Biru menginjak pedal gas hingga kecepatan mobilnya berada di angka 100, ia kesal bukan main. Kenapa orangtua begitu mengatur hidupnya ... bahkan dalam segala hal termasuk pernikahan. Bukankah itu hak seorang anak untuk menentukan siapa pasangan hidupnya, memilih pendampingnya. Kenapa bisnis dibawa-bawa ke dalam hal serius seperti pernikahan, tak adil rasanya.Orangtua tak selalu benar dan ia akan buktikan bahwa pilihan orangtuanya salah. Tidak ada cinta di antara dia dan Marsya, kata-kata "cinta akan datang dengan seiring waktu berjalan" itu tidak berlaku baginya. Karena hatinya sudah terisi oleh Sinta, dia sudah merenggut mahkota gadis itu dan ia akan bertanggungjawab meski harus mengorbankan segalanya agar bisa bersama. Dia menambah kecepatan mobilnya karena jalanan saat ini lengang, namun setelah seratus meter berikutnya ia mendadak dikejutkan oleh seorang pengendara motor yang lewat di depan mobilnya, menyebrang sembarangan. Dia menekan klakson dan pengendara motor itu
Sinta melotot, mengembalikan lagi barang tersebut. Biru menatap Sinta sekejap. "Kenapa nggak jadi ambil?" tanya Biru. "Eng-enggak, nanti aja." Sinta menatap ke depan. "Kita ke tempat yang bagus ya, aku pengen nenangin diri." "Ke mana?" "Entah," jawab Biru singkat, tanpa menatap Sinta. Percakapana berakhir, keduanya diam suasana berubah hening. Biru terus mengemudikan mobilnya, mereka melewati pintu masuk sebelah timur, setelah membayar kemudian mobil melaju dengan kecepatan sedang, barulah setelah beberapa menit Biru memarkir mobilnya dan mengajak Sinta keluar. "Kamu biasa ke sini?" tanya Sinta, menghirup udara malam yang segar dan sedikit dingin. Biru sudaj berjalan dahulu. Tempat ini sepi, lagi pula siapa yang mau ke pantai malam-malam, buat apa kalau bukan untuk menikmati suara deburan ombak di pinggir pantai, menenangkan diri. Mereka pasti suka bermain air laut di tepi pantai atau main pasir saat siang hari, saat panas matahari sedang terik-ter
Aktivitas mereka terpaksa berhenti karena ponsel Biru berdering, kekasihnya langsung menarik diri. Mencari ponselnya ke saku celana panjangnya yang sudah ia lempar sembarangan tadi. Ia menemukan ponsel tersebut ketika panggilannya telah berakhir. Biru memeriksa ponselnya sebentar lalu kembali lagi ke Sinta. "Maaf, Honey," ucapnya menyesal. "Siapa?" tanya Sinta. "Apa kita pulang aja sekarang, pasti Bapak khawatir." Sinta tiba-tiba duduk. Biru kemudian duduk di samping Sinta. "Kita belum selesai, Sayang. Aku mohon sebentar lagi," pinta Biru memelas, matanya berair. Sinta diam saja, kemudian mengangguk. Tanpa aba-aba Biru mencium bibir Sinta, mengisap bibir atasnya lembut penuh perasaan, bergantian ke bibir bawahnya. Sinta mulai pintar menciumnya, Biru diam dan ia biarkan Sinta menciumi dirinya. Tangan Biru meraba ke bukit kembar Sinta, kenyal dan berisi, putih dan lembut. Sangat menyenangkan bisa memegang dada perempuan yang biasa ditutupi itu, lelaki itu meremas d
"Hehe, itu punya kakak, khusus buat orang dewasa, besok kakak beliin mainan ya buat kamu," ucap Biru malu, melangkah pelan menghampiri Vika, memegang kedua pundaknya."Beneran, Kak?" tanya Vika antusias, sorot matanya terlihat sangat senang. "Iya, tapi jangan beli mainan aja, kita beli perlengkapan sekolah juga, tapi kamu jangan bilang ibu ya soal kotak kecil tadi," rayu Biru pada calon iparnya. "Emangnya dureksss itu apaan, Kak?" tanya Vika. Sinta langsung membungkam mulut adiknya, takut Ibu mereka datang tiba-tiba dan mendengarnya. "Bukan apa-apa, besok kakak beliin boneka sebagai gantinya, ya?"Sinta melepas tangannya dari mulut adiknya, karena takut ia digigit. "Asyiikk, janji ya, Kak?" Vika mengacungkan kelingkingnya ke atas ke hadapan Biru. "Iya ... kakak janji, lain kali kita jalan-jalan juga, kamu mau kan?" Biru menautkan kelingkingnya pada Vika, agar anak itu senang. "Yeyeyeye ... Makasih ya, Kak." "Udah kamu ke sana, kamu bal
