Share

Bab 3.

"Pa--" Violetta sangat shock mendengar ucapan sang papa yang mengatakan bahwa Gracio sudah mati. "Sebenci apapun Papa sama suamiku, jangan pernah mengatakan bahwa dia sudah mati, apalagi di depan Kevin. Seburuk apapun sikap Mas Gracio, nggak sepantasnya Papa berkata seperti itu," ucap Violetta dengan mata yang mengembun.

"Sudahlah. Papa nggak punya menantu seorang kriminal seperti dia. Lebih baik urus surat cerai kalian secepatnya," titah Baron dengan amarah yang masih membuncah. Sebab, ia terlalu kecewa dengan menantunya itu yang sudah mencoreng nama baik keluarga.

Kedua bola mata Violetta membulat sempurna tatkala mendengar kalimat yang sama sekali tidak dia inginkan. "C-cerai? Itu nggak mungkin, Pa. Aku sangat mencintai Mas Gracio," bantah Violetta dengan tegas. Kemudian ia berlalu dari sana meninggalkan sang papa yang diselimuti rasa kesal.

"Dia sudah dibutakan oleh cinta yang sama sekali tidak menguntungkan baginya," gumam Baron semakin frustasi. Belum sempat Baron memasuki kamar, terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Pa, bolehkah aku masuk ke dalam," ucap Gracio dari balik pintu. Yeah, yang datang adalah Gracio. Dia benar-benar tak bisa jauh dengan istri dan anaknya.

"Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini," kecam Baron menatap nyalang. Detik berikutnya pria baya itu membanting pintu hingga menimbulkan suara keras, membuat Gracio kaget setengah mati.

"Pa, aku mohon izinkan aku bertemu dengan anak dan istriku. Aku janji akan membuktikan kebenaran kalau aku nggak salah," teriak Gracio dari luar sana. Suaranya sampai terdengar ke dalam kamar yang ditempati oleh Kevin.

Anak kecil itu berlari ke arah pintu untuk menemui sang papa. "Papa! Aku mau pulang sama Papa," Kevin berteriak sangat lantang sambil lalu berusaha melepaskan diri dari dekapan sang kakek.

"Jangan jadi anak pembangkang, Kevin. Cepat kembali ke kamar, sebelum kakek benar-benar marah sama kamu," perkataan Baron membuat Kevin ketakutan. Ia menangis histeris sampai terdengar oleh Gracio di luar sana.

"Papa apakan Kevin, kenapa dia menangis?" suara Gracio terdengar sangat cemas. Ia terus menggedor pintu rumah tersebut, dan berusaha membukanya. Hampir saja Gracio menghancurkan pintu tersebut, sebelum akhirnya suara tangisan Kevin sudah tak terdengar lagi.

Ingin rasanya Gracio mendekap tubuh Kevin ke dalam pelukannya. Namun, ia tidak mau membuat keadaan semakin runyam. Terpaksa Gracio pergi meninggalkan rumah mertuanya dengan perasaan. tak menentu. "Tunggulah pembalasan ku." Gumamnya dengan tangan yang terkepal kuat. Tentu saja ucapannya itu tertuju kepada Intel dan SP yang sudah mencoreng nama baiknya.

Gracio bersumpah, akan menghancurkan mereka semua apapun caranya. Ia tidak akan menunggu besok, malam ini pun Gracio langsung bergerak cepat. Langkah pertama yang dia ambil adalah, menghubungi para ank buahnya yang berstatus teman-temannya dari masa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan melalui sambungan telepon, sampai membuat wajah Gracio terlihat sangat serius.

*****

Pagi harinya.

Gracio menatap seorang gadis cantik yang baru keluar dari pekarangan rumahnya. Dia terus mengikuti kemana gadis itu pergi. "Lihat saja apa yang aku lakukan kepadamu Roberto!" Gumam Gracio tersenyum tipis.

Sedangkan gadis yang sejak tadi ia ikuti sama sekali tidak menyadari akan keberadaanya. Ia memasuki Fakultas Palanesia Dundee Langara (PDL). Clara Evania namanya. Dia gadis yang sangat periang.

"Selamat pagi, Pak Sean," sapa Clara kepada Dosen tampan yang sedang berpapasan dengannya di parkiran kampus.

