Share

6. Hal yang Tak Bisa Kuberikan

Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya. 

Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih.

"Lepaskan tanganku, Mas!” 

Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya.  

"Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya. 

Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.

Mia, dengan mata yang berkilat luka, menatap Nathan. "Kamu lebih memilih dia, Mas?" 

Nathan menghela napas panjang, matanya melembut sejenak sebelum kembali mengeras. "Jangan buang energi untuk hal semacam ini, Mia. Tenanglah," bujuknya.

"Hal semacam ini?” Mia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia menghinaku dan Rival. Menurutmu, ini hal sepele?” Mia mengibaskan tangannya dan kali ini Nathan melepaskannya, namun malah membuat tubuh Mia terhuyung ke belakang. Nathan cepat-cepat mengulurkan tangan untuk menahannya, tapi terlambat, punggung Mia telanjur membentur lemari jati di belakangnya dengan lumayan keras. 

"Aku lelah denganmu, Mas." Mia berkata lirih, suaranya hampir tenggelam dalam isak tangis, merasa sakit di hati dan juga di punggungnya. Iapun bergegas pergi meninggalkan Nathan yang sibuk menenangkan tangisan Alyra.

Air mata mengaburkan pandangannya saat Mia berjalan cepat menuju kamarnya, kesedihan menyesakkan dadanya. Begitu sampai di kamar, Mia mengunci pintu, mengurung dirinya dalam keheningan yang menyakitkan.

Tangis Mia pecah tanpa bisa dibendung lagi. Hatinya semakin sakit ketika menyadari bahwa Nathan tidak menyusulnya atau berusaha membujuknya agar berhenti menangis. Padahal biasanya, setiap kali mereka bertengkar, Nathan akan mengetuk pintu dengan lembut, memohon maaf dan menenangkan Mia dengan pelukan hangat dan kata-kata manis.

Tapi kali ini, tidak ada ketukan di pintu. Tidak ada suara Nathan yang mencoba membujuknya. Keheningan di luar kamarnya terasa menusuk, membuat Mia merasa semakin terluka dan terabaikan. 

"Dia sekarang pasti sibuk menenangkan tangisan Alyra dan Vena," gumam Mia sambil tersedu-sedu, hatinya semakin perih dengan pikiran itu.

Mia merosot di sisi tempat tidurnya, memeluk bantal dengan erat. Isaknya semakin menjadi, mengisi ruangan kamar yang terasa begitu sepi dan dingin. Bayangan masa-masa bahagia bersama Nathan melintas di benaknya, membuat luka di hatinya semakin dalam. Dia teringat bagaimana dulu Nathan selalu ada untuknya, menjadi pelindung dan penghibur dalam setiap keadaan.

Sekarang, Mia merasa sendirian, terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Dia meringkuk di sudut ranjang, berharap keajaiban bisa mengembalikan Nathan yang dulu, pria yang selalu memprioritaskan dirinya di atas segalanya. Namun, kenyataan yang ada di hadapannya sekarang terasa begitu berbeda dan menyakitkan, menghancurkan harapan-harapan yang pernah dia miliki.

Suara Vena terngiang kembali di telinganya, "Kamu hanyalah wanita bekas pakai pria lain, sedangkan aku… benar-benar telah mempersembahkan kesucianku untuknya.

Kata-kata Vena itu memukul batin Mia berulang kali. Tiba-tiba, Mia merasa rendah diri karena Vena telah memberikan Nathan satu hal yang tak pernah bisa ia berikan untuk suaminya itu sampai kapanpun, yaitu kesuciannya.

Mia menatap bayangannya di cermin, mengingat masa lalunya yang penuh gejolak. Dia memang sedang dalam kondisi mengandung Rival saat menikah dengan Nathan. Kehamilannya itu bahkan sempat tak ia sadari. 

Saat itu, Mia masih kuliah di Bandung dan sudah memasuki semester enam, sibuk dengan pengajuan judul skripsi. Namun di tengah kesibukannya itu, Mia tetap menyempatkan diri untuk menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Dia ingin memberikan dukungan untuk Max yang ikut berlaga membela timnas sepakbola Indonesia.

Sepulangnya dari GBK, Mia menginap di rumah Nathan. Pria itu terbelalak memandangi Mia yang berpakaian jersey merah timnas sepakbola Indonesia dengan kedua pipinya yang bergambarkan bendera merah-putih. 

"Mia? Kamu nonton bola? Ke GBK? Dari Bandung? Sendirian? Baru pulang semalam ini?" cecar Nathan. Ah, Nathan memang suka sekali overthinking terhadap segala sesuatu yang Mia lakukan. 

Mia cuma nyengir kuda menerima tatapan tajam dari seorang Nathan Romeo. Dia tahu, semarah apapun, Nathan pasti akan lekas kembali baik kepadanya.

So what?” Mia menyahut santai, tapi kemudian gadis itu memekik kaget karena tiba-tiba saja Nathan menjewernya seperti anak kecil. 

Sial. Galaknya Nathan masih saja nggak ada obat! 

“Gimana kalau pertandingan bolanya berakhir rusuh, heh? Kalau kamu sampai kenapa-napa gara-gara bola seperti ayahmu, bayangin... gimana perasaan ibumu?" Tatapan Nathan menghunus tajam.  

Mia tercekat saat Nathan kembali mengungkit kematian ayahnya yang meninggal sebagai korban tawuran antar suporter klub sepakbola di Bandung pada lima tahun silam. Sejak saat itu, ibunya menjadi trauma dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola. Karena itulah Mia menutupi hubungannya dengan Max, yang merupakan atlet sepakbola. Mia juga melarang Max untuk tidak mempublikasikan hubungan asmara mereka.

Esok harinya, Mia muntah-muntah dan tidak enak badan. Sampai-sampai  dia tak punya energi untuk kembali ke Bandung. Mungkin maagnya sedang kambuh, pikirnya. Mia terpaksa menginap lebih lama di rumah Nathan, hampir seminggu.

Pagi itu, Mia kembali muntah-muntah hebat hingga tubuhnya lemas. “Kamu harus ke dokter sekarang!” Nathan langsung menggendong Mia dan membawanya ke rumah sakit, karena Mia selalu saja menolak tiap disuruh baik-baik.

Dan alangkah kagetnya mereka ketika dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya, "Ibu Mia positif hamil. Untuk sementara, Ibu perlu dirawat karena mengalami hiperemesis."

Melalui ekor matanya, Mia bisa melihat Nathan langsung menoleh kepadanya. Pria itu juga pasti syok seperti dirinya.

Begitu Mia sudah terbaring di ruang perawatan, Nathan langsung mencecarnya. "Siapa bajingan itu, Mia?" Suara dingin Nathan bagai pisau yang menusuk-nusuk Mia dengan ketakutan.

Mia tak sanggup memandang wajah kakak sepupunya itu. Dia menunduk, matanya terpaku pada selang infus di tangannya.

"Kamu pikir air matamu bisa menjawab pertanyaanku, Mia?" Dalam suara Nathan mengandung kemarahan yang menyala-nyala. 

Mia bungkam seribu bahasa, berbanding terbalik dengan berisiknya suara televisi di ruang perawatan VIP itu, yang sedang ramai menayangkan siaran pertandingan final sepak bola antara Indonesia dengan Irak. 

“Gol…! Pemirsa, tendangan yang sangat cantik dari gelandang muda kita, Max Julian! Akhirnya menjadi gol untuk Indonesia.”

Suara komentator mengisi keheningan, membawa ironi yang begitu menyakitkan bagi Mia. 


***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status