"Seperti biasa, Papamu selalu makan masakan yang mama buat. Tapi, hari ini Papa mendapatkan surprise yang mengatasnamakan mama.""Mawar masih bingung dengan penjelasan mama…" Dengan hati yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa papaku berada di rumah sakit karena campur tangan manusia tak bertanggung jawab, Mama mengelus lembut kepalaku dan mencoba untuk menenangkan diriku yang pastinya sudah terlihat panik luar biasa. Niat hati ingin menenangkan Mama, justru dirikulah yang tak dapat mengendalikan diri."Kau paham sayang, tapi kau mencoba menepis semua hal yang Mama katakan. Mama sudah menyuruh seseorang untuk menyelidiki hal ini. Kau tenang saja," aku merengkuh tubuh Mama berharap agar rasa yang membuat hatiku sakit ini sedikit menghilang."Sudah, tidak apa. Papamu pasti akan sehat kembali." Ucap Mama sambil terus mengelus lembut kepalaku. Rasanya damai sekali.***"Kalau begitu, aku akan menjenguk Papa mertuaku." Ucap Akbar saat sedang menyantap makanan di sebuah restoran ber
"Apa maksudmu mengatakan hal itu padaku?" Mas Akbar terlihat tidak suka dengan pernyataan yang aku katakan."Bukankah ini perbuatanmu Mas?"Mas Akbar mendengus kesal mendengar hal itu."Aku tidak melakukan apa-apa Mawar, jadi jangan sembarangan menuduhku."Aku ingin mengatakan sesuatu, namun hal itu tidak dapat aku lakukan karena kedatangan Mama bersama dengan Ayah mertuaku. Keduanya nampak begitu serius menatap ke arah kami."Mawar, ayo cium tangan Ayah mertuamu." Ucapan Mama membuatku tersadar dari lamunanku.Walaupun sedikit ragu, Segera aku mencium telapak tangan Ayah mertuaku. Suasana terasa begitu menegangkan saat Ayah mertuaku menatap kearah Abian."Abian. Lama tidak bertemu, apa kabarmu?"Abian mengambil langkah sejajar dengan diriku. Pria itu terlihat menatap wajah Sandy dengan tatapan dinginnya."Lama tidak berjumpa," jawab Abian terdengar dibuat-buat."Apakah Papamu sudah sadar, sayang?" Mama berjalan mendekati diriku dan berusaha memisahkan tubuhku yang berada tepat di samp
Kenyataan bahwa Mas Akbar dan Abian datang bersamaan merupakan hal yang tidak wajar. Kedua pria itu terlihat duduk di Sofa yang berbeda tapi tetap menghadap ke arahku. "Katakan, apa yang membuat kalian datang kemari?" tanyaku penasaran."Bukankah wajar bagiku datang untuk menjenguk Papa mertuaku?" Mas Akbar mengulas Senyuman mencoba untuk menarik perhatianku."Abian?""Ada hal yang ingin aku sampaikan soal Restoran." jawab Abian dengan wajah datarnya."Mas Akbar, jika kau ingin menjenguk Papa, langsung saja ke kamar kebetulan Mama juga sedang bersama dengan Papa.""Lalu, kau akan berduaan dengan Abian?""Sudahlah Mas, jangan mulai lagi. Sebenarnya kau ingin bertemu dengan Papa atau tidak?" ucapku yang mulai tak sabar dengan sikap kekanakan Mas Akbar. Selalu saja mencari-cari kesalahan diriku dengan dikaitkan pada Abian. Padahal aku tahu dialah pelaku perselingkuhan yang membuat rumah tangga kami berantakan."Baiklah, tapi kalian disini saja. Jangan meninggalkan diriku dengan alasan a
Sekarang, aku memaksakan diri untuk menatap kertas fotocopy perjanjian Pranikah yang telah ditandatangani oleh Papa. Betapa bodohnya dulu diriku mau saja melakukan hal bodoh seperti ini. Dalam surat perjanjian itu, bukan hanya tanda tangan Papa saja, melainkan dari pihak keluarga Mas Akbar. Mungkin, diluar sana pasangan yang melakukan perjanjian seperti ini hanya membutuhkan tanda tangan pasangan suami istri, tidak dengan surat perjanjian pranikah aku dan Mas Akbar. Karena ini menyangkut bisnis keluarga, Kedua orang tua kami yang menandatangani kontrak perjanjian ini. Dan betapa naifnya diriku yang melupakan hal ini.Flashback on"Apa kau lupa?" Papa mengubah posisi tubuhnya agar bisa bersandar pada kepala Ranjang rumah sakit."Apa Pa?" kataku penasaran dengan hal yang ingin diucapkan oleh Papa."Sampai kapanpun kau tidak bisa menuntut cerai pada Akbar."Aku mencoba untuk meresapi pernyataan yang baru saja membuat telingaku berdenging dan dadaku terasa begitu nyeri. Walaupun belum sep
