"Robert Stewart!" Suara teriakan begitu nyaring hingga mengalihkan fokus semua orang di dalam ruangan itu.
Gracio berlari ke arah Robert, dan memberikan pukulan telak di wajahnya hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah."Kurang ajar! Berani sekali cecunguk ini masuk ke markas ku. Cepat serang dia," titah Robert kepada anak buahnya."Pengecut! Beraninya keroyokan," Gracio mencibir SP tersebut karena menurutnya dia sama saja dengan Xander, Intel bod*h yang tak punya keahlian apapun.Gracio dikepung oleh para anak buah Robert yang menyerangnya secara bersamaan, seolah tak memberikan ruang untuk Gracio bernafas. Namun, Gracio sama sekali tidak kewalahan melawan segerombolan pecundang itu.Tangannya terus bergerak melawan musuh, begitu juga dengan kakinya yang terus menendang lawan dengan sangat kerasa sehingga mereka tumbang satu persatu hanya dengan satu tendangan dan satu bogeman mentah.Suara kegaduhan terus menggema dalam ruangan sempit itu. Gracio menyerang musuh secara membabi-buta. Ia marah, sangat marah. Gara-gara Robert dan Xander, hubungan rumah tangganya menjadi kacau. Istrinya tak lagi bersimpati kepadanya, dan justru menjaga jarak dengannya.Karena itulah Gracio pergi dari rumah dan menemui Robert di markasnya. Sekarang ia berhasil mengalahkan para anak buah Robert hanya menggunakan tangan kosong."Apa kau sudah siap? Sekarang waktunya kita adu kekuatan otot, bukan bac*t," ucap Gracio menatap tajam ke arah Robert yang kini mulai ketakutan."Kau bukan lawanku. Lebih kau pergi, dan siapkan uang kompensasi dari pihak kepolisian jika kau tak ingin mendekam di balik jeruji besi," balas Robert mengingatkan. Ia tidak mau mati begitu saja di tangan seorang Bandar."Ralat! Lebih tepatnya dari kamu dan Intel tidak berguna itu. Tidak ada pihak yang berwajib menukar keadilan dengan uang haram seperti yang kalian makan selama ini," Gracio sudah hafal bagian keadaan bergerak sekarang. Semuanya bisa dibeli dengan uang. Bahkan korban pun akan berubah menjadi tersangka jika nominal yang dikeluarkan sangatlah banyak.Robert tersenyum sinis pada Gracio yang menatap tajam ke arahnya. "Terserah. Yang jelas, namamu tidak akan bersih jika uang itu tidak ada, dan begitu sebaliknya. Lebih cepat lebih baik,""Bedeb*h!" Desis Gracio mengepalkan tangan begitu erat. Tak ingin membuang waktu. Ia pun melangkah cepat, dan menghajar SP tersebut hingga menyebabkan gigi depannya patah.Kedua bola mata Robert membulat sempurna, tatkala giginya berjatuhan akibat pukulan telak yang dilayangkan oleh Gracio terhadapnya.Tidak ingin harga dirinya runtuh seperti giginya tersebut, Robert mengambil tongkat bisbol di dekat kakinya, kemudian mengayunkannya ke arah Gracio. Serangan Robert meleset. Dia yang tak pandai berkelahi pun tentu saja kewalahan menghadapi Gracio. Sebab, selama ini ia selalu menggunakan anak buah untuk menjadi pelindungnya."Cih! Memalukan!" Gracio meludah ke lantai sebagai bentuk penghinaan terhadap Robert. "Aku peringatkan sekali lagi. Jangan pernah menuduhku dengan hal sama sekali tidak aku lakukan, atau aku akan menjadi brutal melebihi dari tuduhan itu, dan melenyapkan kalian semua. Mengerti!" Gracio tidak pernah main-main dengan ucapannya. Apa yang dia katakan pasti akan menjadi kenyataan.Robert tidak terima diperlakukan buruk oleh seorang Bandar rendahan seperti Gracio. "Aku sengaja mengalah, bukan benar-benar kalah." Ucap Robert selepas kepergian Gracio dari sana. Ia masih enggan mengakui kesalahan tersebut karena tak ingin di cap pecundang.