Elang segera pergi ke rumah Dirra ketika dia baru saja mendengar kabar terbaru mengenai apa yang terjadi di rumah mereka.Tidak banyak yang tahu, selain keluarganya serta pak RT.Dirra dan keluarganya akan pindah ke rumah di bawah beberapa minggu lagi. Tetapi hanya Kaili yang ada disana, Dirra dan Dalenna akan dibawa pergi.“Dir!” Janggala mengetuk pintu dengan kasar, dia lupa kalau ini sudah lewat tengah malam. Napasnya memburu, dia ingin segera bertemu Dirra.Beruntung, wanita itu masih bangun dan keluar dari rumah. Masih mengenakan baju tidur dengan rambut hitam panjang terurai Dirra menemui Elang. Pria itu duduk di teras rumah, masih sempat mengagumi betapa cantik Dirra yang tengah berada di depannya.“Kamu baru pulang?”“Aku baru pulang dari kota dan dengar orangtuaku cerita kamu mau pergi dengan keluarga Tantra, ada apa?” Elang bertanya dengan tidak sabar, dia ingin mendengar secara langsung penjelasan dari mulut Dirra sendiri.Dirra tidak langsung menjawab, wanita itu menyelipk
Lavani mengacak rambutnya sembari berjalan masuk ke dalam kantornya sendiri, dia melempar tasnya dengan kasar dan menjatuhkan dirinya ke atas kursi kantor yang empuk.Kepalanya penuh dengan ucapan ibu mertuanya pagi ini.Wanita tua gila itu menginginkan mantan kekasih suaminya masuk ke rumah tangga mereka, lebih gilanya lagi dia menginginkan Lavani merelakan Janggala menduakannya.Dia menggebrak mejanya, kesal.Meskipun pernikahannya dengan Janggala tidak dilandasi rasa cinta, tetap saja hal itu mengganggunya.“Hei,” Sebuah suara mengejutkannya, dari balik pintu kantor Sivan sudah berdiri dengan raut wajah kebingungan karena melihat Lavani dengan mood yang berantakan. “Kamu kenapa?” Dia berjalan mendekat ke arah meja kerja Lavani yang kini sudah mengganti posisi duduknya lebih tegak.Keduanya belum berbaikan sejak terakhir kali cekcok dan Lavani sempat menghindari Sivan beberapa hari.“Kamu pasti sudah dengar.” Lavani berkata pada Sivan yang berdiri di depannya, pria itu memakai setel
Janggala memanggil Siska sekretarisnya ketika dia baru saja sampai ke kantor, wajahnya terlihat ditekuk dan Siska bertanya-tanya apakah ini menyangkut kinerjanya yang buruk.Pria itu langsung duduk di kursinya tanpa lebih dulu membuka jas seperti biasa, dia menatap Siska dengan tatapan garang.“Kamu tahu ibu saya ke desa Permadani?” Pertanyaan itu terkesan menuduh namun juga ada rasa keingintahuan yang besar. Mata Siska mengerjap mendengar pertanyaan itu kemudian mengangguk pelan.“Nona Eveline menanyakan persoalan desa Permadani.” Jawabnya ringan karena merasa tidak ada yang salah dengan itu.“Lalu apalagi yang dia tanyakan?”Siska terdiam sebentar, menimbang apakah nantinya jawaban dia akan membuat atasannya yang usianya jauh dibawah dia ini marah atau sebaliknya.“Siska, tolong jawab saya.” Suaranya begitu tegas dan dalam, matanya yang sipit itu lagi-lagi memancarkan aura mematikan.Siska menggaruk kepalanya yang tidak gatal, anak kecil ini sudah begitu cocok jadi seorang pemimpin.
