"Aku tak apa, Jav. Hanya menahan marah." Visha menggenggam tangan Javier semakin kencang, seolah itu adalah cara untuk melepaskan kekesalan yang tersisa, setelah menghadapi wajah tembok Raffael."Nona mau bertemu dengan penyidik-penyidik itu sebelum pulang?" tanya Javier menawarkan. Tapi Visha menggeleng. "Aku mau pulang saja, Jav. Semua sudah selesai."Javier mengangguk sambil melanjutkan langkahnya menuju lift. Kemudian ia berkomentar, "Balas dendam ini terlalu baik hati, Nona. Kau tidak sekalian menghancurkan tempat tinggal mereka?"Visha terkekeh. Ia kemudian menjawab, "Rencanaku memang sudah selesai, Jav, tapi dampaknya baru akan dimulai."Javier mengerutkan dahinya, tidak paham.Kemudian Visha menambahkan, "Mereka pikir rumah itu bisa bebas dari penyelidikan? Mereka salah besar. Sekarang giliran para penyidik bertindak sesuai hukum, bukan? Aku sudah memberikan semua bukti."Javier mengangguk berkali-kali, memahami ucapan Visha yang menurutnya sangat keren.Tak lama kemudian,
"Nona, sebaiknya jangan memasukkan kaki Anda ke dalam kolam terlalu lama. Ini sudah larut malam. Kau bisa masuk angin."Javier mengingatkan seraya berjongkok di samping Visha. Ia tidak tahu, haruskan ia mempertanyakan alasan kenapa wajah Visha basah dengan air mata.Itu jelas pekerjaan air mata, karena netra wanita itu yang sedikit bengkak dan memerah.Tak terima karena Javier hanya jongkok—yang menurut Visha berarti sewaktu-waktu Javier bisa berdiri dan meninggalkannya, wanita itu langsung menarik lengan Javier. Alhasil, pria kekar itu kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas rerumputan segar, yang memang sengaja ditanam di pinggiran kolam. "Astaga. Kau hampir membuatku tercebur, Nona!" protesnya sambil menghela napas lega karena ia tidak benar-benar tercebur.Visha terkekeh sambil menuang isi botol wine ke dalam gelasnya lagi."Kau harus minum," perintah Visha dengan suara seperti diseret.Kemungkinan besar wanita itu sudah setengah mabuk.Tengah menyesap wine yang diberikan ole
"Kuperingatkan, Nona! Kau yang memulainya, kali ini." Javier mencoba membuat Visha mempertimbangkan ulang kelakuannya saat ini.Tapi wanita itu malah terus mendorong Javier hingga rebah ke atas rerumputan. Visha menurunkan sedikit tubuhnya dan mengetuk hidung mancung Javier dengan ujung jari telunjuk, kemudian berkata, "Dan kuperingatkan kau , Jav. Aku tidak sedang mabuk.""Bullshit!" gumam Javier, yang malah membuat Visha tergelak.Tak lagi menunggu, Visha pun kembali mengunci bibirnya dengan bibir Javier, sementara tangan pria itu menelusur pelan pinggang Visha.Ia memeluk erat pinggang kecil itu dan mulai mendorong berlawanan arah, supaya bisa beranjak dari atas rumput. Berpikir kalau Javier seperti menolaknya, Visha kemudian memutus ciuman panas mereka, melayangkan protesnya, "Jav! Jangan melarikan diri!" Tapi Javier terkekeh geli. "Kau akan menyesal sudah meminta hal yang memang takkan pernah kulakukan. Aku tak pernah melarikan diri," ujarnya sambil berdiri dan menggendong V
"Ini jam 8 pagi dan kau keluar dari kamar Nona Visha?!"Madoka berulang kali menatap Javier, kemudian beralih pandang ke jam tangan yang melingkar dipergelangannya.Benar-benar jam 8 kurang 15 menit."Damn! Aku mau melaporkan ini nanti pada Tuan Luca!" seru Madoka sambil melompat ke sana-sini.Wajah jahil Madoka semakin terlihat."Jangan gila! Aku—" "Aku apa?!" goda Madoka saat Javier menggantung kalimatnya.Wajah Javier terlihat seperti tak sehat ketika ia memohon, "Jangan bicara aneh-aneh dengan Bos." Bahkan kejahilan Madoka pun surut memlihatnya. "Ada apa? Apa kau mau membahas malam pertamamu denganku?" tanya Madoka yang terlihat sangat serius.Javier mendengus tapi tidak tertawa. Ia sedang dalam tekanan batin yang besar.Karena kedatangan Luca membuatnya harus turun dari tempat tidur dan melanggar permintaan Visha yang pertama tadi.Ia seharusnya menemani Visha sampai wanita itu bangun. Tapi tidak mungkin ia melakukannya di saat pemimpin klannya sudah dalam perjalanan menuju ke
