"Jangan, Ra, ini kenangan," ucapku merebut dari tangannya.Sejenak aku fokus dengan menatap matanya, laluku hapus debu-debu yang menempel di permukaan album besar bertuliskan tahun 2011.Tanpa berkata apa-apa, Rahayu kembali membersihkan gudang, aku meletakkan album di meja ruang tamu. Rasa panas dalam dadaku mendorong diri untuk pergi ke rumah Mila walaupun pintu masih tertutup."Assalamualaikum, Mil, Mila ...," ucapku sambil mengetuk pintu.Hening...Aku menyipitkan mata saat memandang ke arah rumah, Bu Endah karna terkena paparan sinar matahari, di sana terlihat ada beberapa orang ibu-ibu termasuk Bude Sarni.Aku menggendong putriku, berjalan ke rumah Bu Endah sambil menyuapkan nasi untuknya."Hei, Diva, makan pakai apa, sayang?" tanya Bu Endah yang baru saja beranjak dari duduknya setelah aku datang."Telur, Nek ...," jawabku memandangnya."Iya, aku benci kali kalau sudah seperti itu. Walaupun anakku sendiri," ucap Bude Sarni kesal.Aku diam, tapi memperhatikan. Setelah beberapa m
"Mbak, ada handuk enggak?" tanya Rahayu dari balik pintu kamarku."Ada," sahutku sambil memandang daun pintu yang masih tertutup.Kubuka lemari, melihat ada beberapa tumpuk kain di sana, sprei, selimut, dan handuk masih tersusun rapi. Kuambil handuk berwarna hijau muda yang ada di bagian bawah susunan."Mbak! Buruan!" ucap Rahayu tak sabar, dia membuka pintu kamarku."Ini," ucapku sambil memberikan handuk menggunakan tangan kanan. Aku hanya diam tanpa kata.Jebret!suara pintu tertutup membuat tubuhku terperanjat. Aku hanya menatap daun pintu sambil duduk di tepi ranjang. Rasa ingin memarahinya meronta-ronta saat aku jauh darinya. Tapi setelah kami bertatap muka, aku kian tunduk di hadapannya.* * *"Mas, ini enak lho ikannya. Coba deh!" ucap Rahayu mengambilkan sepotong daging ayam semur dari mangkuk yang ada di meja makan, meletakkannya di atas piring, Devan.Aku dan anak-anak diam termangu melihat gerakan tangan Rahayu, dia tersenyum manis menatap Devan, lalu melanjutkan suapannya
Aku duduk di tepi ranjang dengan mata berkaca-kaca meratapi nasib yang sedang menimpaku.Jujur aku takut, diam aku kalut."Mbaak, Mbak Thaliaaa," suara Mila terdengar dari dalam kamarku.Aku beranjak lalu berjalan ke teras dengan bermalas-malasan."Mbak, mbak kenapa?" tanya Mila sambil mengernyitkan dahi."Enggak apa-apa, Mil," sahutku sambil menepis air mata di sudut mataku.Mila duduk di teras rumahku, dia menghadap ke dalam rumah. Kepalanya nyelinguk saat menatap barang-barang berserakan di depan pintu gudang."Mbak, itu kenapa barang-barangnya di luar? Gudangnya di rehab, ya?" Wajah Mila terlihat heran. Tidak pernah-pernahnya rumahku berserakan seperti itu."I-iya, Mil," sahutku gugup.Aku takut di salahkan jika ada yang tahu kalau akulah penampung Rahayu, aku mencoba mengalah lagi dengan apa yang sudah di lakukan oleh Rahayu padaku."Yang enggak ke pake di jual saja, Mbak, yuk kita jual," ucap Rahayu sambil beranjak dari duduknya. Dia jalan mengarah barang-barang yang masih bers
Suasana malam yang hening, membuat suara detik jarum jam terdengar kuat. Menunggu jawaban Devan, seperti menunggu antrean di pom bensin. Lama dan juga meresahkan."Ya, memangnya yang punya anak tiga itu cuman kita, Dek?" sahut Devan memandangku dengan wajah datar.Sepertinya aku sudah membuatnya tersinggung, kupeluk tubuhnya semakin erat, sesak di dada kini mulai sedikit lega setelah mendengar jawaban dari Devan. Tapi, aku tidak bisa percaya dengannya begitu saja."Mas, kata Mas Harman, kalau malam di sekeliling rumah ada ayam jago berkokok, loh. Itu pertanda ada sesuatu yang aneh di kampung ini," ucapku sambil memainkan putingnya menggunakan jari telunjuk."Maksudnya?" Devan menatapku. Yang tadinya posisinya rebahan kini dia duduk di sebelahku."Ya, ada yang selingkuh terus berbuat mesum," ucapku memandnagnya dengan mata melirik ke atas."Alaah, malas aku kalau sudah bahas masalah mistis itu, takutnya akan terjadi sama keluarga kita," ucap Devan kesal. Dia menepis tanganku yang masih
