Share

8. Gadis Tribun

Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan.

Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. 

Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat.

"Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.

“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.

“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.

“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.

Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. 

Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.

Max menggiring bola melewati pemain lawan dengan keterampilan yang mengagumkan. Jantung Mia mencelos saat lawan tiba-tiba saja melakukan tekel keras terhadapnya, tapi Max segera bangkit dan berusaha merebut bola kembali. 

Suasana di stadion semakin intens, sorakan dan teriakan suporter kian menggema, menciptakan gelombang suara yang menggetarkan.

Sebuah momen krusial akhirnya terjadi. Max menerima umpan dari rekan setimnya dan dengan satu sentuhan, dia melepaskan tendangan keras ke arah gawang. 

Bola melesat seperti peluru, mengarah tepat ke sudut atas gawang. 

Kiper lawan melompat, tetapi usahanya sia-sia. Bola memantul di dalam jaring, dan seluruh stadion meledak dalam sorakan kemenangan.

“Gol…!”

Mia berdiri bersama ribuan suporter lainnya, tubuhnya bergetar oleh adrenalin. Dia berteriak bersama mereka, meluapkan emosinya yang campur aduk. 

Mia melihat Max berlari ke arah tribun, merayakan golnya dengan penuh kebanggaan. Mia merasa dadanya sesak oleh perasaan yang tak terungkapkan.

Dan di tengah keramaian itu, mata mereka pun bertemu. 

Max tampak terkejut melihat Mia di sana, namun senyumnya tetap mengembang. Ada sesuatu dalam tatapan Max yang membuat Mia merasa lemah. Seolah-olah, hanya dengan melihatnya, dia bisa merasakan setiap emosi yang dirasakan Max. 

Ada kebahagiaan, semangat, bahkan kepedihan yang terselubung di balik senyumnya.

Dan itu membuat dada Mia berdebar.

Tiba-tiba, Max membentuk "love sign" dengan tangannya, tatapannya masih terarah padanya. Riuh seisi tribun semakin menggema dengan teriakan para penggemarnya.

“Max is so sweet!” Michella berteriak histeris. “Dia menunjukkannya padamu di depan puluhan ribu orang ini, Karin!” serunya sambil bertepuk tangan keras.

Mia ikut bertepuk tangan, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. 'Itu buat Karin, bukan buatku,' pikirnya sambil menoleh kepada Karin. 

Namun, ada sesuatu yang membuatnya tetap berharap. 

Permainan Max selanjutnya terlihat lebih agresif. Setiap tendangan dan operan bola dari Max tampak akurat, sayang rekan-rekannya belum mampu mengeksekusi umpan-umpannya dengan sempurna.

“Yo… ayo… Ayo Indonesia…! Kuingin… kita harus menang…!” Nyanyian Ultras Garuda dan La Grande Indonesia kembali membakar semangat. 

Mia ikut bernyanyi hingga peluit panjang akhirnya ditiup oleh wasit. Mia tetap puas meskipun timnas Indonesia kalah satu angka dari Jepang. 

Pertandingan telah selesai. Tapi bagi Mia, pertempuran batinnya masih jauh dari selesai. 

Setelah meninggalkan stadion nanti, dia harus kembali pada realitas yang menantinya.

***

Max menjadi pemain terakhir yang memasuki bus timnas yang telah menunggu. Dia tertahan cukup lama oleh penggemar yang minta foto bersama dan tanda tangan. 

Dia bisa saja menolak mereka, namun ada rasa tidak tega. Max tahu, para penggemar itu pasti telah mengeluarkan upaya lebih demi bisa memiliki pengalaman sedekat itu dengannya.

“Kamu sepertinya panen hadiah lagi, Max!” goda rekan-rekannya yang sudah duduk manis di dalam bus yang siap membawa mereka menuju hotel.

Tanpa ragu, Max membagikan hadiah-hadiah yang diterimanya dari para penggemar kepada teman-temannya. Dia sudah menerima terlalu banyak dan ingin berbagi dengan yang lainnya. 

“Max, headphone cakep nih!” kata seorang teman yang langsung membuka hadiahnya.

“It’s yours.” Max tak akan mengambil apa yang telah ia berikan. Dia kemudian duduk di kursi paling belakang dan mendengarkan musik dengan santai.

Setibanya di hotel, Max segera turun dari bus dan berjalan cepat menuju kamarnya. 

Di lobi, dia berpapasan dengan seorang pria yang menggendong anak lelaki yang tertidur di pundaknya. 

"Udah nggak mimisan, kan?" Pria itu mengulurkan tangan, membelai kepala bocah yang berada dalam gendongan wanita di sebelahnya. Suaranya terdengar penuh perhatian. 

Tampaknya mereka juga tamu di hotel ini, seperti sebuah keluarga pada umumnya.

Max hampir saja melewatkan mereka tanpa berpikir dua kali, namun tiba-tiba matanya terbuka lebar ketika menyadari bahwa pria yang sedang menggendong anak itu adalah... Nathan.

Max tercengang. 

"Bukankah Nathan sudah menikah dengan Mia? Tapi kenapa dia bersama wanita lain?" gumamnya heran. 

Wajah Max dipenuhi tanda tanya. 

Ingatan tentang pertemuan mereka tiga bulan lalu di sebuah hotel kembali melintas di benaknya. 

Waktu itu, Max juga sempat melihat Nathan bersama wanita selain Mia, yang dikiranya sebagai istri Nathan. 

Max menyipitkan mata, mengamati gerak-gerik mereka. 

"Apakah… Nathan selingkuh?” Kening Max berkerut dan kedua alisnya yang tebal saling bertaut. “Tapi saat itu Mia juga melihat mereka sedang bersama, tapi kenapa Mia tak terlihat marah?”

Tiba-tiba, ada yang terasa sakit di hatinya.

Esoknya, Max menelepon Karin yang terdengar antusias menerima telepon darinya. 

Max tahu Karin menyukainya, gara-gara permainan “truth or dare” sialan yang berujung dia harus mencium Karin, dan membuat wanita itu terbaper-baper padanya. 

Ditambah “love sign” yang dia berikan semalam ke arah tribun VIP untuk Mia. Karin malah mengira itu untuknya dan segera membalasnya dengan “love sign” juga. 

“Kamu punya nomornya Mia?” tanya Max tanpa basa-basi.

“Mia?”

Max menahan kesal mendengar nada bicara Karin yang seolah tak mengenal temannya sendiri, padahal jelas-jelas Max melihat mereka mengobrol di tribun dan foto bersama. 

“Oh, maksudmu… temannya Michella itu?”

Max tak tahu siapa itu Michella, tapi dia mengiyakan saja. 

“Kok kamu kenal Mia?” Nada suara Karin terdengar seperti merajuk. “Sejak kapan?”

“Bisa kirim nomornya sekarang, tolong?” Max segera menyela, tak ingin memberi Karin kesempatan bertanya lebih jauh.

***



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status