“Apa kau selalu berpakaian seperti ini, Navisha, putri semata wayang Ayah?” tanya Luca sambil menutup wajahnya dengan panik. Membayangkan sang putri berada di rumah berisi para lelaki, membuatnya berpikir dua kali untuk membiarkan Visha tinggal lebih lama lagi di Indonesia. “Tentu saja tidak. Tidak setiap hari ada yang berisik di depan kamarku. Aku hanya panik saja, karena tak percaya mendengar suaramu, Ayah!” kilah Visha sambil mengencangkan pelukannya. Luca menatap Visha dengan pandangan tidak percaya sehingga ia bertanya lagi, “Benar begitu?” “Iyes! Aku selalu siap sebelum keluar kamar kok. Dan lagi, biasanya mereka memang sudah ada di kantor, memantau keluarga Adinata. Sekarang semua sudah selesai, jadi mereka lebih santai mungkin,” celoteh Visha beralasan. Putri Luca itu kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang ayah, supaya bisa masuk ke kamarnya. “Dante masih tidur, tahu sedang weekend,” kekeh Visha sambil masuk lagi ke dalam kamar mandi setelah ia mengambil pakaian g
“Ma, kau baik-baik saja?” Raffael bertanya dengan raut wajah panik dan khawatir. Ia tengah menemani Gregorry saat Asisten Rumah Tangganya menelepon dan memberitahu kalau sang ibu pingsan di apartemen yang baru saja ia belikan untuknya. Karena kondisi, Raffael akhirnya menjual rumah mewahnya untuk membeli apartemen yang sedang turun harga. Dan lagi, ia berpikir kalau sang ayah sudah meminta ibunya untuk membersihkan kediaman Adinata, untuk menyambut kepulangannya. Febriella yang terbaring lemas di tempat tidur meneteskan air mata ketika melihat wajah kusut putranya. “Bagaimana kabar ayahmu, Nak?” tanya Febriella dengan bibir gemetar, menahan isakannya. “Tenang saja, Ma. Yang penting Mama sehat dulu. Papa sudah memanggil Om Radjiv untuk mendampinginya.” Mendengar itu, Febriella pun terlihat lebih tenang. “Mama mau kembali ke rumah saja, Raffa. Kalau Papamu tidak berencana menceraikan Mama, Mama akan menunggu sampai ia bebas.” Raffael setuju. “Yang penting Mama sehat dulu. Oke?”
“Hm?”Kerutan di dahi Visha pun muncul, karena ia yakin, tidak ada yang mengikutinya. Kalau Javier mengikuti, pasti memanggilnya dengan sebutan ‘Nona’.Dan ketika Visha menoleh ke arah sumber suara, ia terkejut mendapati Raffael berdiri di sana sambil menatapnya dengan pandangan menilai.“Selamat siang, Tuan Raffael. Saya tidak tahu Anda sedang berada di restoran ini. Apa ada yang anda butuhkan?” tanya Visha sambil mendorong pintu kamar mandi itu tetapi menunda langkahnya.“Visha, Sayang. Jangan seperti orang asing. Kita kenal lebih dalam dari hanya sekedar—”“Calon pembunuh dan korban?” sindir Visha memotong ucapan Raffael yang benar-benar membuatnya muak.Visha tidak habis pikir, dengan dasar apa Raffael masih memanggilnya dengan sebutan intim seperti itu.‘Sayang?! Cuih! Persetan!’ rutuk Visha dalam hati.Wanita itu menambahkan, sebelum Raffael menyela ucapannya, “Sudah baik aku tidak menyerahkan bukti-bukti kejahatan Anda pada kepolisian, jangan memaksa saya melakukannya.”Tapi te
"Aku dan Javier kenapa?" tanya Visha dengan nada tenang, namun tatapannya mengancam Madoka dengan konsekuensi atas keberaniannya mencampuri urusan sang majikan.Melihat respon Visha, Madoka pun meringis. Ia tidak jadi melanjutkan pertanyaannya itu. Karena Madoka tak mengambil kesempatan untuk melanjutkan ucapannya—apapun resiko yang akan ditanggungnya, Visha memilih untuk memberikan pertanyaan, "Ke mana kau bawa Raffael itu?""Sepertinya anak buah Bos Luca yang mengintai daerah ini memberitahu Bos. Jadi, ia menyuruh 2 anak buah kesayangannya, yang biasa membereskan orang-orang seperti itu." Madoka menjelaskan sambil mengikuti Visha di belakang. Ia tetap siaga, mengamati kalau-kalau ada orang lain yang terlihat mencurigakan.Visha mengangguk. Ia tahu, urusan Raffael ini tidak akan selesai sampai Luca puas. Tentu saja. Luca tidak mungkin membiarkannya bernapas lega di bumi ini. Tiba di ruang makan mereka, makanan Dante sudah habis. Anak laki-laki itu pun langsung meminta Visha untuk