Berbeda dengan suara tawa di dapur, Jihan yang berada di ruang tamu malah tampak gelisah.Tepat pada saat itu, Jihan melihat Gisel berlari ke bawah sambil memeluk sekantong keripik kentang.Untuk pertama kalinya, Jihan melambaikan tangannya ke arah Gisel. "Veraya, sini."Gisel mengira dia ketahuan mencuri makanan ringan, jadi dia refleks menyembunyikan bungkus keripik kentang itu di belakang punggungnya dengan takut. "Aku cuma makan sedikit kok, Paman, tolong jangan hukum aku."Jihan tidak peduli berapa banyak yang Gisel makan, dia hanya mengedikkan dagunya sambil berkata, "Aku nggak akan menghukummu kalau kamu mau membantuku."Saat itulah Gisel baru berani berlari menghampiri Jihan. "Paman mau minta tolong apa?"Jihan melirik ke arah dapur, lalu berkata, "Bantu aku bujuk bibimu."Gisel langsung paham. "Paman habis membuat bibiku marah, ya?""Nggak usah tanya-tanya apa yang nggak seharusnya kamu tanyakan," jawab Jihan sambil melirik Gisel.Gisel menggaruk kepalanya. "Paman yang minta t
Sekitar pukul 22.00, Wina akhirnya keluar dari kamar Gisel. Jihan yang sedang bersandar di tangga pun bergegas maju dan menggendong Wina ala tuan putri.Sambil berjalan keluar, Jihan membujuk Wina dengan suara rendahnya yang khas, "Jangan marah, ya Sayang? Kamu boleh kok pergi ke klub Nona Sara, nanti biar aku yang antar."Nada bicara Jihan terdengar seperti orang yang terpaksa menyerah setelah dianiaya. Namun, Wina menolak mengalah begitu saja. "Aku ingin pergi sendiri."Tubuh Jihan langsung menegang. Wajahnya yang tampan terlihat marah. "Wina, kamu tahu betapa sayangnya aku padamu.""Kalau kamu sayang, apa itu berarti kamu berhak memperlakukanku dengan dingin setiap kali kamu lagi marah?"Jihan refleks mengernyit."Aku bakal berubah."Jihan mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencium bibir Wina. "Beri aku kesempatan lagi."Wina merasa garis pertahanannya sudah dipatahkan, tetapi dia tetap menahan diri. "Aku sudah berjanji pada Valeria."Jihan mengatupkan bibirnya, ekspresinya terliha
Pada akhirnya, Jihan dan Wina sendirian di dalam ruang privat.Jihan menatap Wina sebentar, lalu perlahan-lahan tersenyum penuh makna."Sayang, kalau memang kamu mau bergadang main, sini biar kutemani."Jihan pun membuka kerah kemejanya, memperlihatkan jakunnya yang seksi dan tulang selangkanya yang menawan.Jihan menghadap lampu ruang privat yang agak remang-remang, lalu sedikit membungkuk sambil menindih Wina dengan meletakkan tangannya di kedua sisi sofa.Jihan mendekat ke bibir Wina, lalu berbisik, "Nah, kamu mau main gimana?"Wina takut sekali termakan rayuan Jihan. Dia mengepalkan tangannya dan sengaja memasang ekspresi tidak tergoda. "Aku sudah nggak mau main lagi, ayo pulang."Jihan mengabaikannya dan menundukkan kepalanya untuk mencium Wina, tetapi Wina menghindar. Hati Jihan sontak terasa dingin.Dia menatap Wina yang acuh tak acuh selama beberapa detik, lalu membenamkan kepalanya di bahu Wina dan berkata dengan frustrasi, "Wina, berhentilah membuat masalah."Ini adalah perta
Ciuman Jihan terasa seperti sengatan listrik yang membuat Wina mati rasa.Tubuh Wina yang tegang berangsur-angsur rileks, sementara jemarinya yang mencengkeram bahu Jihan mulai menegang.Jihan menyadari perubahan reaksi tubuh Wina. Dia makin kuat mencengkeram pinggang Wina.Ciuman Jihan terus menggerayangi leher dan tulang selangka Wina."Tadi kamu panggil aku apa?"Wina tetap menolak menjawab."Jawab."Karena Wina masih diam, ciuman Jihan pun tiba-tiba berubah menjadi ciuman penuh gairah.Wina mulai merasa lemas, tetapi tetap berusaha menjawab,"Ji ... Jihan. Kamu nggak mau kupanggil begitu?"Jihan tersenyum dengan kesal, lalu menggendong tubuh Wina di atas bahunya dengan satu tangan.Kemeja tipis Wina langsung basah kuyup diguyur air hangat, kulitnya yang putih mulus langsung terpampang di hadapan Jihan.Jihan menatap aset kebanggan Wina selama beberapa detik, lalu menunduk dan menggigitnya dari balik pakaian Wina yang tipis.Wina langsung menyerah."Aku nggak berani lagi kayak gitu,