"Pagi, Clara. Tumben pagi banget datangnya," balas Sean tak percaya melihat keberadaan mahasiswinya itu yang biasanya datang terlambat ke kampus.

"Iya nih, Pak. Kebetulan lagi ada tugas, hehehhe," Clara terkekeh kecil menampilkan deretan giginya yang putih. "Kalo gitu saya permisi, Pak," gegas Clara memasuki kelas dengan langkah riang.

Sean menatap punggung Clara sampai hilang ditelan pintu. Jantungnya selalu berdebar saat berdekatan dengan gadis cantik itu. Baru kali ini Sean merasakan getaran itu, apalagi terhadap mahasiswi yang bukan dari kalangan yang teladan.

Setelah mengikuti jam kuliah yang dipimpin oleh Dosen kiler, membuat Clara suntuk berada di dalam kelas. Sekarang waktunya jam istirahat, Clara menuju ke kantin seorang diri tanpa adanya teman. Dengan begitu Clara merasa nyaman karena sikapnya yang care, dia bisa berbaur dengan mahasiswa yang lain tanpa embel-embel teman ataupun sahabat.

Namun, tatapannya tak sengaja bertemu dengan sosok pria asing yang berada di parkiran kampus. Gracio! Dialah pria yang bertatapan dengan Clara. 'Dia siapa? Ganteng banget lagi.' Batin Clara memuji ketampanan Gracio. Sayangnya pria tampan itu justru pergi dari tempat duduknya dan semakin membuat Clara penasaran.

Gracio mengepulkan asap rokoknya di udara dengan kepala yang menengadah ke atas. Dia memikirkan rencana selanjutnya yang harus dirangkai secara matang. Gracio tidak mau salah dalam mengambil langkah, sebab rumah istri dan anaknya yang menjadi taruhannya.

Entah sudah berapa jam Gracio duduk di dalam mobil sambil menunggu Clara keluar dari kampus. Ia tidak ingin menunggu terlalu lama lagi, cuma gadis itu yang bisa dia jadikan alat untuk balas dendam kepada Robert dan Xander.

Orang yang ditunggu telah muncul dari balik gerbang. Gracio bergerak cepat dengan mengikuti langkah kaki Clara yang menuju ke halte bus dekat kampus PDL.

Clara tersentak kaget saat mendengar bunyi klakson dari mobil di sampingnya. "Kamu Clara 'kan?" tanya Gracio berpura-pura polos di hadapan Clara.

"Iya, Om siapa ya?" Clara menjawab dengan tatapan penasaran. Ia baru sadar jikalau pria yang dipanggil Om itu adalah pria yang berada di parkiran kampus tadi.

"Om?" ulang Gracio merasa tak terima dipanggil Om karena dirinya masih sangat muda dan tampan. Baru punya anak satu juga..

"Kenapa Om? Apa ada yang salah? Om ini siapa kok bisa tahu namaku? Apa jangan-jangan Om menguntit ku yang dari tadi, soalnya aku juga melihat Om ada di parkiran kampus tadi," cicit Clara panjang lebar.

Gracio meringis begitu mendengar ocehan Clara yang sangat cerewet. Dia pikir Clara adalah gadis yang lugu dan pendiam, ternyata dia salah. "Masuklah, nanti saya ceritakan di dalam," Gracio membukakan pintu mobil untuk Clara. Namun gadis itu cuma diam dengan tatapan mengintimidasi.

"Om nggak ada maksud buat nyulik aku 'kan?" lagi-lagi Clara berprasangka buruk kepada pria tampan yang ada di hadapannya. Tapi meskipun diculik juga tidak apa-apa, karena penculiknya macam Gracio yang sangat tampan. Jadi ikhlas saja jika Clara diculik. Astaga pikiran macam apa itu.

Gracio memutar bola matanya malas. Ia jadi ragu apakah benar Clara adalah putrinya Robert apa bukan. Sebab, sifat mereka sangat jauh berbeda. Cuma satu kesamaan mereka, yaitu membuat kepala Gracio pusing. Akhirnya Gracio turun dari dalam mobil dan memasukkan Clara ke dalam mobil hingga gadis itu terlihat panik.

"Om, jangan macam-macam ya. Aku bisa teriak dan membuat--eemmm,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status