut menginterogasinya. Setidaknya kehadiran Ibad bisa menetralisir aura menyeramkan yang menguar begitu Sakil memulai pertanyaan yang dirancang untuk menyudutkanya itu. Mungkin Ibad juga bisa berperan sebagai pawang yang mampu menge
Begitu mendengar jawaban Kala yang mengejutkan, Kila dan Pita serempak menoleh ke arah Tita yang nyengir. Kila berusaha mengingat-ingat, mungkin wajah Tita terkubur cukup dalam di lokus otaknya sehingga ia tak kunjung ingat dan tidak berniat mencoba lagi. Ia bisa mengandalkan ingatan Kala karena ia tahu adiknya adalah pengingat yang mumpuni. Kalau Kala yang bilang mereka pernah bertemu sebelumnya berarti itu benar-benar terjadi. Pita sendiri menghadiahkan Tita tatapan kagum sekaligus kesal karena Tita tidak pernah menceritakan kejadian itu kepadanya. Atau pernah tapi ia lupa? “Hehehe. Gue nggak nyangka bisa ketemu lo lagi, Ka. Lo emang nggak bisa jauh dari kasus, ya. Kemarin kasus di kampus, sekarang kasus pembunuhan. Nanti kasus apa lagi?” Kala tersenyum kecut saja menerimanya, entah Tita sedang menyindirnya atau justru salut Kala sudah tak tahu. “Wajar aja sih menurut gue kalo Kala sering ketemu kasus, dia kan kuliah di Hukum. Usai kuliah kan pasti berkutat dengan kasus-kasus. A