Jihan butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan satu putaran. Saat sudah selesai, waktu sudah menunjukkan jam 12 siang.Ponsel Wina hampir meledak karena diteror telepon Artha, pada akhirnya Artha langsung datang ke rumah Wina.Wina tersipu. Setelah mandi, dia duduk di hadapan Artha...Melihat Wina terhuyung-huyung saat berjalan, Artha bertanya, "Nona Wina, kamu sakit?"Wina ingin menjawab, tapi saat dia membuka mulutnya, tenggorokannya sangat kering dan tiba-tiba batuk parah.Melihat Wina sakit parah, Artha pun tidak enak hati mengeluh dan hanya mengucapkan sebuah kalimat."Waktu pengacara itu sangat berharga, lain kali tepat waktu, ya."Setelah Wina pulih, dia tersipu dan meminta maaf."Maaf, lain kali aku pasti tepat waktu ....""Kalau telat nggak apa-apa, kabari aku saja kalau sakit."Artha meliriknya lagi."Kamu nggak sakit parah, 'kan? Nggak akan memengaruhi persidangan, 'kan?"Wina tersipu dan menggelengkan kepalanya."Ah nggak, besok pasti sudah sembuh."" ... "Pria yang
Setelah Artha pergi, Paman Rudi datang dan berkata, "Nyonya, Jodie mencarimu."Wina yang sedang membolak-balik informasi, mengangkat kepalanya karena terkejut, "Mencariku?"Dia tidak banyak berhubungan dengan Jodie. Setiap kali mereka bertemu, itu hanya kebetulan."Apa terjadi sesuatu?""Dia nggak bilang apa-apa, cuma minta Nyonya keluar sebentar."Pria yang duduk di sebelahnya memegang informasi dengan jari-jarinya yang agak kaku dan wajahnya perlahan menjadi gelap.Setelah Wina menyadarinya, dia segera memegang lengannya dan membujuknya dengan lembut, "Sayang, ikut aku."Jihan mengulas senyum terpaksa, "Kamu aja, aku masih ada urusan."Jihan tidak marah saat Jodie datang menemui Wina, dia bahkan tersenyum.Wina tidak memaksa karena berpikir Jihan sungguh punya urusan lain.Melihat sosok mungil yang perlahan menghilang dari pandangan, Jihan meremas informasi di tangannya dengan erat.Sore itu cukup terik. Wina memegang payung hitam dan memandang Jodie di luar pintu besi besar.Dia men
Hal yang paling dia pandang rendah sebelumnya adalah wanita Jihan.Sekarang?Dia ternyata merindukan wanita Jihan?Jodie jadi merasa sangat kesal!Sambil menahan amarahnya, dia mengambil kotak hadiah dari kursi penumpang dan menjejalkannya ke tangan Wina.Dia seharusnya pergi setelah mengisinya, tapi karena dia terburu-buru, ujung jarinya secara tidak sengaja menyentuh tangannya.Sentuhan hangat menerpa dirinya dan Jodie terpental seperti kentang panas.Namun, bahkan setelah dia meninggalkan sumber api, ujung jarinya masih terasa panas seperti terbakar api.Ia mundur dua langkah, lalu dengan cepat berjalan mengitari bagian depan mobil, masuk ke dalam mobil, lalu menginjak pedal gas hingga ke bawah.Saat Wina hendak mengangkat kepalanya dan mengucapkan 'terima kasih', dia melihat mobil Jodie menabrak pohon besar di pinggir jalan.Matanya membelalak kaget dan sebelum dia sempat bereaksi, dia melihat mobil itu lagi, berayun keluar, lalu pergi dengan cepat.Dalam waktu singkat, mobil terse
Ini adalah pertama kalinya Jodie memasuki Bundaran Blue Bay. Ketika dia melihat lingkungan di dalamnya, dia sedikit terkejut.Paman Rudi mengikuti di belakang dan memperkenalkan, "Tuan Muda Jodie, apa yang kamu lihat semuanya dirancang oleh nyonyaku."Setelah berbicara, Paman Rudi dengan sengaja menekankan, "Ini adalah hadiah pernikahan yang khusus dia berikan kepada Tuan Muda Jihan."Hadiah pernikahan ....Jodie pun mengatupkan bibirnya. "Itu bukan urusanku."Paman Rudi tersenyum. "Tentu saja bukan urusan Tuan Muda Jodie, aku hanya ingin memberitahumu."Jodie mengabaikan Paman Rudi dan langsung berjalan memasuki rumah bak istana itu.Begitu melangkah masuk, foto pernikahan Jihan dan Wina tergantung di mana-mana.Di setiap foto, keduanya saling menatap sambil tersenyum bahagia.Setelah melihat sekeliling satu per satu, matanya tertuju pada Jihan yang berdiri di tangga spiral.Pria berkemeja putih itu sedang menatapnya dengan kepala sedikit dimiringkan dan sorot matanya tidak jelas.Tep