“Mbak Mina, kenal sama Firman, kan? Dia saudaraku, Mbak! Dia mau datang ke acara pernikahan Mbak besok!” Itu bunyi pesan yang sepertinya akan menimbulkan banyak masalah, maka aku langsung menjawab pesan, saat itu juga dengan menolaknya secara tegas. Aku punya firasat bahwa memar di wajah Mas Ragil ada hubungannya dengan dua orang itu—Abid dan Firman. Walau aku tidak tahu apa pun penyebabnya, tapi tatapan mata Abid dan Mas Ragil saat bertemu di ruang tamu dan ruang makan tadi malam, sudah menjelaskan semuanya. Jelas sekali ada amarah menyala pada tatapan mereka. Setelah sholat subuh, aku masih merenung di atas sajadah tentang kehidupanku selanjutnya, akan seperti apa nanti jika masalah antara aku dan Abid akan terkuak, sebab sebuah rahasia tidak akan tersimpan selamanya.Namun, pernikahan ini sudah aku setuju, dan demi membantu menyempurnakan separuh agama calon suami. Oleh karena itu aku yakin untuk menjalaninya sepenuh hati. Aku memejamkan mata untuk meluruskan niat melaksanak
Aku menaruh vas bunga di atas karpet dekat kamar, lalu menghampiri bapak.“Apa? Surat mahar, emangnya mahar ada suratnya? Surat mas kawin ... gitu kali maksud Bapak?”“Bukan!” kata Bapak setelah aku dekat dengannya, lalu beliau merangkum bahuku dengan lembut. Aku merasakan kehangatan seorang ayah saat ia memelukku.Setelah aku ada di kamarnya, ternyata Ibu pun sudah ada di sana, aku tahu hari ini bukan cuman aku yang jadi ratu, tapi ibuku juga. Jadi, wajar saja kalau dia tidak membantu orang-orang di dapur, tapi justru sibuk mengurus segala sesuatu yang tidak ada urusannya dengan masakan. Dia pasrah dengan makanan yang akan dihidangkan nanti di pesta anaknya. Aku lihat tadi semuanya hampir selesai karena semua dipimpin oleh hikmat oleh Bulik Lastri sebagai kepala juru masaknya. Besek-besek khas desa dari bambu, yang dibuat sedemikian rupa sudah dilapisi daun, menandakan siap dimasuki makanan, nasi dan beserta lauk-pauknya. Aku juga sudah melihat tadi beberapa Ibu mengupas beberap
POV Author “Paman? Ada apa Paman ke sini, pagi-pagi begini,” kata Ragil.Pagi itu ia duduk berhadapan dengan Leo—pamannya, yang sengaja mendatangi kamarnya. Mereka tampak bicara serius tentang, keadaan yang dialami oleh Ragil. Sangat memilukan menurutnya sebab sebelum datang melamar Mina ke rumah orang tuanya, Ragil sempat berkelahi dengan seseorang yang ia tahu bernama Firman.Leo tidak setuju dengan sikap Ragil yang tidak jujur soal keadaan itu pada calon istrinya. Apalagi tentang identitas pribadi Ragil—yang ditutupi selam ini—sehingga keponakannya itu diperlakukan tidak pantas oleh orang lain.“Mau sampai kapan kamu seperti ini?” kata Leo, ia menatap serius keponakannya yang masih mengompres wajahnya dengan air es agar bengkak di pipinya hilang.“Paman bicara soal apa ini? Kalau tentang siapa diriku sebenarnya, aku tidak perlu mengatakannya pada siapa pun karena itu tidak penting!” “Itu artinya, kamu rela kalau ada orang lain merendahkanmu seperti yang dilakukan laki-laki
POV Author “Kalau kamu menikah nanti, jangan tinggal satu rumah lagi dengan Mela, biar istrimu bisa tenang, kamu tahu Mela ngeyelnya kayak apa?” Setelah memberikan nasihat seperti itu, Leo pun keluar dari kamar Ragil. Ia pergi mengajak anak dan istrinya untuk berkeliling hotel menikmati udara pagi di desa itu yang sangat jarang ia temui.Sementara Ragil hanya menatap keluarga kecil itu dari atas balkon di mana kamar hotelnya berada. Ia memikirkan Mina dan pakaian yang dikenakannya, untuk lamaran kemarin malam adalah baju pemberiannya. Sebenarnya Ragil ingin baju itu dipakai istrinya saat pembacaan akad nikah mereka hari ini. Namun, ia menghargai Mina dan segala keputusannya, dan ia terlihat begitu cantik dengan pakaian pemberiannya itu. Soal pakaian memang tidak penting adanya, maka ia merelakan saja. Terserah Mina mau pakai baju yang mana saja. Ia sudah harus bersyukur sebab semuanya berjalan sebagai mana mestinya.Namun, ia belum mau menjawab pertanyaan yang diutarakan Mina tent