*****Sesampainya di rumah, Gracio tidak menemukan keberadaan istri dan anaknya. Ia kebingungan mencari mereka berdua hingga menelusuri ke setiap sudut ruangan. Pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya."Halo, Vio. Kamu dan Kevin di mana? Kenapa di rumah nggak ada orang?" tanya Gracio melalui sambungan telepon."Aku dan Kevin pulang ke rumah mama dan papa. Jangan temui kami dulu sebelum permasalahan usai," jawab Violetta dari seberang sana. Ia tak ada pilihan lain kecuali pulang ke rumah orang tuanya. Sebab, ia merasa tak aman jika masih tinggal satu rumah dengan Gracio di saat suasana genting."Kamu nggak bisa berbuat seperti ini, Vio. Aku sudah bilang kalo aku nggak salah. Please percayalah sama aku," Gracio sangat memohon kepada sang istri agar tidak meninggalkannya."Buktikan, Mas, kalo kamu memang nggak salah. Tapi ... sepertinya akan sulit membuktikannya," suara Vio terdengar serak. Sepertinya dia sedang menahan tangis supaya tidak pecah."Sabar, Sayang. Aku janji akan membuktikan semuanya kalo aku memang nggak salah. Tapi aku mohon, izinkan aku menjenguk kalian ke sana. Aku nggak bisa jauh dari kalian," tutur Gracio sangat sedih. Ia memang sangat mencintai istri serta anaknya tersebut.Namun, tiba-tiba panggilan tersebut mati begitu saja karena Violetta memutuskannya secara sepihak. Membuat Gracio diambang kecewa, sebab istrinya sendiri sudah tidak mempercayainya lagi. Dulu, di saat Gracio tak sengaja membuat kesalahan, istrinya pasti akan selalu ada untuk dirinya. Tapi sekarang justru kebalikannya.Semuanya berawal dari tuduhan palsu yang dilakukan oleh Ribet terhadap dirinya yang mengakibatkan namanya tercemar. Padahal Gracio tidak ada sangkut pautnya dengan pengedaran narkoba yang terjadi di kota A. Memang, Gracio adalah mantan seorang Bandar narkoba, tapi itu dulu sebelum ia berkeluarga."Aku tidak akan pernah memaafkan kalian, Robert dan Xander. Jika sampai terjadi hal buruk dengan rumah tanggaku, maka bersiaplah untuk ku bantai kalian semua." Gumam Gracio meremas ponselnya sendiri sehingga buku tangannya membiru.Di Kediaman Baron.Kevin menangis histeris sambil terus menanyakan keberadaan sang papa. Ia memang tidak bisa jauh dari papanya. Maka dari itu ia menangis dan meminta pulang kepada mamanya. "Mama, ayo kita pulang. Aku mau ketemu sama papa," pinta anak kecil berusia lima tahun itu. Sedari tadi ia terus menangis tidak betah tinggal di rumah kakek dan neneknya."Hari sudah malam, Nak. Kita nginap di sini aja ya," ucap Violetta begitu lembut. Ia sangat. paham bagaimana perasaan Kevin sekarang. Namun, ia juga tidak mau menentang keputusan orang tuanya."Nggak mau, aku mau pulang," Kevin semakin kencang menangis sampai mengundang kehadiran sosok kakek dan neneknya yang dari tadi berada di dalam kamar."Ada apa, Vio. Kenapa Kevin nangis begitu," ucap Regi--Mamanya Violetta. Ia menghampiri sang cucu lalu menggendongnya.Violetta tak berani menjawab. Ia yakin kalau mama dan papanya akan kembali murka jika ia mengatakan kalau Kevin ingin bertemu dengan Gracio."Aku mau pulang, Nek. Aku mau ketemu sama papa dan bermain dengannya," ujar Kevin berusaha melepaskan diri dari gendongan neneknya."Papa kamu nggak ada. Dia sudah mati. Jangan lagi mencarinya. Paham!" Tegas Baron--papanya Violetta, dengan sorot mata yang tajam. "Cepat, bawa Kevin masuk ke kamar, dan jangan membiarkan dia keluar dari rumah ini," imbuhnya penuh penekanan."Pa--""Pa--" Violetta sangat shock mendengar ucapan sang papa yang mengatakan bahwa Gracio sudah mati. "Sebenci apapun Papa sama suamiku, jangan pernah mengatakan bahwa dia sudah mati, apalagi di depan Kevin. Seburuk apapun sikap Mas Gracio, nggak sepantasnya Papa berkata seperti itu," ucap Violetta dengan mata yang mengembun. "Sudahlah. Papa nggak punya menantu seorang kriminal seperti dia. Lebih baik urus surat cerai kalian secepatnya," titah Baron dengan amarah yang masih membuncah. Sebab, ia terlalu kecewa dengan menantunya itu yang sudah mencoreng nama baik keluarga. Kedua bola mata Violetta membulat sempurna tatkala mendengar kalimat yang sama sekali tidak dia inginkan. "C-cerai? Itu nggak mungkin, Pa. Aku sangat mencintai Mas Gracio," bantah Violetta dengan tegas. Kemudian ia berlalu dari sana meninggalkan sang papa yang diselimuti rasa kesal. "Dia sudah dibutakan oleh cinta yang sama sekali tidak menguntungkan baginya," gumam Baron semakin frustasi. Belum sempat Baron memasuki ka