Nancy baru turun dari tangga ketika Lavani baru saja masuk dari pintu depan. Seperti sebuah mimpi buruk bagi Lavani dan sebuah keberuntungan bagi Nancy.Wanita paruh baya itu menatap Lavani dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tangan terlipat di dada.“Bagaimana perasaanmu akan punya saingan baru di rumah ini?” Dia melontarkan pertanyaan dengan nada menyindir pada Lavani yang kini menghentikan langkahnya, menoleh pada Nancy dengan kening berkerut.“Apakah mama harus melakukan hal ini hanya karena demi seorang cucu?”Nancy mendengar ucapan Lavani kemudian terkekeh, dia balas menatap Lavani.“Tentu, kamu sudah terlalu banyak melempar alasan tidak masuk akal ketika saya menginginkan seorang cucu. Alasan yang berbelit-belit, apa sulitnya memiliki seorang cucu? Kecuali kamu tidak mampu menghasilkan seorang anak.”Kata-kata itu membuat dada Lavani terasa sesak, ucapan mertuanya kali ini begitu keterlaluan baginya.“Saya sudah pergi ke Rumah Sakit dan mereka mengatakan tidak ada masala
“Ma, tolong jangan bertindak semau mama!” Janggala merangsek masuk ke dalam ruang baca ibunya setelah dia sampai ke rumah utama, tanpa basa-basi dia langsung ke intinya.Wajahnya begitu kusut.Dalam perjalanan pulang dia mendapat pesan dari Lavani untuk tidak mencarinya terlebih dahulu, dia ingin pulang ke rumah keluarganya. Dia merasa muak dan sesak berada di rumah utama sekarang.Ibunya tengah membaca beberapa berkas bersama Eveline ketika Janggala datang malam itu, dengan kacamata bertengger di hidung wanita paruh baya itu menatap Janggala.“Tidak perlu protes seperti anak kemarin sore, diam dan turuti saja perintah mama.” Jawaban Nancy membuat Janggala semakin naik pitam.“Jangan campuri urusan rumah tanggaku!” Suara Janggala meninggi, jarinya kini menunjuk sang ibu.Nancy menatap anak laki-lakinya dengan tatapan penuh amarah, dia menutup segala berkas yang tengah dia baca sedangkan Eveline sudah melip
Perpisahan adalah hal yang paling tidak Elang sukai.Perpisahan pertamanya adalah ketika kakek yang dia sayangi meninggal karena serangan jantung, dia menyayangi sang kakek. Baginya, kakek adalah orang yang paling mengerti dirinya.Namun kematian merenggut kebersamaan mereka begitu saja.Perpisahan kedua adalah ketika dia harus kembali ke kampung halaman sang ibu dan meninggalkan Dirra. Ya, sejak kecil rasa tertarik itu sudah muncul. Namun dia masih belum mengerti artinya.Elang menyukai Dirra.Setelah mereka bertemu lagi meskipun Dirra dalam kondisi yang tidak begitu menyenangkan, dia tetap menyukainya. Perasaan itu tidak pernah berubah, namun kali ini dia harus merasakan perpisahan ketiga kalinya.Dia akan membiarkan Dirra pergi dari kehidupannya untuk memasuki kehidupan baru dengan orang yang dulu meninggalkannya. Bukan, lebih tepatnya orangtua si pria yang tidak menginginkannya.“Lang, yang itu tolong masukin ke dalam kardus
Rumah yang diberikan oleh TANTRA WIBAWA sebagai kompensasi dari apa yang terjadi pada keluarga GAURI berada tidak jauh dari kaki gunung, rumah itu adalah rumah salah satu warga desa yang dalam beberapa tahun terakhir ditinggalkan pemiliknya.Sebelumnya, seorang nenek tua tinggal disana. Namun anak-anaknya kemudian membawa nenek itu ke kediaman mereka karena orangtua itu sudah tidak mampu menjalani hari-harinya sendirian.Dua hari lalu mereka selesai pindah ke rumah baru itu, rumah yang tidak terlalu besar namun pastinya akan nyaman jika ditinggali.Sejak kemarin, Dalenna sudah merengek untuk tidak meninggalkan rumah ini. Dia menangis dan bilang tidak ingin bertemu dengan sang ayah, dia ingin bersama nenek saja. Hal itu membuat Dirra jadi ikut mempertanyakan alasannya mengiyakan keinginan Nancy.Apakah benar dia menginginkan hal itu karena untuk Dalenna atau hanya untuk dirinya sendiri?Malam ini adalah malam terakhir mereka berada disana, Dirra sud
“Lo Dirra ‘kan?” Seorang bocah laki-laki berbadan tegap dengan tatapan mata yang tajam itu menatapnya. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.Dirra mengamatinya, bocah laki-laki itu memakai seragam sama dengannya. Seragam SMA DARA SEDAYU, melihat warna yang terpasang di lengan kanannya dia pastilah satu angkatan dengan Dirra.Sama-sama kelas tiga.Semilir angin memainkan rambut keduanya, bocah laki-laki dengan rambut hitam, style yang rapi. Hidungnya tinggi, bibirnya lebar dan terlihat rapi berwarna merah muda. Dirra tengah berada di bawah pohon dekat perpustakaan ketika bocah itu mendekatinya secara tiba-tiba.“Kamu siapa?” Kini Dirra balik bertanya, keningnya berkerut. Tidak merasa mengenal laki-laki itu selama bersekolah disini, atau mungkin karena dia tidak begitu tertarik dengan sekitar.Bocah laki-laki itu tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa kencang. Dirra terkejut mendengarnya, tawa itu seperti tawa yang dipaksakan.“Lo gak