POV AUTHOR “Gil! Mbak Mina belum tahu siapa sebenarnya aku, kan?” tanyanya penasaran.Mendengar pertanyaan itu Ragil yang sudah hendak beranjak ke kamar mandi pun menoleh kepada kakak perempuannya lagi.Ia menggelengkan kepala sambil berkata, “nggak dia udah tahu kok aku soalnya udah bilang kalau teh Mela kakakku!”“Ih, kamu ini!” Mela berkata tampak kecewa, lalu ia keluar kamar sambil menggamit tangan suaminya yang sejak tadi hanya diam dan sibuk dengan ponselnya.Mela sebenarnya ingin memberi kejutan pada Mina. Ia akan memberitahunya secara langsung kalau dirinya bukanlah ibu kos, melainkan hanya menjalankan tugas dari Ragil. Ia menagih uang kontrakan setiap bulan karena laki-laki itu tidak mau melakukannya sendiri. Ragil merasa riskan kalau tiap bulan menagih uang kontrakan dari para penghuninya, yang kebanyakan perempuan. Sementara mulut para wanita penghuni kontrakan itu kebanyakan nyinyir.Mela berada di sana atas keinginannya sendiri dan melakukan tugas itu pun atas ke
“Mina, kamu di dalam kamar saja, nanti kamu keluarnya kalau sudah rapalan ijab kabul, ya?” kata ibuku seraya memandangku—anak perempuannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Salah tingkah aku jadinya sebab ibu seolah terkagum-kagum padaku. Asyik!“Kok begitu Buk?” Aku bertanya sambil berdiri dari kursi meja riasku. Bulek Lastri dan Asri yang saat itu menemaniku pun ikut berdiri.“Eh, Mina! Kan, sebaiknya pengantin wanita itu memang tidak keluar sebelum akad nikah selesai ... nah, nanti kalau sudah dibacakan ijab kabulnya, suamimu itu ke sini ngasihin mas kawinnya atau kamu keluar, untuk menjemput mas kawinmu, begitu!” kata Bulik Lastri.Ia menjelaskan beberapa hal, yang memang aku sering lihat di televisi ataupun di media sosial. Di mana saat ijab kabul dibacakan, hanya mempelai pria yang harus ada di depan penghulunya. Namun, berbeda dengan Linda dan Landu, saat mereka menikah waktu itu. Mereka sama-sama disandingkan.“Jadi, aku di sini saja, Buk?” “Iya!” kata ibu sambil men
Mas Ragil bersiap akan duduk kembali, tapi aku menarik tangannya agar tetap berdiri.“Eh! Tunggu dulu!” satu kalimat keluar dari mulutku, enak saja dia cium-cium kening tanpa bilang dulu, aku akan membalasnya.Mas Ragil kembali berdiri sambil menatapku lekat, tatapan matanya itu ... eum ... entah melukiskan apa hingga membuatku gagal melakukan apa, yang sebenarnya ingin kulakukan padanya.“Apa, Dek?” katanya, dengan alis yang terangkat.“Eh, nggak jadi!” jawabku, karena seketika kehilangan keberanian untuk mengerjainya.“Udah, nanti lagi kalau mau menyelesaikan urusan kalian berdua!” seru bapak, seraya melambaikan tangan agar kami berdua segera duduk, tentu saja aku malu.Begitu aku dan Mas Ragil duduk, Pak Amil menyodorkan berkas yang harus kami di atas meja. Dia tersenyum-senyum, begitu juga dengan bapak. Sikap mereka terkesan meledek kami berdua.Aku menerima buku nikah setelah membubuhkan tanda tangan. Lalu ,beberapa orang yang berada di antara aku dan Mas Ragil, serentak m
“Memangnya butuh kekuatan seperti apa buat nanti malam, paling juga tidur!” ucapku datar, tak merasakan apa pun pada pertanyaan Mas Ragil. Walaupun, aku tahu ia mungkin segera melakukan malam pertamanya denganku.“Dek, aku ini sudah jadi suamimu, kalo ngomong itu bisa lembut sedikit aja nggak?” katanya.Aku meliriknya, tak tahu harus menjawab apa karena aku memang tidak tahu bagaimana bersikap lemah lembut padanya. Sejak awal bertemu memang sudah seperti ini adanya, mau berubah mungkin aku harus sedikit usaha.“Kalau memang kamu belum bisa menerima aku jadi suamimu, Dek, setidak-tidaknya kamu bisa ikhlas, sekarang semua yang terjadi pada kita ini sudah jadi takdir!”Mas Ragil kembali bicara dan kalimat itu sedikit menyentuhku. Seandainya saja bisa bilang, maaf, ya, Mas! Bukannya aku tidak ikhlas atau tidak menerima jadi istrimu, tapi mungkin untuk lemah lembut sama kamu itu butuh proses, mengingat pertemuan awal sampai akhir antara aku dan kamu, selalu saja ada masalah. Kita bic