"Gimana Robert, apakah pria itu sudah memberikan uang yang kita mau?" tanya Xander kepada bawahannya, sekaligus kaki tangannya. Mereka sedang duduk berdua di cafe dekat taman dipinggiran kota. "Sudah. Tapi kedua orang tuanya yang memberikan uang itu. Mereka meminta kepada kita agar Gracio tidak ditahan, sampai mamanya pun menangis di hadapanku. Hahahhaaa," Robert tertawa sumbang seolah meremehkan permohonan kedua orang tua Gracio. "Disaat putranya menentang kita, dan mengancam kita habis-habisan, lalu mereka datang dengan membawa uang kompensasi lengkap dengan permohonannya. Benar-benar sangat lucu," balas Xander ikut tertawa senang. Persetan dengan nama baik Gracio, yang penting dia sudah mendapatkan apa yang diinginkan sejak awal. Yaitu, uang. Keduanya tertawa terbahak-bahak karena menganggap Grace dan Yola--kedua orang tua Gracio, sangatlah bodoh. Padahal mereka dari kalangan terhormat, tapi memilih untuk merendahkan diri hanya demi nama baik anaknya. Sangat disayangkan, sebab m
Gracio terus memikirkan istri serta anaknya yang masih berada di rumah orang tuanya. Ia benar-benar tidak diperbolehkan bertemu dengan mereka. Rasanya hidupnya semakin hari semakin hampa. Ia jadi teringat dengan Clara, gadis bar-bar tapi cukup polos hingga tak sadar hanya dibodohi olehnya. "Jangan lupa besok pagi misi pertama kita ke markas Xander. Jangan bersikap mencurigakan, kamu harus memberikan alasan yang jelas kepada kedua orang tuamu agar nggak dicari karena keluyuran di luar rumah." Tulis pesan Gracio kepada gadis cantik itu. "Siap, Om tampan. Kenapa Om belum tidur? Pasti lagi mikirin aku ya." Balas pesan dari Clara yang membuat Gracio sedikit terhibur. Sikap Clara yang pecicilan sangatlah natural dan tidak dibuat-buat. Itulah yang Gracio sukai darinya. "Ck! Cuma di read doang. Emang Om kulkas 12 pintu." Gerutu Clara terlihat kesal. Entah kenapa ia bisa percaya begitu saja terhadap Gracio yang jelas-jelas hanya orang baru baginya. Hatinya seolah berkata bahwa Gracio adalah
B-boleh," des*h Xander dengan mata yang terpejam. Buaya seperti Xander memang tidak bisa melihat barang bening seperti Clara. "Ah, Om Xander memang sangat baik. Ternyata aku nggak salah melabuhkan hati kepada Om," Clara menyandarkan kepalanya di dada bidang Xander. Sungguh rasanya gadis itu ingin muntah saat mencium aroma tubuh Xander yang bau nikotin serta bau alkohol. Namun, sebisa mungkin Clara menahannya sampai ia mendapatkan apa yang menjadi tujuannya ke sana. Xander seakan dibuat terbang oleh pujian manis Clara. Ia benar-benar tak menyangka kalau putri dari temannya akan jatuh cinta kepadanya. Bukankah itu adalah anugerah terindah yang Xander dapatkan di tahun ini? Ah, ia berjanji kalau bisa mendapatkan Clara, maka ia tidak akan pernah lagi bermain wanita. Cukup Clara yang menjadi wanita satu-satunya dalam hidupnya. "Ayo Om, kita ke sana," tangan Xander ditarik begitu saja oleh gadis cantik itu, dan membawanya ke depan pintu ruang rahasia. "Apa harus sekarang? Kenapa nggak n