"Tuan, saya sudah laporkan masalah kemarin ke polisi," ucap Pak Sony berdiri di depan meja Bosnya. "Baik, Pak. Ada yang lain?" tanya Biru melirik asistennya. "Untuk sekarang hanya itu saja, untuk jadwal hari ini akan disampaikan oleh Eva." "Ya." "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu," ucap Pak Sony melangkah pergi. "Tunggu, Pak. Saya lupa." Biru mengurut pelipisnya pelan. "Tolong kosongkan jadwal pukul tiga, Pak. Ada sesuatu yang penting. Oh, iya. Kalau ada tamu tanpa janji temu tolong jangan izinkan masuk." "Baik, Tuan." ***"Apa gue kembaliin aja ya duit Biru? Tapi gue juga butuh ... apa buat buka usaha?" Sinta mondar-mandir memikirkan apa yang tepat dilakukan agar hidup keluarganya sejahtera. "Apa duit itu gue kasih Bapak aja, tapi nanti pasti nanya dapet dari mana, nggak mungkin kan kalo gue bilang nemu, nggak masuk akal mesti suruh balikin."Sinta berhenti di trotoar depan kampus, menunggu di tempat teduh lalu merogoh saku
"Kita makan dulu sebelum pulang ya?" tanya Biru sambil tersenyum. "Iya, Kak. Aku mau," balas Vika semangat. Bonekanya diserahkan ke Kakaknya. Sinta tersenyum lagi, Biru ternyata bukan orang yang gampang marah, dia juga sangat penyayang ... apa jangan-jangan deketin Vika biar nanti pada setuju kalo dia ngelamar aku? Sinta memukul kepalanya, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana mungkin orangtuanya setuju, keluarga gue aja miskin," gumamnya sambil terus melangkah. Biru dan Vika sudah masuk restoran cepat saji. Biru menyuruh Vika memilih menu makanan, ketika sudah selesai dan pelayan pergi Sinta duduk di samping Vika. "Kak, aku tadi pesen burger sama kentang goreng, sama ayam juga," ucapnya selalu ceria. Sinta sejak duduk menatap Biru, dengan pakaian sederhanapun Biru sangat tampan dan mempesona, kulit putih bersih, wangi dan selalu rapi. Garis rahang yang tegas, hidung mancung, bibir tipis berwarna merah muda sangat menggoda, tiba-tiba mengingatkanny
Suara Vika memanggil dirinya sungguh pilu, tak lama Sinta muncul. Vika menangis di dekapan Biru. Ia kemudian meraih Vika dan menenangkannya. "Kakak di sini, Dek. Udah ya jangan nangis." "Kakak dari mana aja? Aku takut Kakak dijambak lagi," ucap Vika sambil terisak, ternyata anak kecil itu sedih Kakaknya disakiti orang. "Hehe ... maaf, Kakak kebelet jadi ke toilet dulu, yuk kita pulang, Dek." Sinta membukakan pintu mobil, dia masuk bersama Vika duduk bersama dibangku kedua. "Kakak jangan ke mana-mana ya," pinta Vika ia memeluk erat Sinta, begitu pun Sinta membalas erat pelukan Vika. Biru memasukkan boneka ke kursi depan dan ia juga masuk ke dalam mobil, duduk kemudian menyalakan mesin mobilnya lantas mereka pergi dari sana. Sinta dan Biru saling tatap dari kaca dalam mobil. ***Pikiran Sinta berkecamuk, ia langsung masuk ke dalam kamar tak ikut berbincang dengan Biru di ruang tamu. Sedangkan Vika sudah asyik dengan boneka barunya juga menyuruh orangt
Sinta enggan mendekat, bahkan ia tak menatap Biru sejak tadi. Ia duduk di tepi kasurnya, sedangkan Biru hendak masuk ke kamar namun dilarang oleh Sinta. "Stop! Nggak usah masuk! Mau ngapain masuk-masuk segala!" bentaknya galak. "Ya mau peluk cewekku yang lagi marah lah, mau ngapain lagi?!" Biru malah masuk, segera memeluk erat Sinta. Gadis itu tetap dengan keputusannya, ia mencoba memberontak namun Biru terlalu kuat untuk dikalahkan. Tangan kanannya terus memukul punggung lelaki itu, Biru membiarkan hal tersebut agar gadisnya lega melampiaskan amarahnya. "Lepas! Lepasin aku!" "Nggak akan, aku kangen kamu Honey." Biru mencium rambut Sinta, menghirup aroma tubuh Sinta yang selama ini membuatnya kecanduan. Setelah lima menit lamanya Sinta lelah dan akhirnya diam. Biru menarik diri, menatap Sinta yang menunduk, meraih dagunya dan mengecup bibirnya. "Oh, shit. Tutup pintunya!" seru Riko, ia menarik pintu dan menutup kamar Kakaknya, sedangkan Biru melepaskan bibirnya dari kekasihnya,