Share

7. Tersisih di Rumah Sendiri

Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. 

Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.

Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.

Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia segera beranjak mandi, berharap air dingin bisa menyegarkan diri dan pikirannya sebelum berjibaku dengan urusan rumah tangga. Memasak, menjaga kebersihan rumah, menata taman, mendampingi Rival bermain dan belajar, serta memastikan kebutuhan suaminya terpenuhi. Itu semua yang diharapkan Nathan darinya.

“Biar aku saja yang bekerja, Mia. Aku tak mau kamu nanti lelah untuk urusan di luar kita. Lagipula, bukankah aku sudah menjamin semua kebutuhan finansialmu dan juga Rival? Kalau masih kurang dengan uang bulanan yang kuberikan buat shopping, tinggal bilang saja.” Begitulah Nathan pernah berkata, saat Mia ingin berbisnis untuk mengisi waktu luangnya.

Sebagai istri dari seorang presiden direktur yang sukses, kehidupan Mia memang tergolong makmur. Dia bisa saja menghabiskan waktunya dengan santai keluar rumah, kongkow bersama geng sosialita, dan bersenang-senang. Tapi Mia bukan jenis orang yang seperti itu. Dia tidak suka basa-basi, apalagi dalam rangka pamer kesuksesan dan harta benda. Mia sudah terbiasa hidup kaya sejak kecil, dia tidak butuh pengakuan sebagai orang kaya dari siapapun.

“Bik, tolong ke kamar Rival. Kalau dia masih tidur, suruh bangun. Biarpun ini hari libur, tapi dia harus tetap mandi pagi,” kata Mia saat bertemu dengan si bibik di area dapur.

“Mas Rival ikut pergi sama Tuan, Nyonya. Mereka berangkat sebelum jam lima pagi tadi.”

Mia mengerutkan kening. “Kemana?” selidiknya dengan nada kesal, bisa-bisanya Nathan membawa Rival pergi tanpa bilang-bilang lebih dulu padanya.

“Katanya mau jalan-jalan sama non Alyra.”

Jantung Mia seperti ditusuk jarum. “Vena… ikut?” Dan anggukan si bibik pun kian menambah rasa nyerinya. 

Mia menampilkan wajah baik-baik saja, meskipun dalam hatinya terasa sakit karena tersisihkan. Bisa-bisanya mereka semua pergi, tanpa dirinya. 

Untuk meluapkan kesedihannya, Mia pergi main tenis hari itu. Setiap pukulan smash yang ia lepaskan memuat seluruh kemarahan dan kekecewaannya, membuat lawannya kesulitan menandingi serangan-serangannya yang mematikan.

"Wow, Mia! Kamu seperti kesetanan saja?" goda Michella, salah satu temannya di klub tenis, dengan senyum setengah heran.

Mia meneguk minum dari sebuah botol, mencoba meredakan denyut cepat di dadanya. "Kenapa? Apa biasanya pukulanku selemah itu?" 

Michella terkekeh, matanya berbinar memandang Mia. "Tidak, kuakui kamu memang jago. Tapi kali ini, luar biasa. Biasanya aku yang selalu memenangkan pertandingan kita, bukan?" katanya sambil menyeka keringat di keningnya, kelelahan setelah bermain tiga set yang sengit dengan Mia.

Sekembalinya ke rumah, Mia uring-uringan karena ternyata Nathan dan Rival masih belum pulang. Dia mengecek ponselnya dan baru menyadari ada beberapa panggilan tak terjawab dari Nathan. Ada beberapa pesan darinya.

[Mia, maaf tadi pagi aku tak tega membangunkanmu, kamu kelihatan capek banget dan lelap sekali tidurnya. Sedangkan aku sudah janji sama anak-anak untuk mengajak mereka melihat sunrise di pantai.]

[Kata si bibik kamu tadi pergi main tenis? Pantas teleponku tidak kamu angkat.]

[Sayang, malam ini kami mau menginap di hotel. Sini menyusullah. I miss you.]

Mia tersenyum sinis. Menyusul mereka dengan kondisi hatinya yang telanjur sekesal ini bukanlah ide bagus. Bisa-bisa dia nanti malah bertengkar lagi dengan Vena, atau lebih parahnya dengan Nathan.

“Biarlah Mas Nathan puas bermain dengan Rival dan Alyra di akhir pekan ini. Lebih baik aku menenangkan diri di rumah saja.”

Mia mengusap wajahnya, mencoba menyingkirkan perasaan cemburu dan tak berdaya yang terus menghantuinya. “Alyra sedang sakit dan Mas Nathan hanya ingin memberikan perhatiannya sebagai seorang ayah. Aku harus mengerti.” 

Dia tahu, dia harus bersabar. Namun, di balik kesabarannya mempertahankan keharmonisan rumah tangganya bersama Nathan, ada rasa takut yang terus mengintai. Rasa takut bahwa, pada akhirnya, dia akan benar-benar kehilangan Nathan.

Mia duduk merenung di kamarnya. Dia seorang introvert, dia biasa beraktivitas dalam kesendirian, tapi dia tak pernah merasa kesepian seperti sekarang. 

Tiba-tiba, Mia teringat sesuatu. “Ah, iya. FIFA Matchday!” 

Mia melirik jam digital yang ada di nakas. “Masih ada waktu.” Tanpa pikir panjang, iapun menyambar kunci mobilnya. Ada dorongan tak tertahankan untuk melarikan diri dari semua kesedihan dan kekecewaan yang selama ini menghimpitnya. 

Mia menuju Stadion GBK dengan semangat membara di dadanya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan euforia menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion. Nathan selalu melarangnya, meremehkan hobinya sebagai sesuatu yang tidak layak bagi istri seorang presiden direktur. Tapi hari ini, Mia tidak peduli. Hari ini, dia akan hidup untuk dirinya sendiri.

Mia membeli tiket lewat calo biarpun harganya melambung tinggi. Uang tak masalah baginya. Tak ada yang bisa menghentikannya hari ini. Dia merindukan gemuruh penonton, hiruk-pikuk stadion yang selalu membuat darahnya berdesir.

Mia tersenyum lebar begitu kakinya menginjak tribun VIP. Setiap langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini menekannya perlahan menghilang. Dia duduk di salah satu kursi, menghirup dalam-dalam atmosfer stadion yang penuh semangat. Gemuruh suara suporter serta nyanyian ‘Ultras Garuda’ dan ‘La Grande Indonesia’ mengisi setiap sudut udara. Hatinya bergetar, mata Mia berkaca-kaca oleh keharuan. Akhirnya, dia kembali.

Tepukan kecil di pundaknya membuat Mia menoleh. “Michella? Kamu juga di sini? Sejak kapan suka bola?” tanyanya dengan nada terkejut namun senang.

Michella mengedikkan bahu. “Aku cuma diajak sama Karin,” jawab Michella sambil menunjuk wanita cantik di sebelahnya. “Kenalkan, Karin ini temanku. Pacarnya pemain timnas, mau turun tanding.” Michella mengedipkan sebelah mata.

Mia mengangguk kecil seraya tersenyum pada Karin yang tampak tersipu sambil mencubit lengan Michella. “Nomor punggung 23,” Michella pura-pura berbisik pada Mia, seolah itu masih rahasia, membuat Karin mencubitnya lagi.

Mia pun tercekat ketika menyadari bahwa pemain bernomor punggung 23 yang ikut berlaga malam ini adalah... Max. 


***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status