Hari ini, Clara pergi ke kampus karena ada mata kuliah pagi dari Pak Sean. Clara mengambil jurusan Manajemen Bisnis, karena ingin menjadi wanita karir yang bekerja di perusahaan besar. Seperti biasa, wajah Clara selalu terlihat ceria di depan semua orang. Kecantikannya mewarisi sang Mama saat masih muda dulu. Lagi-lagi Clara berpapasan dengan Sean di parkiran kampus, sebab ia berangkat pagi-pagi sekali karena dia belum mengerjakan tugas yang diberikan oleh Sean pada minggu lalu."Selamat pagi, Pak Sean," sapa Clara menampilkan senyuman manisnya. "Pagi, Clara," balas Sean juga melempar senyum hangat kepada mahasiswinya itu. "Saya duluan ya, Pak," pamit Clara bergegas memasuki area kampus dan menuju ke kelasnya yang terletak di lantai dua.Sean hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Clara yang selalu membuat jantungnya berdebar. Sejak pandangan pertama, Sean sudah jatuh cinta kepada mahasiswinya itu. Namun, ia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya karena
"Om, maaf banget ya udah bikin Om nunggu lama. Tuh gara-gara Pak Sean, aku dikurung dalam ruangannya selama 3 jam. Sangat menyebalkan, untung ganteng, kalo nggak udah aku caci maki dia," cicit Clara seperti tak bernafas. "Emangnya berani?" tanya Gracio seakan mengejek keberanian Clara yang hanya seujuo kuku. "Enggak sih, Om. Hehehehe," Clara terkekeh kecil saat menyadari ucapannya yang hanya bercanda tadi. "Ngapain aja selama tiga jam di ruangan dosen kamu?" todong Gracio menatap penasaran pada gadis cantik di hadapannya tersebut. "Kepo!" Clara memalingkan wajah ke luar jendela mobil karena tak ingin membahas kegiatannya di dalam ruang dosen tadi. Moodnya dibuat hancur oleh Sean hanya dengan tiga ucapan saja. "Aku mencintaimu, Clara."Ungkapan cinta dari Sean membuat Clara seakan tak percaya dan berharap semua itu hanya mimpi. Rasa kagum yang sempat ia berikan kepada dosen pembimbingnya itu seketika sirna hanya karena ungkapan cinta yang sangat tak diinginkan oleh Clara. Gracio t
Gracio melihat jam yang melingkar di tangannya. Sisa 15 menit waktu yang dimiliki Clara di dalam sana untuk mendapatkan dokumen penting milik Xander. Walaupun dia tahu bahwa Clara terlalu spektif akan rencana mereka. Namun, Gracio memberikan konspirasi yang baik terhadap gadis itu supaya tetap optimistis dalam menjalankan tugasnya. Ada sedikit keraguan dalam hatinya saat melihat kepolosan Clara yang selalu patuh terhadapnya. "Sudah sejauh ini, aku tidak boleh lengah." Gracio berkata dengan tatapan tajamnya. Hatinya hampir saja goyah akibat memikirkan Clara. Di dalam sana, Clara kesulitan untuk bergerak karena Xander terus memeluknya dari belakang. "Om mending duduk aja deh, aku nggak bisa gerak bebas nih," gerutu Clara memasang wajah kesal. "Om sudah nggak sabar pengen main bareng kamu di atas sana," tunjuk Xander pada ranjang kecil di samping rak buku. Benar-benar membuat darahnya seakan mendidih. "Ish, Om Xander mesum banget ya. Aku tuh masih gadis dan wanita baik-baik, masak ma
"Ma, Pa, aku berangkat dulu ya," pamit Clara pada kedua orang tuanya. "Akhir-akhir ini jam kuliah kamu padat banget ya, Cla?" tanya Camellia kepada sang putri tercinta. "Ah, iya, Ma. Aku ikut les tambahan sekarang," jawab Clara berbohong. 'Maafin aku, Ma, Pa. Ini semua demi kebaikan keluarga kita.' Batinnya menimpali. "Jangan terlalu capek, Sayang. Papa nggak mau melihat kamu sakit kalau kurang istirahat," sambung Robert mengusap puncak kepala sang putri penuh dengan cinta. "Iya, Pa. Aku giat belajar juga demi kalian, supaya aku bisa menjadi anak yang berguna di masa depan nanti," ungkap Clara merasa tercubit dengan ucapannya sendiri. Jangankan giat, ada tugas rumah pun Clara sering terlambat mengerjakan. "Ayo biar Papa yang antar, kebetulan hari ini Papa akan pergi menemui Xander," gegas Robert meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Kedua mata Clara membulat sempurna saat mendengar nama Xander dari mulut sang Papa. "Kenapa bengong, tuh ditungguin sama Papa di depan,"