Deretan peristiwa yang terjadi membuat diriku semakin yakin bahwa hal ini adalah murni perbuatan orang yang tak suka dengan kehidupanku. Walaupun Abian telah mengatakan bahwa yang mencoba melukai Papa adalah orang yang berbeda, namun tetap saja hal itu masih menjadi tanda tanya."Mawar…"aku melihat kearah Siti yang saat ini tersenyum kearahku. Wajahnya terlihat pucat dan itu sangat membuatku begitu khawatir."Apa yang terjadi, kenapa bisa sampai begini?"Siti menggeleng lemah."Aku yang salah, kau jangan terlalu banyak berpikir. Ini murni kecelakaan.""Di saat Papaku pulang dari rumah sakit? Lalu, siapa lagi besok? Apakah aku?" tanyaku penasaran sambil terus menggenggam erat tangan Siti, berusaha untuk tetap tegar dengan keadaan ini."Mawar, kau tidak salah. Jangan menyalahkan diri sendiri."aku menundukkan wajah, rasanya beban ini begitu berat bagiku. Niat hati ingin merusak hubungan Mulan dan Suamiku, nyatanya bukan mereka yang merasakan kesakitan tapi diriku yang harus menanggung
"Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan wanita seperti Mawar." Akbar keluar dari kamar tanpa memandang ke arah Mulan yang masih meringkuk di lantai. "Kau lihat Mulan?" Sania memandang ke arah dimana Mulan sedang duduk meringkuk tak berdaya."Bahkan anakku tidak melihat keadaanmu yang tak berdaya ini. Apa kau tidak bisa melihat situasinya? Sebagai seorang wanita, apa kau tidak bisa mengerti perasaan Mawar, istri pertama Akbar? Kita sebagai seorang wanita pasti paham artinya sebuah pengkhianatan dan rasa sakitnya."Mulan tak sedikitpun menatap wajah Sania, ia masih takut untuk melihat mertuanya itu. Trauma akan kembali dipukuli oleh Sania membuat Mulan tak ingin menatap wajah Ibu mertuanya itu."Aku akan memberikan uang, berapapun yang kau inginkan jika kau setuju untuk meninggalkan kehidupan anakku."Mulan menggeleng, tak ingin menambah kemarahan Sania dengan penolakan yang Ia lakukan."Kau begitu menyedihkan!'' sarkas Sania tersenyum miring menanggapi Mulan yang hanya menggelengk
Aku sesak, dadaku syok dengan perbuatan Mas Akbar yang akhir-akhir ini begitu kasar padaku. Kutepikan mobil di pinggiran jalan yang sedikit sepi. Begitu banyak hal yang terjadi pada diriku, ingin sekali rasanya bersandar pada bahu seseorang yang mengerti kegelisahan dan ketakutanku saat ini. Namun, hal itu sangatlah mustahil.Saat akan kembali menjalankan mobil, ponselku bergetar, aku melihat ke layar ponsel ternyata orang yang menghubungi diriku tak lain adalah Abian."Hallo," "Dimana kau, Mawar?" "Maaf Abian, aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi. Jadi, aku memutuskan untuk pergi," "Apa kau…" Prak! Ponselku terjatuh karena tanganku yang masih dalam keadaan bergetar, Syok dengan sikap Mas Akbar yang terus menerus berbuat kasar padaku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan beristighfar agar segala sesuatu yang membuat dadaku sesak dapat hilang.Aku sudah tak memperdulikan ponselku yang terjatuh, saat ini aku ingin berkonsentrasi menyetir mobil dan berharap jika Paman Ham
Paman Hamzah tertawa. Namun aku dapat merasakan bahwa tawa beliau hanyalah dibuat-buat. Setelah selesai dengan tawa kepura-puraannya, Paman Hamzah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. "Mawar, jika kau ingin menghancurkan seseorang. Jangan gunakan hatimu. Hatimu harus Mati, dan tumbuhkan Iblis dalam dirimu.""Apa?""Jadilah Iblis dalam kehidupan orang yang kau benci, maka kau akan mengerti maksud ucapanku."***"Bagaimana, kau setuju dengan konsepnya?" tanya Mas Akbar dengan tatapan penuh harapan.Saat ini, kami sedang berada di Restoran milik keluarga Sandoro untuk membahas tentang pesta Anniversary pernikahan kami. Aku memilih untuk mundur selangkah lagi agar bisa menuju pada hal yang aku inginkan sejak awal, yaitu membalaskan dendam atas penghianatan yang dilakukan oleh Mas Akbar."Terserah kau saja," jawabku enggan melihat dekorasi yang akan digunakan saat acara berlangsung."Ayolah sayang, ini pesta pernikahan kita yang kedua, dan kau harus seman