"Iya, tapi ibu takut kalau malah buat rumah tangga mereka hancur berantakan, Ta," sahut wanita paruh baya yang ada di hadapanku.Rasa panas yang ada di hatiku sama seperti sayur gulai yang kini berada di dalam wadah. Bedanya hanya hatiku tidak mengeluarkan kepulan asap.Dreett ...Dreett ...Getaran HP yang ada di saku bajuku mengejutkanku."Mila?" batinku.[Halo, Mil, ada apa?][Mbak, ini tetangga baru, Mbak sudah datang, dia minta kunci rumahnya.][Sama, Bu Endah, Mil, kuncinya,][Aku enggak ada nomor Bu Endah, warungnya tutup itu ha, nampak dari sini,][Ya, sudah aku telpon, Bu Endah dulu, Mil]Tuutt ...Tuutt ...[Halo, Bu, di mana? Itu orang yang mau nempatin rumah, Mas Arman sudah datang ,Bu, kuncinya di ibu, 'kan?][Iya, Mil, tolong ke rumah ibu, ya. Di gantungan sebelah pintu kamar, masuk saja enggak di kunci pintunya, ibu masih belanja, baru saja sampai,][Oh, iya, Bu,]Aku mengakhiri panggilan."Bude, aku pulang dulu, ya, orang yang mau nempatin rumah Mas Arman sudah datang,
"Aku, Mbak." Suara wanita berbisik.Aku menarik hendel pintu ketika aku yakin dialah Rahayu, langkahan kakiku percepat mengarah ke kamarnya.Tok! Tok!"Rahayu," panggilku dengan nada datar."Iya, Mbak?" sahutnya sambil berbisik.Aku menurun-nurunkan hendel pintu, tapi pintu sudah di kunci. Kepalaku mendongak ke atas mencoba menurunkan hendel, namun, kunci tetap tidak di buka olehnya."Rahayu, buka pintunya! Mbak mau ngomong," ucapku dengan nada tinggi."Mbak, besok sajalah, tolong, aku sudah ngantuk," ujarnya dengan suara memelas.Semakin hari semakin tidak ada moralnya gadis itu, tidak pernah menghargai aku pemilik rumah ini. Semua makanan siap tersaji, pakaian siap pakai, tapi dia semakin seenaknya dalam bertingkah.Aku melangkah ke arah kamarku sambil memandangi daun pintunya. Kukira dia sudah minggat dari rumahku, ternyata balik lagi. Besok akan kuusir dia dari sini, kelakuannya sudah tidak bisa di toleransi.Orang tuanya saja sudah tidak mau mengurus untuk apa aku repot-repot mem
"Apa sebelum di jual, Arman enggak pamit pada Bu Endang?" Tatapan mata Bu Endah begitu tajam mengarah padaku.Aku menggeleng lalu mengalihkan pandangan ke arah depan, tak kuasa menatap netranya yang menakutkan."Kasihan Bu Endang, dulu susah payah usahanya untuk membangun rumah itu, tiba sekarang seenaknya saja Arman menjual, ibu kira dia sudah berpamitan sebelum menjual," sungut Bu Endah kesal.Apalah guna, Mas Arman sekarang sedang asyik menikmati uang hasil jual rumah, sedangkan yang kemarin juga uang kematian di bawa olehnya. Amit-amit ... batinku.Matahari mulai terik, aku memandang ke arah depan sambil menyipitkan mata, melihat beberapa ibu-ibu baru pulang dari kebun."Aaakkhh ...""Astaghfirullah ..., suara siapa itu, Thalia?" Bu Endah beranjak dari duduknya, menatap ke arah sumber suara yang ada di dalam rumah Dareen.Aku ikut berdiri di samping Bu Endah, secepatnya aku menarik lengan Bu Endah membawanya ke rumah Dareen.* * *"Mas, ada apa?" tanya Bu Endah menatap kerumunan p
"Iya. Kucing enggak tahu diri! Bisa-bisanya dia makan laukku sampai tinggal sedikit, nanti apalah yang mau ku kasih kalau Devan pulang?" sungutku kesal sambil berjalan ke ruang keluarga dan duduk bersama mereka."Mbak, jangan marah-marah sama bin*t*ng, kasihan dia, siapa tahu memang dia belum makan dari kemarin," sahut Shilla dengan suara lembutnya.Eeekkhh ...Suara sendawa, Wulan terdengar keras."Ih, kenyang betul nampaknya," ucap Shilla meringis menatap ke arah Wulan.Wulan hanya bisa meringis malu, baru sebentar aku merasa lega, kini dia sudah datang lagi dengan perutnya yang makin membesar.Wajah Shilla kini sudah tampak semringah setelah kami berbincang-bincang dengan waktu yang cukup lama.Wulan beranjak dari duduknya sambil mengenakan hijab yang sedari tadi ada di pundak menutupi payudaranya."Ta, Kakak pulang dulu lah, ya, itu abang mu sudah pulang nampaknya," ucap Wulan sambil membenahi hijabnya."Iya, Kak," sahutku mengangguk tanpa memandangnya.* * *Malam ini, aku merasa